BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum waris
menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Ayat-ayat Al-Qur’an mengatur
hukum waris dengan jelas dan terperinci, hal ini dapat dimengerti, sebab
masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Kecuali itu
ketentuan-ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa diantara ahli waris.
Setiap terjadi peristiwa kematian seseorang, segera timbul pertanyaan bagaimana
harta peninggalannya harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu
dipindahkan serta bagaimana caranya. Inilah yang diatur dalam hukum waris.[1]
Keistimewaan
ketentuan bagian ahli waris dalam hukum waris Islam ialah bahwa bagian seorang
ahli waris sering tidak tetap, berubah-ubah menurut keadaan ahli waris. Oleh
karena itu, perludiperhatikan sepenuhnya, agar tidak terjadi kekeliruan dalam
membagi harta warisan.[2]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian ahli waris?
2.
Bagaimana pembagian ahli waris Nasabiyah dan sababiyah?
3.
Bagaiman pembagian ahli waris jika di lihat dari segi bagian yang diterimanya?
4.
Bagaimana pembagian ahli waris jika dilihat dari jauh dekatnya
hubungan kekerabatan?
5.
Bagaimana contoh perhitungan pembagiannya?
C.
Tujuan
Tujuan dai
penulisan makalah ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan
masalah, yaitu untuk mengetahui apa pengertian ahli waris, bagaimana pembagian
ahli waris Nasabiyah dan sababiyah, bagaiman pembagian ahli waris jika di
lihat dari segi bagian yang diterimanya,
jika dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatan serta untuk mengethui
bagaimana contoh perhitungan pembagiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN AHLI WARIS
Ahli waris
adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau
hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli artwaris.[3]
Kata “ahli waris” yang secara bahasa berarti keluarga, tidak secara otomatis
dia dapat mewarisi harta peninggalan si pewaris. Karena kedekatan hubungan kekeluargaan
juga dapat mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya untuk mendapat kan warisan.
Terkadang yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat tetapi
tidak dikatagorikan sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan, karena
jalur yang dialuinya perempuan.[4]
B.
AHLI WARIS NASBIYAH DAN AHLI WARIS SABABIYAH
1.
Ahli waris Nasabiyah
Merupakan ahli waris yang hubungannya kekeluargannya timbul karena
memiliki hubungan darah.[5]
Ahli waris nasabiyah memiliki jumlah keseluruhan 21 orang, teridiri dari 13
orang ahli waris laki-laki dan 8 orang ahli waris perempuan.
Ahli waris laki-laki, jika didasarkan pada pada urutan kelompoknya,
adalah :
a.
Anak laki-laki
b.
Cucu laki-laki garis laki-laki dan seterusnya
c.
Bapak
d.
Kakek dari garis bapak
e.
Saudara laki-laki sekandung
f.
Saudara laki-laki seayah
g.
Saudara laki-laki seibu
h.
Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
i.
Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
j.
Paman, saudara bapak sekandung
k.
Paman seayah
l.
Anak laik-laki paman sekandung
m.
Anak laki-laki paman seayah
Ahli
waris perempuan terdiri dari 8orang, yaitu :
a.
Anak perempuan
b.
Cucu perempuan garis laki-laki
c.
Ibu
d.
Nenek dari garis bapak
e.
Nenek dari garis ibu
f.
Saudara perempuan sekandung
g.
Saudara perempuan seayah
h.
Saudara perempuan seibu
Kelompok kekerabatan atau tingkatan dalam ahli waris nasabiyah,
sebagai berikut:
a.
Furu’ al-waris
Merupakan
ahli waris kelompok anak keturunan al-muwaris disebut dengan kelompok cabang.
Kelompok Furu’ al-waris adalah kelompok yang didahulukan dalam menerima
warisan. Ahli waris dalam kelompok ini, yaitu:
1)
Anak perempuan
2)
Cucu perempuan garis laki-laki
3)
Anak laki-laki
4)
Cucu laki-laki garis laki-laki
b.
Usul al-waris
Merupakan
ahli waris leluhu al-muwaris. Kedudukan mereka meskipun sebagai leluhur, tetapi
dikelompokkan berada setelah kelompok Furu’ al-waris. Ahli waris dalam kelompok
ini, yaitu:
1)
Bapak
2)
Ibu
3)
Kakek garis bapak
4)
Nenek garis ibu
c.
Al-bawasyi
Merupakan
ahli waris kelompok ssamping, termasuk didalamnya saudara, paman dan
keturunannya. Ahli waris dalam kelompok ini, yaitu:
1)
Saudara perempuan sekandung
2)
Saudara perempuan seayah
3)
Saudara perempuan seibu
4)
Saudara laki-laki sekandung
5)
Saudara laki-laki seayah
6)
Saudara laki-laki seibu
7)
Anak laki-laki saudara sekandung
8)
Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9)
Paman sekandung
10)
Paman seayah
11)
Anak paman sekandung
12)
Anak paman seayah
2.
Ahli waris Sababiyah
Merupakan
ahli waris yang memiliki hubungan kewarisannya timbul karena ada sebab-sebab
tertentu, seperti :
a.
Sebab perkawinan(suami atau isteri)
Mereka
dapat menerima bagian warisan apabila perkawinan suami isteri tersebut sah,
baik meneurut ketentuan hukum agaman dan memiliki bukti yuridisium.
b.
Sebab memerdekaan hamba sahaya
Hubungan
kewarisan yang timbul karena ada sebab memerdekaan hamba sahaya, sebaiknya
dapat buktikan menurut hukum.
c.
Sebab adanya perjanjian tolong-menolong[6]
C.
AHLI WARIS DI LIHAT DARI
SEGI BAGIAN YANG DITERIMANYA
1.
Ahli Waris ashab al-furud
Di dalam hukum
waris Islam terdapat kelompok ahli waris yang di tentukan di dalam ayat-ayat
kewarisan Al-Qur’an ketentuan tersebut meliputi subjek – subjeknya serta bagian
yang akan diperolehnya dalam keadaan yang tertentu pula. Kelompok ahli waris
semacam ini di sebut ahli waris ashab al-furud al-muqaddarah atau dzu-faraa-idl.
Istilah tersebut berasal dari bahasa Arab yakni dzu al faraidt yang berarti para yang mendapat bagian
sebagaimana dintentukan dalam Al-Quran. Adapun menurut istilah syariat berarti orang
tertentu yang mendapat bagan tertentu pula di dalam keadaan tertentu.
Para ulama
berbeda pendapat terutama dalam hal menentukan jumlah orang-orangnya. Menurut
golongan syiah ahli waris ashab al-furud ada sembilan orang, kesembilan oaran
tersebut yakni: suami, isteri, ayah, ibi, anak peremuan, saudara perempuan
kandung, saudara erempuan seayah, saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan
seibu. Sedangkan menurut golongan ahlusunnah ada duabelas, yakni: suami,
isteri, kakek dari pihak ayah, ibu, nenek dari pihak ibu maupun dari pihak
ayah, anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan kandung, saudara
perempuan seayah, saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu.[7]
Besarnya bagian
tertentu di jelaskan dalam Al-Quran, mulai dari ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, dan 2/3. Adapun
bagian-bagian yang diterima ashab al-furud adalah sebagai berikut:
1)
Anak perempuan, menerima bagian:
-
½ bila hanya seorang
-
2/3 bila dua orang atau lebih
-
Sisa, bila bersama anak laki-lak, dengan ketentuan ia menerima
separuh bagian anak laki-laki
Dinyatakan dalam pasal 176 KHI:
Anka perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila
dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian , dan
apabilaanak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki , maka bagian anak
laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.[8]
2)
Ayah, menerima bagian:
-
Sisa, bila tidak ada anak atau cucu
-
1/6 bila bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki
-
1/6+ sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis
laki-laki
-
2/3 dalam masalah gharrawin, yaitu apabila ahli waris yang ada
terdiri dari: suami/isteri, ibu dan bapak
Pasal 177 KHI menyatakan bagian ayah yang tidak lazim dalam fiqih,
karena baiasanya ayah bagiannya adalah sisa apabila tidak ada anak.
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian (lihat QS. an-Nisa’:11)
3)
Ibu, menerima bagian:
-
1/3 jika tidak ada anak atau cucu atau saudra dua atua lebih
-
1/6 jika ada atau bersama dua orang saudara atau lebih
-
1/3 sisa, dalam masalah gharrawin, yaitu apabila ahli waris yang
ada terdiri dari: suami/isteri, ibu dan bapak
Dinaytakan dalam pasal 178 KHI:
(1)
Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua orang saudara
atau lebih. Bile tidak ada anak atau dua orang saudara atu lebih, maka ia
mendapat sepetiga bagian.
(2)
Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa oleh janda atau duda bila
bersama-sama dengan ayah.
4)
Suami, menerima bagian
-
½ bila tidak ada anak atau cucu
-
¼ bila ada anak atau cucu
5)
Isteri, menerima bagian:
-
¼ bila tidak ada anak atau cucu
-
1/8 bila ada anak atau cucu
Bagian suami atau isteri (duda atau janda) dijelaskan dalam pasal
179 dan 180 KHI:
Pasal 179:
Duda mendapat seperuh bagian bila pewaris tidak meninggalkan, dan
bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.
Pasal
180:
Janda mendapat seperempat bagian bilapewaris tidak meninggalkan
anak, dan bila pewrais meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan
bagian.
6)
Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukan nya sama.
Apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian:
-
1/6 jika seorang
-
1/3 jika dua orang atau lebih
Pasal 181 KHI berbunyi:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam
bagian . bila mereka itu dua orang atau lebihmaka mereka bersama-sama mendapat
sepertiga bagian.
7)
Saudara perempuan sekandung, menerima bagian:
-
½ jika seorang, tidak ada anak dan ayah
-
2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah
-
Sisa, bersama saudara laki-laki sekandung, dengan ketentuan ia
menerima separuh bagaian saudara laki-laki (‘asabah bil gair)
-
Sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-laki (asabah
ma’al ghair)
8)
Saudara perempuan seayah, menerima bagian:
-
½jika seorang dan tidak bersama bersama ssaudara laki-laki seayah
-
2/3 jika dua orang atau lebih tidak bbersama saudara laki-laki
seayah
-
1/6 jika bersama dengan sauadara perempuan sekandung seorang,
sebagai pelengkap 2/3
Dalam KHI ditegaskan dalam pasal 182:
Bila sorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak,sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh
bagian. Bila saudara perempuan sekandung atau sayah dua orang atau lebih, maka
mereka bersama-sama mendapat sua per tiga bagian. Bila saudara perempuan
tersebut beersama sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka
bagian saudara laki-laki adalah dua banding satu dengan saudara perempuan.
9)
Kakek dari garis ayah, jika tidak majub berhak menerima:
-
1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki
-
1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki
tanpa ada anak laki-laki
-
1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan sudara sekandung atau seayah,
setelah diambil untuk ahli waris lain;
-
1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika
tidak ada ahli waris lain. Masalah ini disebut dengan masalah al-jadd ma’a
al-ikhwah (kakek bersama sudara-saudara)
10)
Nenek, menerima bagian:
-
1/6 baik seoran atau lebih
-
1/6 dibagi rata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat
kedudukannya
11)
Cucu perempuan garis laki-laki, menerima bagian:
-
½ jika seorang, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak terghalang
(mahjub)
-
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan
tidak terghalang (mahjub)
-
1/6 sebagai penyempurna 2/3, jika bersama seorang anak
perempuan,tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan dua
orang atau lebih maka ia tidak mendapat bagian.[9]
Beberapa Contoh pembagian:
1)
Ahli waris terdiri dari:
·
Seorang anak perempuan 1/2
·
Suami 1/4
·
Ibu 1/6
·
Bapak 1/6+sisa
2)
Ahli waris terdiri dari:
·
Seorang cucu perempuan grs. Laki-laki 1/2
·
Isteri 1/8
·
Ibu 1/6
·
Saudara perempuan sekandung ‘asabah
3)
Ahli waris terdiri dari:
·
Dua orang anak perempuan 2/3
·
Suami 1/4
·
Dua orang saudara perempuan skd. ‘asabah
·
Ibu 1/6
4)
Ahli waris terdiri dari:
·
Anak perempuan ‘asabah
·
Anak laki-laki ‘asabah
·
Ibu 1/6
·
Suami 1/4
·
Bapak 1/6
5)
Ahli waris terdiri dari:
·
Dua orang anak laki-laki ‘asabah
·
Isteri 1/8
·
Saudara laki-laki sekandung mahjub
·
Cucu perempuan grs. Laki-laki mahjub[10]
2.
Ahli Waris ‘asabah
‘Asabah adalah
bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashab al-furud. Sebagai ahli
waris penerima bagian sisa, ahli waris ‘asabah terkadang menerima bagian banyak
, terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian
sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ahli waris ashab al-furud.[11]
Di dalam
pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan
yang terdekatlah yang lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi cara pembagian
warisan ini, maka ahli waris ‘asabah yang peringkat kekerabatanya berada
dibawahnya, tidak mendapat bagian. Dasar pembagian ini adalah perintah
Rasulullah SAW. Sebagai berikut:
“berikanlah bagian-bagian tertentu kepada ahli waris yang
berhak, maka sisanya untuk ahli waris laki-lakiyang utama”. (Muttafaq
‘alaih)
Ada pun macam-macam ahli waris asabah ada tiga macam yaitu:
1)
‘Asabah bi nafsih, yaitu ahli waris yang karenakedudukan dirinya
sendiri berhak menerima bagian‘asabah. Ahli waris kelompok ini semuanya
laki-laki, kecuali mu’tiqah (orang perempuan yang memerdekakanhamba sahaya), yaitu:
a.
Anak laki-laki
b.
Cucu laki-laki dari garis laki-laki
c.
Bapak
d.
Kakek (dari garis bapak)
e.
Saudara laki-laki sekandung
f.
Saudara laki-laki seayah
g.
Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
h.
Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
i.
Paman sekandung
j.
Paman seayah
k.
Anak laki-laki paman sekandung
l.
Anak laki-laki paman seayah
m.
Mu’tiq dan atau mu’tiqah (orang laki-laki
atau
perempuan yang memerdekakan hamba sahaya)[12]
2)
‘Asabah bi al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa
karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Apabila
ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu
(furud al-muqaddarah). Ahli waris penerima ‘asabah bi al-ghair tersebut adalah:[13]
a.
Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki
b.
Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki
c.
Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
d.
Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah
Ketentuan yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian
‘asabah, maka bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Dasarnya
adalah firman Allah SWT:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الأنْثَيَيْنِ
Allah telah menetapkan bagian warisan anak-anakmu untuk seorang
anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan. (QS. al-Nisa’: 11)
وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الأنْثَيَيْنِ
...jika mereka beberapa orang saudara laki-laki dan perempuan, maka
untuk seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan...(QS. al-Nisa’:
176)[14]
3)
‘Asabah ma’a al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa
karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa.
Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu (al-furud al-muqaddarah).
Ahli waris yang menerima bagian ‘asabah ma’a al-ghair adalah:
a.
Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak
perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih). Misalnya,
seseorang meninggal ahli warisnya terdiri dari seorang anak perempuan, saudara
perempuan sekandung dan ibu. Maka bagian masing-masing adalah:
a)
Anak perempuan ½
b)
Saudara perempuan sekandung ‘asabah
c)
Ibu 1/6
b.
Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau
lebih). Misalnya, seseorang meninggal ahli warisnya terdiri dari: seorang anak
perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki, dan dua orang saudara
perempuan seayah, maka bagian masing-masing adalah:
a)
Anak perempuan ½
b)
Cucu perempuan garis laki-laki 1/6
c)
2 saudara perempuan seayah ‘asabah
Adapun dasar
hukum pembagian ‘asabah ma’a al-ghair ini adalah pelaksanaan pembagian warisan
yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. dalam riwayat dari Ibn Mas’ud.
“Nabi Muhammad SAW. memutuskan
bagian anak perempuan stengah, cucu perempuan garis laki-laki seperenam, dan
sisanya untuk saudara perempuan”. (Riwayat al-Jamaah, selain Muslim dan
al-Nasa’i)
“Mu’adz ibn Jabal memberikan warisan
kepada saudara perempuan dan anak perempuan masing-masing setengah, ketika
berada di Yaman, sedang Nabi Allah SAW.
waktu itu masih hidup’’. (Riwayat Abu Dawud dan al-Bukhari dari al-aswad)
Hadis yang
kedua di atas menjelaskan bahwa bagian saudara perempuan dan anak perempuan masing-masing stengah.
Bagian setengah itu adalah bagian sisa setelah diambil untuk diberikan kepada
anak perempuan. Meskipun dalam keadaan bersama-sama dengan ahli waris selain
anak atau cucu perempuan, maka saudara perempuan menerima bagian ½, tetapi
yang dimaksud adalah bagian sisa (‘asabah ma’a al-ghair). Ini dapat dijelaskan lagi, bahwa misalnya
anak perempuan lebih dari seorang (dua orang atau lebih) maka bagian saudara
perempuan tidak ½ tetapi 1/3, selain bagian 2/3
diberikan kepada anak perempuan.[15]
Contoh:
a)
Ahli waris terdiri dari:
·
Seorang anak perempuan ½
·
Suami ¼
·
Saudara perempuan sekandung ‘asabah
b)
Ahli waris terdiri dari:
·
3 orang anak perempuan bersama
menerima ‘asabah
·
3 orang anak laki-laki bersama
menerima ‘asabah
·
Ibu 1/6
·
Bapak 1/6
c)
Ahli waris terdiri dari:
·
Suami ¼
·
Ibu 1/6
·
Bapak 1/6
·
Anak laki-laki ‘asabah
(bi al-ghair)
·
2 anak perempuan ‘asabah
(bi al-ghair)
d)
Ahli waris terdiri dari:
·
Isteri 1/8
·
Anak perempuan ½
·
Cucu perempuan grs. laki-laki 1/6
·
Saudara perempuan seayah ‘asabah
(ma al-ghair)
·
Ibu 1/6
e)
Ahli waris terdiri dari:[16]
·
Cucu perempuan garis laki-laki ½
·
Saudara perempuan sekandung ‘asabah
(ma’ al-ghair)
·
Nenek garis ibu 1/6
Dalam
pengertian umum, istilah zawi al-arham mengandung maksud semua ahli waris yang
mempuyai hubungan kekerabatan karena hubungan darah dengan si mati
(al-muwarris). Ini sesuai dengan petunjuk umum dari ayat di bawah ini:
Artinya:
“orang-orang yang mempunyai pertalian kerabat, sebagian mereka adalah lebih
berhak daripada sebgaian mereka (yang lain) di dalam kitab Allah” (QS.
al-Anfal:75)[17]
Hak waris zawi
al-arham diperselisihkan para ulama. Ada golongan ulama yang berpendapat bahwa
mereka tidak berhak atasa harta waris, sisa harta warisan setelah diambil untuk
memberi bagian ashab al-furud diserahkan kepada baittul maal seperti sahabat
Zaid bin Tsabit dan Ibnu ‘Abbas; Imam Malik dan Imam Syafi’i juga berpendapat
demikian.
Alasan golongan
yang tidak memberi hak waris kepada zawi al-arham adalah:
a.
Tidak ada penegasan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul mengenai hak
waris zawi al-arham.
b.
Ketika Nabi Muhammad SAW ditanya apakah bibi, saudara ayah atau
saudara ibu berhak waris, beliau menjawab bahwa sesuai dengan whyu yang
disampaikan malaikat Jibril, mereka tidak berhak waris apapun.
c.
Apabila sisa harta warisan diserahkan kepada baittul maal,
kemanfatannya akan dirasakan lebih luas.
Golongan kedua
berpendapat bahwa zawi al-arham berhak waris, seperti sahabat ‘Ali, ‘Umar dan
Ibnu Mas’ud; Imam Abu Hanifahdan Ahmad bin Hanbal berpendapat demikian pula.
Pendapat kedua inilebih banyak penganutnya.
Golongan kedua
beralasan kepada ayat-ayat al-Qur’an , sunnah Rasul dan rasio.
a.
Ayat al-Qur’an surah al-Anfal:75 mengejarakan bahwa ulul-arhaam
sebagian lebih utama dari sebagian yang lain. Zawi al-arham termasuk dalam
kandungan ayat tersebut.
Ayat
7 q.s. an-Nisaa, mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berhak
atas warisan orangtua dan sanak kerabat . zawi al-arham termasuk dalam sanak
kerabat yang dimaksud dalam ayat tersebut.
b.
Hadis Nabi mengajarkan bahwa paman, saudara ibu, adalah ahi waris
bagi orang yang tidak mempunyai waris. Nabi pernah memberkan warisan kepada Abu
Lubanah bin Abdul Mundzir, kemenakan (anak saudara perempuan) Tsabit bin Ahdah,
karena ia tidak mempunyai ahli waris lain.
c.
Secra rasional, zawi al-arham lebih berhak dari pada baitulmaal, sebab
hubungan baitulmaal dengan pewaris hanya hubugan sebagai sesama muslim, sedangkan
zawi al-arham selain hubungansesama muslim juag mempunyai hubungan kerabat
dengan si pewaris. Hubungan yang lebih kuat diutamakan, seperti misalnya,
saudara kandung lebih diutamakan dari pada saudara seayah.
d.
Hadis yang dipergunakan imam malik dan syafii yang mengajarkan
bahwa bibi (saudara perempuan ayah atau ibu) tidak berhak waris, mungkin
dinyatakan sebelum ayat ulul-arhaam diturunkan, atau mungkn juga dalam kasus
dimana bibi tersebut bersama-sama dengan wars ashab al-furud.
Apabila kita
harus memilih, pendapat golongan mana yang lebih kuat, dapat kita tentukan
bahwa pendapat golongan kedua lebih kuat dallilnya, lebih jelas argumentasinya
dan lebih mendekati kepada keadilan dalam hubungan kekerabatan yang amat
ditekankan dalam ajaran Islam. Oleh karenanya, pendapat golongan kedua ini
merupakan pendapat jumhur ulama, sejak zaman Nabi dan tabiin.[18]
Menurut
penelitian Ibn Rusyd, ahli waris yang termasuk dalam zawi al-arham adalah:
·
Cucu (laki-laki atau perempuan) garis perempuan
·
Anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki
·
Anak perempuan dan cucu perempuan saudara perempuan
·
Paman seibu
·
Anak dan cucu saudara-saudara laki-laki seibu
·
Saudara perempuan bapak
·
Saudara-saudara ibu
·
Kakek dari gairs ibu
·
Nenek dari pihak kakek[19]
Adapun mengenai
cara pembagian warisan kepada zawi al-arham ada tiga prinsip yaitu:
1)
Prinsip al-Qarabah, yaitu dalam pembagian warisan kepda ahli waris zawi
al-arham, menggunakan prinsip jauh dekatnya hubungan kekerabatan. Untuk
menentukan jauh dekatnya hubungan kekekrabatan, dilakukan pengelompokan
sebagaimana dalam pembagian ‘asabah. Pengelompokannya adalah sebagai
berikut:
(1).
Al-bunuwwa, ayitu anak turun al-muwarris yang tidak termasuk ashab al-furud dan ashab
al-asabah, seperti cucu perempuan garis perempuan
(2).
Al-ubuwwah yaitu kelompok leluhur yang tidak termasukashab al-furud dan
ashab al-asabah, seperti kakek dan nenek
(3).
Al-Ukhuwwah, yaitu kelompok anak turunannya saudara-saudara yang tidak termasukashab
al-furud dan ashab al-asabah, seperti anak laki-laki saudara
perempuan
(4).
Al-Umummah, yaitu kelompok nak turunannya kakek atau nenek yang tidak termasukashab
al-furud dan ashab al-asabah, seperti saudara ibu baik laki-laki
maupun perempuan.
Jika
semua kelompok tersebut diatas ada, maka menurut fachtur rahman, diberlakukan
prinsip sebagai berikut:
(1).
Jika ahli waris zawi al-arham hanya seorang saja dari rumpun mana saja, maka
seluruh harta peninggalan atau sisa harta setelah dibagkan kepada suami atau
isteri diberikan kepada nya semua.
(2).
Jka mereka berasal dari rumpun yang berbeda, maka yang berasal dari rumpun
pertamadi dahulukan daripada rumpun kedua. Jika rumpun pertama tidak ada, maka
rumpun kedua didahulukan daripada rumpun ketiga, demikian seterusnya.
(3).
Jika mereka berasal dari satu rumpun dan derajatnya tidak sama, maka yang
derajatnya lebih dekat didahulukan daripada yang derajatnya jauh. Jika derajat
mereka sama, maka yang lebih kuat kekerabatnnya yang didahulukan. Dan jika
derajat dan kekerabatannya sama, maka mereka bergabung menerima seluruh atau
sisa harta.
2)
Prinsip ahlu al-tanzil, yaaitu menempatkan ahli waris zawi
al-arham pada kedudukan ahli waris yang menyebabkan mereka mempunyai
hubungan kekerabatan dengan al-muwarris, atau jika derajat mereka jauh,
caranya di geser naik atau digeser turun menurut rumpunnya, hingga berhasil
mencapai tempat ahli waris mudlabih untuk digantikan kedudukannya, atau
sebagai ahli waris pengganti.
Fuqaha
yang mengikuti prinsip al-tanzilmerujuk kepada riwayat Ibrahim
al-Nakhaiy dari Ali ibn Abdillah:
“sesungguhnya
harta peninggalannya untuk keduanya dibagi tiga, dua pertiga untuk al-ammah
dan sepertiga nya untuk al-khalah”
Demikian
juga penyelesaian yang dilakukan oleh ‘Ali ibn Abi Thalib:
“bahwa
ia menempatkan cucu perempuan garis perempuan (bint al bint) ke tempat
anak perempuan, anak perempuan saudara perempuan (bint al-ukht) ke
tempat saudara perempuan, saudara bapak (al-‘ammah) ke tempat bapak dan
saudara Ibu (al-khalah) ke tempat Ibu. [20]
Contoh
perhitungannya:
Contoh 1
Keterangan
gambar:
A= seseorang yang meninggal dunia meninggalkan
harta peninggalan Rp. 18 juta dan ahli waris
B=
anak laki-laki yang telah meninggal terlebih dahulu dari A, tetapi B
meninggalkan D= anak laki-laki (cucu dari A), E seorang anak perempuan (cucu dari A)
C=
anak perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu dari A, tetapi C
meninggalkan F= anak laki-laki (cucu dari A), G seorang anak perempuan (cucu dari A)
Pembagiannnya
menjadi sebgai berikut:
B
dan C mendapat berbanding 2:1, karena B sudah meninggal, bagiannya digantikan
oleh D dan E berbanding 2:1, sedangkan bagian Cdiberikan kepada F dan G sebagai
ahli waris pengganti berbanding 2:1
Jadi D = 2/3 x 2/3 x Rp. 18.000.000 = Rp. 8.000.000,-
E = 1/3 x 2/3 x Rp. 18.000.000 =
Rp. 4.000.000,-
F= 2/3 x 1/3 x Rp. 18.000.000 =
Rp. 4.000.000,-
G = 1/3 x 1/3 x Rp. 18.000.000 =
Rp. 2.000.000,-
Contoh
2
Keterangan gambar:
C dan
D cucu perempuan melalui anak laki-laki dari P. Sedangkan B adalah anak
laki-laki dari P, maka bagiannya adalah: A dan B mendapat masing-masing ½
sedangkan bagian A diberikan kepada C dan D masing-masing 1/4 .
Contoh
3
Keterangan gambar: [21]
A=
pewaris telah meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris saudara laki-laki
kandung bernama B dan
C=
saudara perempuan kandung pewaris yang telah meninggal lebih dulu dari pewaris
meninggalkan pula anak atau keponakan bagi pewaris, yaitu D dan E. Pembagiannya
menurut bilateral adalah: B dan C seluruh harta (2:1)
B=
2/3 x Rp 18.000.000.- = Rp.
12.000.000,-
C=
1/3 x Rp 18.000.000.- = Rp. 6.000.000,-
diberikan kepada D dan E berbanding 2:1
Jadi D= 2/3 x Rp 6.000.000.- = Rp. 4.000.000,-
E= 213 x Rp 6.000.000.- =
Rp. 2.000.000,-
3)
Prinsip al-rahim, yaitu lah memandang semua ahli waris zawi
al-arham adalah kerabat dari al-muwarris. Maka ketika tidak ada ahli
waris dari ashab al-furuddan ashab al-asabah, maka semua ahli
waris zawi al-arham menerima bagian yang sama, tanpa membedakan jauh
dekatnya hubungan kekerabatan.
Contohnya
jika seseorang meninggal dan ahli waris nya terdiri dari:
·
Cucu perempuan garis perempuan 1
bagian
·
Cucu perempuan saudara perempuan 1
bagian
·
Saudara ayah 1
bagian
·
Saudara Ibu 1
bagian
Ahli waris Zawi
al-ahram ini tidak dijelaskan dalam kompilasi, boleh jadi pertimbanganya dalam
kehidupan sekarang ini keberadaan zawi al-ahram jarang terjadi atau tidak
sejalan dengan ide dasar hukum warisan. Namun kemungkinan adanya zawi al-ahram
bisa saja terjadi. Terkadang untuk mengatasi keberadaan zawi al-ahram, ditempuh
melalui wasiat wajibah atau wasiat. Karena bisa saja , zawi al-ahram mempunyai
hubungan darah yang sangat dekat, tidak berhak menerima bagian warisan.[22]
D.
AHLI WARIS DILIHAT DARI JAUH DEKATNYA HUBUNGAN KEKERABATAN
Apabila ahli
waris dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatan, sehingga yang dekt lebih
berhak menerima warisan dari pada yang jauh, dapat dibedakan:
1.
Ahli Waris hajib, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat
menghalangi ahli waris yang jauh,atau karena garis keturunnnya yang menyebabkan
dapat menghalangi ahli waris yang lain.
2.
Ahli waris mahjub, yairu ahli waris yang jauh yang terhalang oleh
ahli waris yang dekat hubungan kekrabatannya. Ahli waris ini dapat menerima
warisan, jika yang menghalanginya tidak ada.[23]
Halangan
mewarisi karena dekat jauhnya hubungan kekerabatan di sini, bersifat temporer,
apabila ahli waris hajib tidak ada, maka ahli waris berikutnyadapat menerima
warisan. Prinsipnya ahli waris yang menghalangi (hajib) adalah mereka yang
lebih dekat hubungan kekerabtannya, sedangkan ahli waris yang terhijab (mahjub)
adalah mereka yang jauh hubungan kekerabatannya.[24]
Hijab atau ahli
waris yang terhalang, di tilik dari akibatnya ada dua macam. Pertama,
hijab nuqsan, yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris
yang mahjub, seperti suami, yang seharusnya menerima bagian ½, karena bersama
anak baik laki-laki maupun perempuan, bagiannya terkurangi menjadi ¼. Ibu yang
seharusnya menerima bagian 1/3, karena bersama dengan anak, atau saudara dua
atu lebih, terkurang bagiannya menjadi 1/6.
Di bawah ini diijelaskan dalam tabel secara rinci hajib-mahjub dan perubahan bagiannya dalam nuqsan.[25]
Kedua, hijab
Hirman yaitu menghalangi secara total. Akibatnya ha-hak waris ahli waris yang
termahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli waris yang menghalangi.
Misalnya, saudara perempuan sekandung yang semula berhak menerima bagian 1/2 ,
tetapi karena bersama dengan anak laki-laki, menjadi tertutup sama sekali dan
tidak mendapat bagian. Saudara seibu yang seharusnya menerima bagian 1/6 karena
bersama dengan anak perempuan, menjadi tertutup sama sekali.
Di bawah ini diijelaskan dalam tabel secara rinci hajib-mahjub dan perubahan bagiannya dalam Hirman.[26]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Apabila
dicermati ahli waris ada dua macam yaitu:
1.
Ahli waris Nasabiyah, yaitu ahl waris yang hubungan kekeluargaannya
timbul karena hubungan darah.
2.
Ahli waris Sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena
suatu sebab tertentu, yaitu:
-
Perkawinan yang sah
-
Memerdekakan hamba sahaya atau karena adanyaa perjanjian tolong
menolong.
Apabila dilhat
dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat dibedakan
kepada:
1.
Ahli Waris ashab al-furudh, yaitu ahli waris yang menerima bagian
yang besar kecilnya telah di tentukan dalam Al-Quran, seperti ½, 1/3 atau
1/6.
2.
Ahli Waris ‘asabah, yaitu ahli waris yang bagian yang
diterimanyaadalah sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ahli waris ashab
al-furudh,
3.
Ahli Waris zawi al-arham, yaitu ahli waris yang sesungguhnya
memiliki hubungan darah, namun menurut ketentuan Al-Qur’an, tidak berhak
menerima bagian warisan.
Apabila ahli
waris dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatan, sehingga yang dekt lebih
berhak menerima warisan dari pada yang jauh, dapat dibedakan:
1.
Ahli Waris hajib, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat
menghalangi ahli waris yang jauh,atau karena garis keturunnnya yang menyebabkan
dapat menghalangi ahli waris yang lain.
2.
Ahli waris mahjub, yairu ahli waris yang jauh yang terhalang oleh
ahli waris yang dekat hubungan kekrabatannya. Ahli waris ini dapat menerima
warisan, jika yang menghalanginya tidak ada.
Jumlah
keseluruhan ahli waris yang secara hukum br=erhak menerima warisan, baik ahli
waris nasabiyah maupun sababiyah ada 17 oarng, terdiri dari 10 orang ahli waris
laki-lakidan 7 orang perempuan. Apabila dirinci seluruhnya ada 25 orang. 15
orang ahli waris laki-laki dan 10 orang ahli waris perempuan.
[1]H. Ahmad Azhar
Basyir. Hukum Waris Islam. FE UII. Yogyakarta:1990, hlm. 7
[2]Ibid hlm. 29
[3]Prof.Dr.H.
Zainudin Ali. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta,
2007. hlm.115
[4] Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2002, Hlm.59
[5]Ibid, hlm.59
[6]Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002, Hlm65
[7]Drs. Sudarsono,
S.H. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Rineka Cipta, Jakarta 1994,
hlm.115-116
[8]Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Hukum Islam Di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003, Hlm
[9]Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Hukum Islam Di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003, Hlm
[10]Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, Hlm 70-71
[11]Ibid hlm. 72
[12]Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, Hlm 73-74
[13]Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, Hlm. 72-73
[15]Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, Hlm 75-76
[16]Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, Hlm 76-77
[17]Ibid hlm. 77-78
[18]H. Ahmad Azhar
Basyir. Hukum Waris Islam. FE UII. Yogyakarta:1990, hlm.50-51
[19]Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, Hlm 79
[20]Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, Hlm 83-86
[21]M. Idris Ramulyo, SH, MH. Perbandingan
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW).
Jakarta: Sinar Grafika. 2000. Hlm 126-128
[22]Dr. Ahmad Rofiq,
MA. Hukum Islam Di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.
384-385
[23] Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000, Hlm. 60
[24] Dr. Ahmad
Rofiq, MA. Hukum Islam Di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003, Hlm. 385-386
[25] Dr. Ahmad Rofiq, MA. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2000, Hlm. 90
[26] Dr. Ahmad Rofiq, MA. Fiqih Mawaris Edisi Revisi. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2000, Hlm. 90-92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar