BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Hal
ini dapat dimerngerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap oran.
Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini disamping hukum perkawinan, maka
hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan memegang peranan
penting bahkan meenentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang
berlaku dalam masyarakat itu. Hal ini disebabkan hukum kewarisan ini sangat
erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia bahwa setiap manusia
pasti akan mengalami peristiwa kematian. Apabila adaperistiwa meninggalnya
seseorang tentu akan menimbulkan akibat hukum yaitu bagaimana pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak dan kewajiban sebagai akibat dari kematian diatur oleh hukum
kewarisan islam. Jadi kewarisan itu dapat diartikan sebagai himpunan peraturan
hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang uyang meninggal dunia oleh ahli
waris atau badan hukum lainnya.
Hukum kewarisan islam pada dasarnyaberlaku untuk umat islam di mana
saja di dunia ini. Dasar pokok dari semuanya adalah hukum kewarisan yang telah
tertuang di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kemudian diterapkan pada
masyarakat indonesia. Meskipun demikian, corak suatu negara islam dan kehidupam
masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan
di daerah itu. Pengaruhnya itu adalah pengaruh terbatas yang tidak melampaui
garis pokok sari ketentuan hukum kewarisan islam tersebut. Namun pengaruh tadi
dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat
ahli-ahli hukum islam sendiri.
Dan di dalam makalah ini, penulis akan membahas secara rinci
mengenai hukum kewarisan islam berikut syarat dan ketentuan dari hukum
kewarisan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan ?
2.
Apa sajakah sumber-sumber hukum ilmu kewarisan ?
3.
Apa sajakah rukun dan syarat dalam pewarisan ?
4.
Apa sajakah yang menjadi sebab seseorang untuk menerima hak waris ?
5.
Apa sajakah yang menjadi penghalan bagi seseorang dalam menerima
hak waris ?
6.
Apa sajakah hak-hak yang terkait dengan harta warisan ?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan.
2.
Untuk mengetahui apa sajakah sumber-sumber hukum ilmu kewarisan.
3.
Untuk mengetahui bagaimana rukun dan syarat dalam pewarisan.
4.
Untuk mengetahui apa sajakah yang menjadi sebab seseorang menerima
hak waris.
5.
Untuk mengetahui apa sajakah penghalang yang menjadikan seseorang
tidak berhak lagi menerima hak waris.
6.
Untuk mengetahui apa sajakah hak-hak yang terkait dengan harta
warisan.
7.
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum perdata Islam.
D.
Metode Penulisan
Metode yang
digunakan oleh penulis dalam membuat makalah ini adalah metode literatur atau
studi pustaka yang diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, jurnalcetakdanonline.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Kewarisan
Kata
waris berasal dari bahasa Arab yaitu warasa-yarisu-warisan yang berarti
berpindahnya harta seorang kepada seseorang setelah meninggal dunia.[1]
Adapun dalam Al-Quran ditemukan banyak kata warasa yang berarti
menggantikan kedudukan, memberi atau menganugerahkan, dan menerima warisan.
Sedangkan al-miras menurut istilah para ulama ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup
baik yang ditinggalkan berupa harta, tanah atau apa saja berupa hak milik legal
secara syar’i.[2]Pengertian
terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan,
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap
yang berhak.[3]
Dalam redaksi lainnya, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian
penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.[4]
Hukum
kewarisan, sering disebut dengan istilah faraid, bentuk jamak dari kata faridahyang
artinya ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak
menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian
tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara perhitungannya.[5]
Sedangkan
didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam BAB I pasal 171 huruf a, yang
dimaksud dengan Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.[6]
Penjelasan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 “Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli
waris.
B.
Sumber Hukum Ilmu Waris
1.
Al-Qur’an
a.
Q.S An-Nisa ayat 7[7]
لِلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ
مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ
نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada
hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”
Ayat ini mengatur penegasan bahwa
laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan warisan dari orang tuanya sesuai
dengan bagiannya.[8] Ayat
ini juga menghapus ketentuan-ketentuan hukum masa Jahiliyah dan ketentuan yang
berlaku pada masa awal islam.[9]
b.
Q.S An-Nisa ayat 127[10]
وَيَسْتَفْتُونَكَ
فِي النِّسَاءِ ۖ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ
فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ
لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ
الْوِلْدَانِ وَأَنْ تَقُومُوا لِلْيَتَامَىٰ بِالْقِسْطِ ۚ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ
خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا
Artinya : “Dan mereka minta fatwa
kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu
tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga
memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka
apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya
kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu
kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya”
c.
Q.S An-Nisa
ayat 11[11]
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ
كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ
وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ
فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ
آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya : “Allah mensyari'atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Ayat ini mengatur perolehan anak
dengan tiga garis hukum, perolehan ibu dan bapaknya dengan tiga garis hukum,
dan soal wasiat serta hutang.[12]
d.
Q.S An-Nisa
ayat 12[13]
وَلَكُمْ
نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ
لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ
يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ
يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ
رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ
شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”
e.
Q.S
Al-Baqarah ayat 180[14]
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya : “Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”
f.
Q.S Al-Anfal
ayat 75[15]
وَالَّذِينَ
آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَٰئِكَ مِنْكُمْ ۚ
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : “Dan orang-orang yang
beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka
orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu”
2.
Hadist
a.
Riwayat Imam
al-Bukhari dan Muslim atau sering disebut dengan istilah muttafaq ‘alaih[16]
:
“Nabi SAW bersabda: “Berikanlah
bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya
untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kerabatnya).” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
“Orang muslim tidak berhak mewarisi
orang kafir dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang muslim.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
c.
Riwayat dari
Sa’ad ibn Abi Waqqash oleh al-Bukhari dan Muslim tentang batas maksimal
pelaksanaan wasiat[18]
:
“Rasulullah SAW datang dan
menjengukku pada tahun haji wada’ di waktu aku menderita sakit keras. Lalu aku
bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah SAW, aku sedang menderita sakit
keras, bagaimana pendapatmu, aku ini orang yang mempunyai kekayaan, sementara
tidak ada orang yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan.
Apakah aku sedekah (wasiat)kan dua pertiga hartaku? “Jangan”, jawab beliau. Aku
bertanya: “Sepertiga ?” Beliau menjawab: “Sepertiga, sepertiga adalah banyak
atau keadaan cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan
miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3.
Kompilasi
Hukum Islam (KHI)
KHI yang
mengatur tentang warisan termuat didalam Buku ke II tentang Hukum Kewarisan
Pasal 171 sampai dengan Pasal 193[19].
4.
Perundang-Undangan
Pasal 49
huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam kaitannya
dengan perubahan Undang-Undang ini, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan:
"Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum
apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus. Dan diganti
oleh Pasal 49 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006
dengan bunyi “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang: waris.”
C.
Rukun dan Syarat
Pewarisan
1.
Rukun
pewarisan[20],
terdiri dari :
a.
Al-muwarris (Pewaris),
yaitu orang yang meninggalkan atau mewariskan hartanya.[21]Sedangkan
menurut KHI Pasal 171 huruf b, Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya
atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.[22]
b.
Al-Waris (Ahli
waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena
hubungan darah, hubungan sebab perkawinan (semenda), atau karena akibat
merdekakan hamba sahaya.[23]
Sedangkan menurut KHI Pasal 171 huruf c, Ahli Waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama islam dan tidak berhalangan karena hukum untuk menjadi ahli
waris.[24]
c.
Al-Maurus atau al-Miras
atau harta yang diwarisi, yaitu harta peninggalan si mati dikurangi biaya
perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.[25]
Sedangkan menurut KHI pasal 171 membedakan antara harta peninggalan dan harta
warisan. Sesuai dengan KHI pasal 171 huruf d yang dimaksud dengan harta
peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta
benda yang menjadi miliknya mauoun hak-haknya.[26]
Yang dimaksud dengan harta warisan pada KHI pasal 171 huruf e adalah harta
bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris delama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.[27]
2.
Syarat
Pewaris
a.
Pewaris
harus bisa dipastikan benar-benar telah meninggal dunia. Kematian harus
dipastikan baik dengan cara[28]
:
a)
Mati hakiki,
yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa melalui pembuktian
bahwa seseorang telah meninggal dunia.
b)
Mati bukmi,
yaitu kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan
hakim dinyatakan telah meninggal dunia[29].
Contohnya : seseorang yang dinyatakan hilang tanpa diketahui dimana dan
bagaimana keadaannya. Setelah dilakukan pencarian tapa hasil, kemudian melalui
keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia. Karena merupakan
keputusan hakim, maka ia memiliki kekuatan hukum yang kuat dan mengikat.
c)
Mati taqdiri,
yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia.[30]
Contohnya : seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang yang diduga
dapat mengancam keselamatan darinya. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak
diketahui kabar beritanya dan patut diduga kuat bahwa orang tersebut telah
meninggal dunia.
b.
Hidupnya
ahli waris disaat kematian muwaris.
D.
Sebab-sebab untuk menerima hak waris
1.
Dalam ketentuan hukum islam, sebab-sebab untuk
dapat menerima warisan ada tiga[31],
:
a.
Hubungan kekerabatan (al-qarabah)
b.
Hubungan perkawinan atau semenda (al-musaharah)
c.
Hubungan karena sebab memerdekakan budaj atau hamba
sahaya (al-wala)
Dibawah ini akan diuraikan tentang penjelasan dari ketiga sebab-sebab
untuk saling mewarisi.
a.
Al-Qarabah
Al-qarabah atau
pertalian darah disini mengalami pembaharuan, yaiti semua ahli waris yang ada
pertalian darah, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak diberi hak untuk
menerima bagian menurut dekat jauhnya kekerabatannya. Bahkan bayi yang masih
berada di dalam kandungan pun mempunyai hak yang sama dengan yang sudah dewasa[32].
Namun dalam hal ini,berlaku ketemuan ahli waris yang lebih dekat dapat menutupi
(menghijab) ahli waris yang jauh,
sesuai ketentuan al-quran dan al-sunnah. Ada kalanya menghalangi (menghijab)
secara keseluruhan, tetapi ada juga hanya sekedar mengurangi bagian ahli waris
yang terhijab.[33]Pertama,
seharusnya ahli waris bisa menerima bagian, tetapi karena ada hijab (ahli waris
yang menghalangi) berakibat tertutup sama sekali hak warisnya. Yang kedua, seperti
suami sekiranya menerima bagian ½, tetapi karena ada anak cucu maka bagian
suami berkurang menjadi ¼. Isteri yang sedianya menerima ¼ karena ada anak
cucu, bagiannya menjadi 1/8.
Hubungan kekerabatan
versi Islam dijelaskan dalam firman Allah[34]:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian pula dari harta peninggalan
kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak, (semua itu merupakan)
bagian yang telah ditentukan.” (Q.S.
al-Nisa: 7)
Dan juga
“Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
di dalam kitab Allah” (Q.S. al-Anfal : 75)
b.
Al-Musaharah
(hubungan perkawinan)
Perkawinan yang sah
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, baik menurut hukum agama dan
kepercayaan maupun hukum negara, menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi,
apabila salah satunya meninggal dunia[35].
Untuk mengetahui adanya perkawinan tersebut, hanya dapat dibuktikan melalui
Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Sebagian anggota masyarakat sering
mempersoalkan untuk tidak mempertentangkan antara ketentuan hukum agama dan
hukum positif, sehingga menimbulkan implikasi, mereka merasa sah perkawinannya,
apabila ketentuan hukum agama seperti sarat dan rukunnya terpenuhi.Soal
pencatatan dan akta nikah hanyalah soal administrasi saja.Di beberapanegara
Muslim, seperti Pakistan, Maroko, Perkawinan yang tidak dicatat, dapat dihukum penjara
atau denda bagi pelakunya. Hukum perkawinan di Indonesia sebenarnya telah cukup
ketentuan untuk menjalankan aturan pencatatan perkawinan ini secara efektif. Termasuk
dalam ikatan perkawinan adalah apabila istri dicerai raj’i oleh suaminya selama
dalam masa tunggu (iddah). Alasannya wanita dalam masa iddah suaminya yang
paling berhak merujukinya, karena itu statusnya dianggap masih terikat dengan
perkawinan suaminya[36].
Misalnya, seorang suami menceri strinya yang masih normal menstruasinya,
sebualan kemudian ia meninggal dunia, maka istrinya tersebut tetap berhak
menerima bagian warisan.[37]
c.
Al-Wala
(memerdekakan hamba sahaya)
Al-wala adalah hubungan
kewarisan karena seorang memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian
tolong menolong. Orang yang memerdekakan hamba sahaya jika laki-laki disebut
mu’tiq dan perempuan disebut mu’tiqah[38].
Bagiannya 1/6 dari harta warisan pewaris.
Dalam komplikasi sebab
ketiga ini tidak dicantumkan, karena dalam kehidupan sekarang ini lebih-lebih
di Indonesia perbudakan tidak diakui lagi keberadaanya.[39]
2. Sebab-sebab saling mewarisi menurut KHI
Menurut KHI pasal 174,
menyatakan bahwa[40]
:
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri
atas :
a. Menurut hubungan darah :
-
Golongan
laki-laki terdiri dari : ayah, anak-anak, saudara laki-laki, paman dan kakek.
-
Golongan
perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan, terdiri
dari : duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang
berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
E. Sebab-sebab Hilangnya Hak Kewarisan
dalam Islam (Halangan dalam Menerima Hak Waris)
Halangan
untuk menerima warisan atau disebut dengan mawaris ni’ al-irs, adalah
hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahi waris untuk menerima warisan dari
harta peninggalan al-muwarris.[41]Hal-hal
yang dapat menghalangi tersebut yang telah disepakati para ulama ada tiga[42]
1. Perbudakan (al-‘abd)
2. Pembunuhan (al-qatl)
3. Perbedaan agama
Berikut
penjelasannya :
1. Perbudakan (al-‘abd)
Para ulama klasik
sepakat bahwa budak tidak berhak mewarisi karena dianggap tidak cakap mengurusi
harta miliknya. Segala sesuatu yang dimiliki budak secara langsung menjadi
milik tuannya, hal ini berdasarkan pada nash Qur’an dalam surat an-Nahl ayat
75.[43]
Seorang hamba sahaya secara yuridis dipandang tidak cakap melakukan perbuatan
hukum. Ahmad Muhammad al-Jurjawy mengemukakan bahwa budak tidak dapat mewarisi
harta peninggalan tuannya apabila tuannya meninggal dunia.[44]
Karena, budak itu sendiri statusnya sebagai “harta” milik tuannya.
Demikian pula apabila
ia sebagai muwaris,ia tidak bisa mewariskan hartanya sebelum dia
merdeka. Misalnya ada seseorang budak mukatab yaitu budak yang berusaha
memerdekakan dirinya sendiri dengan menyatakan kesanggupan untuk membayar
angsuran sejumlah uang, atau melalui melakukan suatu pekerjaan menurut
perjanjian yang telah disepakati oleh dirinya dan tuannya. Meskipun statusnya
bukan budak penuh, ia tidak bisa mewarisi msupun mewariskan kekayaan yang
ditinggalkannya.[45]
Sebab, nantinya harta yang dimiliki tuannya akan diambil haknya oleh tuan dari
budak tersebut.
2. Pembunuhan (al-qatl)
Pembunuhan menghalangi
seorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yag dibunuhnya. Ini berdasarkan
hadist Rasulullah[46] :
“Rasulullah SAW
bersabda “Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi.” (Riwayat
al-Nasa’i)
Pembunuhan
yang menjadi penghalang mewarisi adalah :
a. Menurut mazhab Hanafiyah[47] :
a) Pembunuhan yang dapat diberlakukan
qishas, yaitu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, direncanakan dan menggunakan
peralatan yang dapat menghilangkan nyawa orang lain, atau bisa menggunakan zat
kimia.[48]
b) Pembunuhan yang hukumannya berupa
kafarat, yaitu pembunuhan mirip dengan sengaja, seperti seorang sengaja memukul
atau menganiaya orang lain tanpa disertai niat untuk membunuh[49].
Akan tetapi tiba-tiba orang yang dipukul tersebut meninggal. Maka orang yang
tmembunuh tetapi tidak memiliki niat untuk membunuh tersebut dikenai kafarat.
c) Pembunuhan khilaf, pembunuhan ini dapat
dibedakan dua macam. Pertama khilaf maksud. Misalkan seseorang ingin
menembak yang ia kira hewan buruan tetapi yang ternyata manusia dan merupakan
saudaranya dan meninggal. Kedua, khilaf tindakan seperti seseorang yang
menebang pohon ketika pohon tersebut roboh ternyata menimpa keluarganya.[50]
b. Ulama mazhab Syafi’iyah menyatakan bahwa
segala jenis pemmbunuhan merupakan penghalang mewarisi[51].
Disini mereka tidak membedakan jenis pembunuhannya. Ini didasarkan sesuai
dengan dasar hukum yang bersumber dari sabda Rasulullah.
c. Ulama Hanabilah mengemukakan, pembunuhan
yang dapat menghalangi waris antara lain[52] :
a) Pembunuhan disengaja
b) Pembunuhan mirip sengaja
c) Pembunuhan yang dianggap khilaf
d) Pembunuhan khilaf
e) Pembunuhan tidak langsung
f) Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap
melakukan perbuatab hukum.
Sedangkan untuk
pembunuhan yang tidak menghalangi seseorang untuk mewarisi harta warisan
diantaranya, :
a. Menurut ulama Hanafiyah[53] :
a) Pembunuhan tidak langsung.
b) Pembunuhan karena hak, seperti algojo
yang diserahi tugas untuk membunuh si terhukum.
c) Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum.
d) Pembunuhan karena ‘uzur, seperti
pembelaan diri.
b. Menurut ulama Malikiyah[54] :
a) Pembunuhan karena khilaf.
b) Pembunuhan yang dilakukan oleh orang
yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
c) Pembunuhan yang dilakukan karena hak
atau tugas seperti algojo yang melakukan hukuman qishas.
d) Pembunuhan untuk melakukan pembelaan
diri.
Jadi kesimpulannya dari
mayoritas ulama berpendapat bahwa, semua jenis pembunuhan adalah menjadi
penghalang mewarisi, kecuali pembunuhan yang hak dibenarkan oleh syariat islam, seperti algojo
yang melaksanakan tugas hukuman qishas.[55]
3. Berlainan agama
Perbedaan agama
merupakan penyebeb hilangnya hak kewarisan sebagaimana ditegaskan dalam hadist
Rasulullah[56]:
“Orang islam tidak
mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang islam”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Riwayat lainnya yaitu
riwayat Ashab al-Sunan (penulis kitab-kitab al-Sunan)yaitu Abu Dawud,
al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah[57]:
“Tidak saling mewarisi
antara dua orang pemeluk agama yang berbeda-beda” (HR. Ashab al-Sunan)
Dari hadist tersebut
dapat diketahui bahwa hubungan antara kerabat yang berbeda agama dalam
kehidupan sehari-hari hanya menyangkut pergaulan yang bukan urusan
keagamaan.Namun, bila menyangkut urusan keagamaan seperti kewajiban, tidak ada
hubungan itu seperti disebutkan dalam asas-asas kewarisan Islam.[58]
F. Hak-hak yang Terkait dengan Harta
Warisan
Sebelum
dilaksanakan pembagian warisan, terlebih dahulu harus diselesaikan beberapa hak
yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan itu. Hak-hak yang harus
diselesaikan dan dibayar, adalah:
1.
Membayar
biaya pengurusan jenazah.
2.
Membayar
pelunasan utang muwarits, baik kepada Allah Swt. maupun kepada manusia.
3.
Melaksanakan
pesan wasiat yang ditinggalkan oleh muwarits dengan ketentuan maksimal
sepertiga dari harta yang ditinggalkan.[59]
4.
Pembagian
harta warisan.
Penjelasan
dari hak masing-masing tersebut ialah;
1.
Biaya Perawatan
Jenazah (tajhiz al-janazah)
Maksud dari hak yang disinggung
diatas adalah Biaya Perawatan Jenazah yang mana meliputi seluruh biaya yang
dikeluarkan sejak orang tersebut meninggal dunia. Dari biaya memandikan,
mengafani, mengantar dan menguburkannya.[60]
Proses ini akan ada perbedaan antara mayit yang mampu dengan yang tidak mampu,
dan lelaki ataupun perempuan.[61]
Besarnya biaya tersebut tidak boleh terlalu besar atau tidak boleh juga terlalu
kurang. Tetapi dilaksanakan secara wajar. Menurut Imam Ahmad, biaya perawatan
ini harus didahulukan daripada utang. Sementara Imam Hanafi, Malik, dan Syafi’i
mengatakan bahwa pelunasan utang harus didahulukan. Alasannya, jika utang tidak
dilunasi terlebih dahulu, jenazah itu ibarat tergadai.
Para ulama berbeda pendapat dalam
hal ini. Apabila harta yang ditinggalkan si mati tidak mencukupi, maka harta
yang ada itu dimanfaatkan, kekurangannya menjadi tanggungan keluarga. Ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah membatasi pada keluarga yang menjadi tanggungannya
ketika si mati masih hidup. Alasannya, karena semasa hidupnya, merekalah yang
memperoleh kenikmatan dari si mati, mereka pula yang menerima harta warisan
jika ada kelebihan, maka wajar jika mereka harus bertanggungjawab memikul biaya
perawatan.
Apabila si mati tidak memiliki
keluarga, maka diambilkan dari bait al-mal (kas negara). Jika bait
al-mal tidak berfungsi, penyelesaiannya dimintakan kepada orang-rang Islam
yang kaya dan mau sebagai pemenuhan kewajiban kifayah. Sebab jika tidak ada
seorang pun yang bersedia membiayainya, maka semua orang Islam dilingkungannya
akan menanggung dosa. Pendapat yang berbeda dikemukakan Ulama Malikiyah bahwa
biaya perawtan tersebut diambilkan dari bait al-mal tanpa harus
membebanu keluarga atau kaum muslimin. Pendapat ini mempunyai celah kelemahan.
Karena boleh jadi keluarga akan leluasa untuk tidak bertanggungjawab atas
perawatan keluarganya yang meninggal.[62]
2.
Penulasan
Utang (wafa’ al-du’yun)
Utang merupakan tanggungan yang
harus dilunasi dalam waktu tertentu (yang disepakati) sebagai akibat dari
imbalan yang telah diterima orang yang utang. Apabila seseorang yang
meninggalkan utang pada orang lain belum dibayar, maka sudah seharusnya utang
tersebut dilunasi dari harta peninggalannya, sebelum harta iu dibagikan.[63]
Hutang-hutangnya kepada sesama manusia dan menjadi tanggungan mayit harus
dilunasi. Para ulama mengklasifikasikan utang menjadi dua macam yaitu;
a.
Utang kepada
sesama manusia disebut dengan dain al-‘ibadUtang ini ditinjau dari segi
teknis pelaksanaannya, dibagi lagi menjadi dua macam yaitu;
a)
Utang yang
berhubungan dengan wujud harta (utang gadai) disebut dain ‘ainiyah
b)
Utang yang
tidak bersangkutan dengan wujud harta disebut dain muthlaqah. Utang
muthlaqah jika dilakukan pada waktu sehat dan dapat dibuktikan disebut dain
sihah, dan apabila dilakukan pada waktu sakit serta tidak ada bukti-bukti
kuat disebut dain marad.[64]
b.
Utang kepada
Allah disebut dain Allah
Utang ini meliputi hutang-hutang
Allah Ta’ala yang dituntut oleh manusia seperti hutang zakat, kaffaroh, dan
nazar, maka tidak ditunaikan dari harta peninggalannya dan harus ditunaikan
dari situ, yakni wajib dibayar dan dikeluarkan sebelum dilakukan pembagian
peninggalan harta. Sesungguhnya utang terhadap Allah adalah ibadah, sedangkan
ibadah gugur kewajibannya dengan kematian, karena penunaiannya tidak berlaku
kecuali niat dan kemauan. Hal itu tidak bisa dibayangkan dari mayit. Meskipun
hutang-hutang tersebut gugur dari seseorang atas kematiannya namun ia berdosa
dan dituntut di akhirat, karena ia tidak memenuhi kewajibannya sebelum mati.
Urusannya terserah kepada Allah yang Maha Esa.[65]
Pertanyaan dari beberapa macam utang
ini adalah, utang mana yang harus didahulukan? Apakah dain Allah atau
dain al-ibad. Beberapa pendapat Ulama yaitu;[66]
a)
Ulama
Hanafiayah berpendapat bahwa dain Allah gugur dengan kematian seseorang.
Peristiwa kematian, katanya dengan sendirinya menghilangkan kemampuan seseorang
dan menghapus beban hukum yang seharusnya dipikul. Ahli waris tidak lagi
berkewajiban melunasinya. Misalnya ibadah haji, meski pada waktu hidupnya si
mati mampu, tetapi belum dilaksanakan dan terdapat sisa harta yang mencukupi
untuk itu, tidak wajib hukumnya membayar biaya haji tersebut. Sekiranya hutang
haji itu dilunasi statusnya bukan sebagai pemenuhan utang kepada Allah melainkan
sebagai shadaqah biasa. Begitu pula, seandainya jika si mati pernah berwasiat
agar utangnya kepada Allah dilunasi, wasiatnya berlaku sebagai wasiat biasa,
yang harus tunduk kepada ketentuan maksimal 1/3 dari harta yang
ditinggalkannya, dan harus diberikan kepada orang yang bukan ahli warisnya.
b)
Mazhab
Malikiyah mendahulukan dain al-ibad dari pada dain Allah.
Argumennya adalah manusia sangat membutuhkan agar hutangnya dilunasi, karena
orang yang berpiutang membutuhkannya. Allah Maha Kaya, tidak perlu dilunasi
utang-utang manusia kepada-Nya. Di dalam pelaksanaan pelunasan utang, dain
‘ainiyah didahulukan daripada dain muthlaqah. Pendapat ini sejalan
dengan pendapat Fuqaha Hanafiyah dalam dain al-ibad.
c)
Ibn Hazm
al-Andalusi dan Ulama Syafi’iyah mendahulukan dain Allah daripada dain
al-ibad. Dan dain ‘ainiyah didahulukan dari dain muthlaqah.
d)
Mazhab
Hanabilah memandang dain Allah dan dain al-ibad sama-sama harus
dilunasi, apabila harta peninggalannya mencukupinya. Jika terjadi kekurangan,
maka harus dibayarkan secara seimbang menurut porsi harta yang ada. Pada dain
al-ibad, dain ‘ainiyah didahulukan daripada dain muthlaqah. Untuk
lebih jelasnya lihat tabel berikut.[67]
No
|
Mazhab/Imam
|
Jenis Utang
|
Keterangan
|
1.
|
Hanafiyah
|
1.
Dain
‘ainiyah didahulukan daripada tajhiz al-janazah
2.
Dain sihah
3.
Dain marad
4.
Dain Allah
bersifat tabarru’
|
Dain Allah gugur dengan kematian
|
2.
|
Malikiyah
|
1.
Dain’ainiyah
didahulukan dari tajhiz al-janazah
2.
Dain
sihah/dain marad
3.
Dain Allah
yang ada saksinya (pembuktian)
|
|
3.
|
Hanabilah
|
1.
Sama-sama
dilunasi dain Allah dan dain al-ibad
2.
Dain
ainiyah
3.
Dain
muthlaqah
|
|
4.
|
Syafi’iyah dan Ibn Hazm
|
1.
Dain Allah
2.
Dain
‘ainiyah
3.
Dain sihah
4.
Dain marad
|
|
3.
Pelaksanaan
wasiat
Wasiat adalah tindakan seseorang
menyerahkan hak kebendaannya kepada orang lain, yang berlakunya apabila yang
menyerahkan itu telah meninggal dunia. Wasiat merupakan tindakan ikhtiyariyah.
Apabila seseorang meninggal duni, semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta
kekayaannya kepada suatu badan atau orang lain, wajib dilaksanakan sebelum
harta peninggalannya dibagi oleh ahli warisnya.
Persoalannya adalah, apabila al-muwaris
tidak melakukan wasiat. Lallu tindakan apa yang harus dilakukan sehubungan
dengan harta peninggalannya? Apakah diambil 1/3 dari harta kekayaan yang
ditinggalkan atau diserahkan kepada orang lain ataukah tidak perlu diambil
untuk pelaksanaan wasiat yang memang tidak dilakukan si mati. Para Ulama
berpendapat, seperti Ibn Hazm bahwa wasiat hukum fardu’ain (kewajiban
individual). Imam Abu Dawud dan para Ulama Salaf juga berpendapat bahwa wasiat
hukumnya wajib. Dalam konteks ini wasiat dilaksanakan sebagai kewajiban
terhadap kerabat yang tidak dapat menerima warisan. Ketentuan ini kemudian
dikembangkan ke dalam konsep wasiat-wajibah dibeberapa negeri Muslim, seperti
Mesir, dll. Dalam wasiat wajibah misalnya diberikan kepada cucu perempuan dari
garis perempuan. Pertimbangannya, secara kekeluargaan cucu ini sangat dekat,
tetapi ia termasuk zawi al-arham. Dalam aturan zawi al-arham tidak
berhak mendapat warisan. Oleh karena itu alternatif yang dapat ditempuh adalah
memberinya bagian melalui wasiat wajibah. Imam Malik berpendapat jika si mati
tidak berwasiat maka tidak perlu dikeluarkan harta untuk pelaksanaan wasiat.
Apabila berwasiat diambilkan 1/3 dari harta yang ada. Berbeda dengan Imam
Malik, Imam Syafi’i. Menurutnya, apabila si mati tidak berwasiat maka tetap
diambil sebagian hartanya untuk wasiat. [68]
Mayoritas Ulama, berpendapat bahwa
wasiat hukumnya tidak fardu’ain, baik kepada orang tua atau kerabat yang sudah
mendapat warisan. Begitu juga kepada merek yang karena suatu hal tidak menerima
bagian. Alasannya, pertama, andaikan wasiat itu difardukan niscaya Nabi
Muhammad SAW menjelaskannya. Nabi tidak pernah menjelaskan, lagi pula beliau
sendiri menjelang wafatnya tidak berwasiat apa-apa dari harta peninggalannya. Kedua,
para sahabat dalam prakteknya juga tidak melakukan wasiat. Ketiga,
wasiat adalah pembeian yang tidak wajib diserahkan sewaktu yang berwasiat masih
hidup, maka sudah barang tentu tidak wajib diberikan atau diserahkan pada waktu
yang berwasiat meninggal dunia.
Realisasinya, pelaksanaan wasiat
tidak fardhu’ain didasarkan kepada tindakan orang yang meninggal dunia.
Apabila, ia berwasiat maka harus dilaksanakan wasiatnya. Tetapi jika tidak maka
tidak perlu dilakukan wasiat wajibah. Ulama beralasan bahwa wasiat wajibah
diwajibkan pada masa awal Islam. menurut a-Alusy, penghapusan berlakunya ayat
wasiat, orang yang berwasiat tidak dapat lagi memperhatikan batas-batas yang
diperkenankan dalam berwasiat sebagai diisyaratkan al-qur’an dalam kalimat bi
al-ma’ruf. Ini dipandang sebagai ikhtikad yang tidak baik. Maka dapat
disimpulkan bahwa wasiat kepada orangtua dan kerabat tidak dibenarkan menurut
hukum. Adapun pengecualian dalam hadis yang menyerahkannya kepada izin ahli
waris, adalah sebagai kerelaan mereka untuk dikurangi hak-hak waris yang
diterima. Adanya untuk mengetahui apakah seseorang telah berwasiat atau tidak
hendaknya dapat dibuktikan melalui keterangan saksi atau dengan bukti tertulis.
Apabila memang terbukti seseorang telah melakukan wasiat sebelum harta
peninggalannya dibagi, wasiat harus dilaksanakn. Ketentuan maksimal adalah 1/3
dari harta yang siap dibagi.[69]
Selain itu, hak dan kewajiban
terhadap harta peninggalan atau pewaris juga dijelaskan dalam KHI Pasal 175[70]
:
(1)
Kewajiban
ahli waris terhadap pewaris adalah
a.
Mengurus dan
menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
b.
Menyelesaikan
baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewaiban pewaris
maupun menagih hutang.
c.
Menyelesaikan
wasiat pewaris.
d.
Membagi
harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
(2)
Tanggung
jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada
jumlah atau nilai harta peninggalannya.
4.
Pembagian
Harta Peninggalan
Sisa dari harta peninggalan itu
dibagikan diantara para pewaris sesuai dengan ajaran Al-qur’an, hadis, dan
ijma’umat. Dengan cara yang akan datang yaitu dimulai dengan orang-orang yang
sudah tertentu bagiannya, kemudian ashobah.[71]
Dari uraian diatas dapat ditegaskan
bahwa sebelum harta warisan dibagi, mesti adanya hak-hak yang harus dipenuhi.
Yaitu sesuai dengan penjelasan diatas, yang mana diantaranya adalah adanya
biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang-hutang, pelaksanaan wasiat, dan
pembagian harta warisan. Ini dimaksudkan agar si mati dalam menghadap Allah
tidak terhalang oleh tanggung jawabnya yang belum terselesaikan. Rasulullah SAW
pernah memperingatkan kita melalui tindakan beliau yang tidak berkenan
mensalati jenazah yang masih mempunyai tanggungan hutang kepada orang lain.[72]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
2.
Sumber hukum ilmu waris
a.
Al-Qur’an : Q.S An-Nisa ayat 127, Q.S An-Nisa
ayat 11, Q.S An-Nisa ayat 12, Q.S Al-Baqarah ayat 180, Q.S Al-Anfal ayat 75
b.
Hadis : Riwayat
Imam al-Bukhari dan Muslim dan Riwayat dari Sa’ad ibn Abi Waqqash oleh
al-Bukhari dan Muslim tentang batas maksimal pelaksanaan wasiat
c.
Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang mengatur tentang warisan termuat didalam Buku ke II
tentang Hukum Kewarisan Pasal 171 sampai dengan Pasal 193
d.
Peundang-undangan
: Pasal 49 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
3.
Rukun
Pewarisan :
a. Al-muwarris (Pewaris).
b. Al-Waris (Ahli waris).
c. Al-Maurus atau al-Miras atau harta
warisan/peninggalan.
4.
Syarat
Pewarisan :
a.
Pewaris
harus bisa dipastikan benar-benar telah meninggal dunia
b.
Hidupnya
ahli waris disaat kematian muwaris.
5.
Sebab-sebab
saling mewarisi itu ada tiga macam:
a.
Al-Qarabah (pertaliandarah)
b.
Al-Musyaharah (hubunganperkawinan)
c.
Al-Wala (memerdekakanhambasahaya)
6.
Halangan
untuk mewarisi ada tiga macam :
a.
Perbedaan Agama
b.
Pembunuhan
c.
Perbudakan
7.
Hak-hak yang
terkait dengan warisan :
a.
Biaya Perawatan Jenazah
Biaya ini meliputi meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan sejak orang
tersebut meninggal dunia. Dari biaya memandikan, mengafani, mengantar dan
menguburkannya.
b. Pelunasan Utang
Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu (yang
disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah diterima orang yang utang.
c. Pelaksanaan Wasiat
Wasiat adalah tindakan seseorang menyerahkan hak kebendaannya kepada orang
lain, yang berlakunya apabila yang menyerahkan itu telah meninggal dunia.
d. Pembagian Harta Warisan
Sisa dari harta peninggalan itu dibagikan diantara para pewaris sesuai
dengan ajaran Al-qur’an, hadis, dan ijma’umat. Dengan cara yang akan datang
yaitu dimulai dengan orang-orang yang sudah tertentu bagiannya, kemudian
ashobah.
B. Saran
Penulis berharap pembaca dapat mengerti dan
memanfaatkan informasi yang ada makalah ini untuk bekal karier di masa depan.
Penulis sadar bahwa
dalam menyusun makalah ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu saran
dari para pembaca sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan makalah ini. Penulis mohon maaf jika didalam
penulisan makalah ini terdapat kekurangan dan terdapat pula kata-kata yang
tidak pantas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar