Minggu, 19 Februari 2017

Dasar-dasar Kewarisan dalam Islam



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Hal ini dapat dimerngerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap oran. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini disamping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan memegang peranan penting bahkan meenentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat itu. Hal ini disebabkan hukum kewarisan ini sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa kematian. Apabila adaperistiwa meninggalnya seseorang tentu akan menimbulkan akibat hukum yaitu bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak dan kewajiban sebagai akibat dari kematian diatur oleh hukum kewarisan islam. Jadi kewarisan itu dapat diartikan sebagai himpunan peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang uyang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya.

Hukum kewarisan islam pada dasarnyaberlaku untuk umat islam di mana saja di dunia ini. Dasar pokok dari semuanya adalah hukum kewarisan yang telah tertuang di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kemudian diterapkan pada masyarakat indonesia. Meskipun demikian, corak suatu negara islam dan kehidupam masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. Pengaruhnya itu adalah pengaruh terbatas yang tidak melampaui garis pokok sari ketentuan hukum kewarisan islam tersebut. Namun pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat ahli-ahli hukum islam sendiri.
Dan di dalam makalah ini, penulis akan membahas secara rinci mengenai hukum kewarisan islam berikut syarat dan ketentuan dari hukum kewarisan tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan ?
2.      Apa sajakah sumber-sumber hukum ilmu kewarisan ?
3.      Apa sajakah rukun dan syarat dalam pewarisan ?
4.      Apa sajakah yang menjadi sebab seseorang untuk menerima hak waris ?
5.      Apa sajakah yang menjadi penghalan bagi seseorang dalam menerima hak waris ?
6.      Apa sajakah hak-hak yang terkait dengan harta warisan ?

C.    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan.
2.      Untuk mengetahui apa sajakah sumber-sumber hukum ilmu kewarisan.
3.      Untuk mengetahui bagaimana rukun dan syarat dalam pewarisan.
4.      Untuk mengetahui apa sajakah yang menjadi sebab seseorang menerima hak waris.
5.      Untuk mengetahui apa sajakah penghalang yang menjadikan seseorang tidak berhak lagi menerima hak waris.
6.      Untuk mengetahui apa sajakah hak-hak yang terkait dengan harta warisan.
7.      Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum perdata Islam.

D.    Metode Penulisan
Metode yang digunakan oleh penulis dalam membuat makalah ini adalah metode literatur atau studi pustaka yang diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, jurnalcetakdanonline.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Kewarisan

Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu warasa-yarisu-warisan yang berarti berpindahnya harta seorang kepada seseorang setelah meninggal dunia.[1] Adapun dalam Al-Quran ditemukan banyak kata warasa yang berarti menggantikan kedudukan, memberi atau menganugerahkan, dan menerima warisan. Sedangkan al-miras menurut istilah para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan berupa harta, tanah atau apa saja berupa hak milik legal secara syar’i.[2]Pengertian terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap yang berhak.[3] Dalam redaksi lainnya, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.[4]

Hukum kewarisan, sering disebut dengan istilah faraid, bentuk jamak dari kata faridahyang artinya ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara perhitungannya.[5]

Sedangkan didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam BAB I pasal 171 huruf a, yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.[6]

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 “Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

B.     Sumber Hukum Ilmu Waris
1.      Al-Qur’an
a.       Q.S An-Nisa ayat 7[7]
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”

Ayat ini mengatur penegasan bahwa laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan warisan dari orang tuanya sesuai dengan bagiannya.[8] Ayat ini juga menghapus ketentuan-ketentuan hukum masa Jahiliyah dan ketentuan yang berlaku pada masa awal islam.[9]

b.      Q.S An-Nisa ayat 127[10]
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ ۖ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْوِلْدَانِ وَأَنْ تَقُومُوا لِلْيَتَامَىٰ بِالْقِسْطِ ۚ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا
Artinya : “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya”

c.       Q.S An-Nisa ayat 11[11]
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا


Artinya : “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”

Ayat ini mengatur perolehan anak dengan tiga garis hukum, perolehan ibu dan bapaknya dengan tiga garis hukum, dan soal wasiat serta hutang.[12]

d.      Q.S An-Nisa ayat 12[13]
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”

e.       Q.S Al-Baqarah ayat 180[14]
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”

f.       Q.S Al-Anfal ayat 75[15]
وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَٰئِكَ مِنْكُمْ ۚ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”

2.      Hadist
a.       Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim atau sering disebut dengan istilah muttafaq ‘alaih[16] :
“Nabi SAW bersabda: “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kerabatnya).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
b.      Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim[17]:
“Orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang muslim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
c.       Riwayat dari Sa’ad ibn Abi Waqqash oleh al-Bukhari dan Muslim tentang batas maksimal pelaksanaan wasiat[18] :
“Rasulullah SAW datang dan menjengukku pada tahun haji wada’ di waktu aku menderita sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah SAW, aku sedang menderita sakit keras, bagaimana pendapatmu, aku ini orang yang mempunyai kekayaan, sementara tidak ada orang yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan. Apakah aku sedekah (wasiat)kan dua pertiga hartaku? “Jangan”, jawab beliau. Aku bertanya: “Sepertiga ?” Beliau menjawab: “Sepertiga, sepertiga adalah banyak atau keadaan cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3.      Kompilasi Hukum Islam (KHI)
KHI yang mengatur tentang warisan termuat didalam Buku ke II tentang Hukum Kewarisan Pasal 171 sampai dengan Pasal 193[19].

4.      Perundang-Undangan
Pasal 49 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus. Dan diganti oleh Pasal 49 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 dengan bunyi “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: waris.”

C.    Rukun dan Syarat Pewarisan
1.      Rukun pewarisan[20], terdiri dari :
a.       Al-muwarris (Pewaris), yaitu orang yang meninggalkan atau mewariskan hartanya.[21]Sedangkan menurut KHI Pasal 171 huruf b, Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.[22]
b.      Al-Waris (Ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan (semenda), atau karena akibat merdekakan hamba sahaya.[23] Sedangkan menurut KHI Pasal 171 huruf c, Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak berhalangan karena hukum untuk menjadi ahli waris.[24]
c.       Al-Maurus atau al-Miras atau harta yang diwarisi, yaitu harta peninggalan si mati dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.[25] Sedangkan menurut KHI pasal 171 membedakan antara harta peninggalan dan harta warisan. Sesuai dengan KHI pasal 171 huruf d yang dimaksud dengan harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya mauoun hak-haknya.[26] Yang dimaksud dengan harta warisan pada KHI pasal 171 huruf e adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris delama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.[27]
2.      Syarat Pewaris
a.       Pewaris harus bisa dipastikan benar-benar telah meninggal dunia. Kematian harus dipastikan baik dengan cara[28] :
a)      Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa melalui pembuktian bahwa seseorang telah meninggal dunia.
b)      Mati bukmi, yaitu kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia[29]. Contohnya : seseorang yang dinyatakan hilang tanpa diketahui dimana dan bagaimana keadaannya. Setelah dilakukan pencarian tapa hasil, kemudian melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia. Karena merupakan keputusan hakim, maka ia memiliki kekuatan hukum yang kuat dan mengikat.
c)      Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia.[30] Contohnya : seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang yang diduga dapat mengancam keselamatan darinya. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya dan patut diduga kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia.
b.      Hidupnya ahli waris disaat kematian muwaris.

D.    Sebab-sebab untuk menerima hak waris
1.      Dalam ketentuan hukum islam, sebab-sebab untuk dapat menerima warisan ada tiga[31], :
a.       Hubungan kekerabatan (al-qarabah)
b.      Hubungan perkawinan atau semenda (al-musaharah)
c.       Hubungan karena sebab memerdekakan budaj atau hamba sahaya (al-wala)
Dibawah ini akan diuraikan tentang penjelasan dari ketiga sebab-sebab untuk saling mewarisi.
a.       Al-Qarabah
 Al-qarabah atau pertalian darah disini mengalami pembaharuan, yaiti semua ahli waris yang ada pertalian darah, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak diberi hak untuk menerima bagian menurut dekat jauhnya kekerabatannya. Bahkan bayi yang masih berada di dalam kandungan pun mempunyai hak yang sama dengan yang sudah dewasa[32]. Namun dalam hal ini,berlaku ketemuan ahli waris yang lebih dekat dapat menutupi (menghijab) ahli waris yang jauh, sesuai ketentuan al-quran dan al-sunnah. Ada kalanya menghalangi (menghijab) secara keseluruhan, tetapi ada juga hanya sekedar mengurangi bagian ahli waris yang terhijab.[33]Pertama, seharusnya ahli waris bisa menerima bagian, tetapi karena ada hijab (ahli waris yang menghalangi) berakibat tertutup sama sekali hak warisnya. Yang kedua, seperti suami sekiranya menerima bagian ½, tetapi karena ada anak cucu maka bagian suami berkurang menjadi ¼. Isteri yang sedianya menerima ¼ karena ada anak cucu, bagiannya menjadi 1/8.

Hubungan kekerabatan versi Islam dijelaskan dalam firman Allah[34]:
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian pula dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak, (semua itu merupakan) bagian yang telah ditentukan.” (Q.S. al-Nisa: 7)
Dan juga
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya di dalam kitab Allah” (Q.S. al-Anfal : 75)

b.      Al-Musaharah (hubungan perkawinan)
Perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan maupun hukum negara, menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi, apabila salah satunya meninggal dunia[35]. Untuk mengetahui adanya perkawinan tersebut, hanya dapat dibuktikan melalui Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

 Sebagian anggota masyarakat sering mempersoalkan untuk tidak mempertentangkan antara ketentuan hukum agama dan hukum positif, sehingga menimbulkan implikasi, mereka merasa sah perkawinannya, apabila ketentuan hukum agama seperti sarat dan rukunnya terpenuhi.Soal pencatatan dan akta nikah hanyalah soal administrasi saja.Di beberapanegara Muslim, seperti Pakistan, Maroko, Perkawinan yang tidak dicatat, dapat dihukum penjara atau denda bagi pelakunya. Hukum perkawinan di Indonesia sebenarnya telah cukup ketentuan untuk menjalankan aturan pencatatan perkawinan ini secara efektif. Termasuk dalam ikatan perkawinan adalah apabila istri dicerai raj’i oleh suaminya selama dalam masa tunggu (iddah). Alasannya wanita dalam masa iddah suaminya yang paling berhak merujukinya, karena itu statusnya dianggap masih terikat dengan perkawinan suaminya[36]. Misalnya, seorang suami menceri strinya yang masih normal menstruasinya, sebualan kemudian ia meninggal dunia, maka istrinya tersebut tetap berhak menerima bagian warisan.[37]

c.       Al-Wala (memerdekakan hamba sahaya)
Al-wala adalah hubungan kewarisan karena seorang memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong menolong. Orang yang memerdekakan hamba sahaya jika laki-laki disebut mu’tiq dan perempuan disebut mu’tiqah[38]. Bagiannya 1/6 dari harta warisan pewaris.

Dalam komplikasi sebab ketiga ini tidak dicantumkan, karena dalam kehidupan sekarang ini lebih-lebih di Indonesia perbudakan tidak diakui lagi keberadaanya.[39]

2.      Sebab-sebab saling mewarisi menurut KHI
Menurut KHI pasal 174, menyatakan bahwa[40] :
(1)   Kelompok-kelompok ahli waris terdiri atas :
a.       Menurut hubungan darah :
-          Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak-anak, saudara laki-laki, paman dan kakek.
-          Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
b.      Menurut hubungan perkawinan, terdiri dari : duda atau janda.
(2)   Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.



E.     Sebab-sebab Hilangnya Hak Kewarisan dalam Islam (Halangan dalam Menerima Hak Waris)

Halangan untuk menerima warisan atau disebut dengan mawaris ni’ al-irs, adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahi waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-muwarris.[41]Hal-hal yang dapat menghalangi tersebut yang telah disepakati para ulama ada tiga[42]
1.      Perbudakan (al-‘abd)
2.      Pembunuhan (al-qatl)
3.      Perbedaan agama

Berikut penjelasannya :
1.      Perbudakan (al-‘abd)
Para ulama klasik sepakat bahwa budak tidak berhak mewarisi karena dianggap tidak cakap mengurusi harta miliknya. Segala sesuatu yang dimiliki budak secara langsung menjadi milik tuannya, hal ini berdasarkan pada nash Qur’an dalam surat an-Nahl ayat 75.[43] Seorang hamba sahaya secara yuridis dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Ahmad Muhammad al-Jurjawy mengemukakan bahwa budak tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya apabila tuannya meninggal dunia.[44] Karena, budak itu sendiri statusnya sebagai “harta” milik tuannya.
Demikian pula apabila ia sebagai muwaris,ia tidak bisa mewariskan hartanya sebelum dia merdeka. Misalnya ada seseorang budak mukatab yaitu budak yang berusaha memerdekakan dirinya sendiri dengan menyatakan kesanggupan untuk membayar angsuran sejumlah uang, atau melalui melakukan suatu pekerjaan menurut perjanjian yang telah disepakati oleh dirinya dan tuannya. Meskipun statusnya bukan budak penuh, ia tidak bisa mewarisi msupun mewariskan kekayaan yang ditinggalkannya.[45] Sebab, nantinya harta yang dimiliki tuannya akan diambil haknya oleh tuan dari budak tersebut.

2.      Pembunuhan (al-qatl)
Pembunuhan menghalangi seorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yag dibunuhnya. Ini berdasarkan hadist Rasulullah[46] :
“Rasulullah SAW bersabda “Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi.” (Riwayat al-Nasa’i)
Pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi adalah :
a.       Menurut mazhab Hanafiyah[47] :
a)      Pembunuhan yang dapat diberlakukan qishas, yaitu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, direncanakan dan menggunakan peralatan yang dapat menghilangkan nyawa orang lain, atau bisa menggunakan zat kimia.[48]
b)      Pembunuhan yang hukumannya berupa kafarat, yaitu pembunuhan mirip dengan sengaja, seperti seorang sengaja memukul atau menganiaya orang lain tanpa disertai niat untuk membunuh[49]. Akan tetapi tiba-tiba orang yang dipukul tersebut meninggal. Maka orang yang tmembunuh tetapi tidak memiliki niat untuk membunuh tersebut dikenai kafarat.
c)      Pembunuhan khilaf, pembunuhan ini dapat dibedakan dua macam. Pertama khilaf maksud. Misalkan seseorang ingin menembak yang ia kira hewan buruan tetapi yang ternyata manusia dan merupakan saudaranya dan meninggal. Kedua, khilaf tindakan seperti seseorang yang menebang pohon ketika pohon tersebut roboh ternyata menimpa keluarganya.[50]
b.      Ulama mazhab Syafi’iyah menyatakan bahwa segala jenis pemmbunuhan merupakan penghalang mewarisi[51]. Disini mereka tidak membedakan jenis pembunuhannya. Ini didasarkan sesuai dengan dasar hukum yang bersumber dari sabda Rasulullah.
c.       Ulama Hanabilah mengemukakan, pembunuhan yang dapat menghalangi waris antara lain[52] :
a)      Pembunuhan disengaja
b)      Pembunuhan mirip sengaja
c)      Pembunuhan yang dianggap khilaf
d)     Pembunuhan khilaf
e)      Pembunuhan tidak langsung
f)       Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatab hukum.

Sedangkan untuk pembunuhan yang tidak menghalangi seseorang untuk mewarisi harta warisan diantaranya, :
a.       Menurut ulama Hanafiyah[53] :
a)      Pembunuhan tidak langsung.
b)      Pembunuhan karena hak, seperti algojo yang diserahi tugas untuk membunuh si terhukum.
c)      Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
d)     Pembunuhan karena ‘uzur, seperti pembelaan diri.
b.      Menurut ulama Malikiyah[54] :
a)      Pembunuhan karena khilaf.
b)      Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
c)      Pembunuhan yang dilakukan karena hak atau tugas seperti algojo yang melakukan hukuman qishas.
d)     Pembunuhan untuk melakukan pembelaan diri.

Jadi kesimpulannya dari mayoritas ulama berpendapat bahwa, semua jenis pembunuhan adalah menjadi penghalang mewarisi, kecuali pembunuhan yang hak  dibenarkan oleh syariat islam, seperti algojo yang melaksanakan tugas hukuman qishas.[55]
3.      Berlainan agama
Perbedaan agama merupakan penyebeb hilangnya hak kewarisan sebagaimana ditegaskan dalam hadist Rasulullah[56]:
“Orang islam tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang islam” (HR. Bukhari dan Muslim)
Riwayat lainnya yaitu riwayat Ashab al-Sunan (penulis kitab-kitab al-Sunan)yaitu Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah[57]:
“Tidak saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda-beda” (HR. Ashab al-Sunan)

Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwa hubungan antara kerabat yang berbeda agama dalam kehidupan sehari-hari hanya menyangkut pergaulan yang bukan urusan keagamaan.Namun, bila menyangkut urusan keagamaan seperti kewajiban, tidak ada hubungan itu seperti disebutkan dalam asas-asas kewarisan Islam.[58]

F.     Hak-hak yang Terkait dengan Harta Warisan
Sebelum dilaksanakan pembagian warisan, terlebih dahulu harus diselesaikan beberapa hak yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan itu. Hak-hak yang harus diselesaikan dan dibayar, adalah:
1.      Membayar biaya pengurusan jenazah.
2.      Membayar pelunasan utang muwarits, baik kepada Allah Swt. maupun kepada manusia.
3.      Melaksanakan pesan wasiat yang ditinggalkan oleh muwarits dengan ketentuan maksimal sepertiga dari harta yang ditinggalkan.[59]
4.      Pembagian harta warisan.

Penjelasan dari hak masing-masing tersebut ialah;
1.      Biaya Perawatan Jenazah (tajhiz al-janazah)

Maksud dari hak yang disinggung diatas adalah Biaya Perawatan Jenazah yang mana meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan sejak orang tersebut meninggal dunia. Dari biaya memandikan, mengafani, mengantar dan menguburkannya.[60] Proses ini akan ada perbedaan antara mayit yang mampu dengan yang tidak mampu, dan lelaki ataupun perempuan.[61] Besarnya biaya tersebut tidak boleh terlalu besar atau tidak boleh juga terlalu kurang. Tetapi dilaksanakan secara wajar. Menurut Imam Ahmad, biaya perawatan ini harus didahulukan daripada utang. Sementara Imam Hanafi, Malik, dan Syafi’i mengatakan bahwa pelunasan utang harus didahulukan. Alasannya, jika utang tidak dilunasi terlebih dahulu, jenazah itu ibarat tergadai.

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Apabila harta yang ditinggalkan si mati tidak mencukupi, maka harta yang ada itu dimanfaatkan, kekurangannya menjadi tanggungan keluarga. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah membatasi pada keluarga yang menjadi tanggungannya ketika si mati masih hidup. Alasannya, karena semasa hidupnya, merekalah yang memperoleh kenikmatan dari si mati, mereka pula yang menerima harta warisan jika ada kelebihan, maka wajar jika mereka harus bertanggungjawab memikul biaya perawatan.

Apabila si mati tidak memiliki keluarga, maka diambilkan dari bait al-mal (kas negara). Jika bait al-mal tidak berfungsi, penyelesaiannya dimintakan kepada orang-rang Islam yang kaya dan mau sebagai pemenuhan kewajiban kifayah. Sebab jika tidak ada seorang pun yang bersedia membiayainya, maka semua orang Islam dilingkungannya akan menanggung dosa. Pendapat yang berbeda dikemukakan Ulama Malikiyah bahwa biaya perawtan tersebut diambilkan dari bait al-mal tanpa harus membebanu keluarga atau kaum muslimin. Pendapat ini mempunyai celah kelemahan. Karena boleh jadi keluarga akan leluasa untuk tidak bertanggungjawab atas perawatan keluarganya yang meninggal.[62]
2.      Penulasan Utang (wafa’ al-du’yun)
Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu (yang disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah diterima orang yang utang. Apabila seseorang yang meninggalkan utang pada orang lain belum dibayar, maka sudah seharusnya utang tersebut dilunasi dari harta peninggalannya, sebelum harta iu dibagikan.[63] Hutang-hutangnya kepada sesama manusia dan menjadi tanggungan mayit harus dilunasi. Para ulama mengklasifikasikan utang menjadi dua macam yaitu;
a.       Utang kepada sesama manusia disebut dengan dain al-‘ibadUtang ini ditinjau dari segi teknis pelaksanaannya, dibagi lagi menjadi dua macam yaitu;
a)      Utang yang berhubungan dengan wujud harta (utang gadai) disebut dain ‘ainiyah
b)      Utang yang tidak bersangkutan dengan wujud harta disebut dain muthlaqah. Utang muthlaqah jika dilakukan pada waktu sehat dan dapat dibuktikan disebut dain sihah, dan apabila dilakukan pada waktu sakit serta tidak ada bukti-bukti kuat disebut dain marad.[64]
b.      Utang kepada Allah disebut dain Allah
Utang ini meliputi hutang-hutang Allah Ta’ala yang dituntut oleh manusia seperti hutang zakat, kaffaroh, dan nazar, maka tidak ditunaikan dari harta peninggalannya dan harus ditunaikan dari situ, yakni wajib dibayar dan dikeluarkan sebelum dilakukan pembagian peninggalan harta. Sesungguhnya utang terhadap Allah adalah ibadah, sedangkan ibadah gugur kewajibannya dengan kematian, karena penunaiannya tidak berlaku kecuali niat dan kemauan. Hal itu tidak bisa dibayangkan dari mayit. Meskipun hutang-hutang tersebut gugur dari seseorang atas kematiannya namun ia berdosa dan dituntut di akhirat, karena ia tidak memenuhi kewajibannya sebelum mati. Urusannya terserah kepada Allah yang Maha Esa.[65]
Pertanyaan dari beberapa macam utang ini adalah, utang mana yang harus didahulukan? Apakah dain Allah atau dain al-ibad. Beberapa pendapat Ulama yaitu;[66]
a)      Ulama Hanafiayah berpendapat bahwa dain Allah gugur dengan kematian seseorang. Peristiwa kematian, katanya dengan sendirinya menghilangkan kemampuan seseorang dan menghapus beban hukum yang seharusnya dipikul. Ahli waris tidak lagi berkewajiban melunasinya. Misalnya ibadah haji, meski pada waktu hidupnya si mati mampu, tetapi belum dilaksanakan dan terdapat sisa harta yang mencukupi untuk itu, tidak wajib hukumnya membayar biaya haji tersebut. Sekiranya hutang haji itu dilunasi statusnya bukan sebagai pemenuhan utang kepada Allah melainkan sebagai shadaqah biasa. Begitu pula, seandainya jika si mati pernah berwasiat agar utangnya kepada Allah dilunasi, wasiatnya berlaku sebagai wasiat biasa, yang harus tunduk kepada ketentuan maksimal 1/3 dari harta yang ditinggalkannya, dan harus diberikan kepada orang yang bukan ahli warisnya.
b)      Mazhab Malikiyah mendahulukan dain al-ibad dari pada dain Allah. Argumennya adalah manusia sangat membutuhkan agar hutangnya dilunasi, karena orang yang berpiutang membutuhkannya. Allah Maha Kaya, tidak perlu dilunasi utang-utang manusia kepada-Nya. Di dalam pelaksanaan pelunasan utang, dain ‘ainiyah didahulukan daripada dain muthlaqah. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Fuqaha Hanafiyah dalam dain al-ibad.
c)      Ibn Hazm al-Andalusi dan Ulama Syafi’iyah mendahulukan dain Allah daripada dain al-ibad. Dan dain ‘ainiyah didahulukan dari dain muthlaqah.
d)     Mazhab Hanabilah memandang dain Allah dan dain al-ibad sama-sama harus dilunasi, apabila harta peninggalannya mencukupinya. Jika terjadi kekurangan, maka harus dibayarkan secara seimbang menurut porsi harta yang ada. Pada dain al-ibad, dain ‘ainiyah didahulukan daripada dain muthlaqah. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut.[67]


No
Mazhab/Imam
Jenis Utang
Keterangan
1.       
Hanafiyah
1.      Dain ‘ainiyah didahulukan daripada tajhiz al-janazah
2.      Dain sihah
3.      Dain marad
4.      Dain Allah bersifat tabarru’
Dain Allah gugur dengan kematian
2.       
Malikiyah
1.      Dain’ainiyah didahulukan dari tajhiz al-janazah
2.      Dain sihah/dain marad
3.      Dain Allah yang ada saksinya (pembuktian)

3.       
Hanabilah
1.      Sama-sama dilunasi dain Allah dan dain al-ibad
2.      Dain ainiyah
3.      Dain muthlaqah

4.       
Syafi’iyah dan Ibn Hazm
1.      Dain Allah
2.      Dain ‘ainiyah
3.      Dain sihah
4.      Dain marad








3.      Pelaksanaan wasiat
Wasiat adalah tindakan seseorang menyerahkan hak kebendaannya kepada orang lain, yang berlakunya apabila yang menyerahkan itu telah meninggal dunia. Wasiat merupakan tindakan ikhtiyariyah. Apabila seseorang meninggal duni, semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta kekayaannya kepada suatu badan atau orang lain, wajib dilaksanakan sebelum harta peninggalannya dibagi oleh ahli warisnya.

Persoalannya adalah, apabila al-muwaris tidak melakukan wasiat. Lallu tindakan apa yang harus dilakukan sehubungan dengan harta peninggalannya? Apakah diambil 1/3 dari harta kekayaan yang ditinggalkan atau diserahkan kepada orang lain ataukah tidak perlu diambil untuk pelaksanaan wasiat yang memang tidak dilakukan si mati. Para Ulama berpendapat, seperti Ibn Hazm bahwa wasiat hukum fardu’ain (kewajiban individual). Imam Abu Dawud dan para Ulama Salaf juga berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib. Dalam konteks ini wasiat dilaksanakan sebagai kewajiban terhadap kerabat yang tidak dapat menerima warisan. Ketentuan ini kemudian dikembangkan ke dalam konsep wasiat-wajibah dibeberapa negeri Muslim, seperti Mesir, dll. Dalam wasiat wajibah misalnya diberikan kepada cucu perempuan dari garis perempuan. Pertimbangannya, secara kekeluargaan cucu ini sangat dekat, tetapi ia termasuk zawi al-arham. Dalam aturan zawi al-arham tidak berhak mendapat warisan. Oleh karena itu alternatif yang dapat ditempuh adalah memberinya bagian melalui wasiat wajibah. Imam Malik berpendapat jika si mati tidak berwasiat maka tidak perlu dikeluarkan harta untuk pelaksanaan wasiat. Apabila berwasiat diambilkan 1/3 dari harta yang ada. Berbeda dengan Imam Malik, Imam Syafi’i. Menurutnya, apabila si mati tidak berwasiat maka tetap diambil sebagian hartanya untuk wasiat. [68]

Mayoritas Ulama, berpendapat bahwa wasiat hukumnya tidak fardu’ain, baik kepada orang tua atau kerabat yang sudah mendapat warisan. Begitu juga kepada merek yang karena suatu hal tidak menerima bagian. Alasannya, pertama, andaikan wasiat itu difardukan niscaya Nabi Muhammad SAW menjelaskannya. Nabi tidak pernah menjelaskan, lagi pula beliau sendiri menjelang wafatnya tidak berwasiat apa-apa dari harta peninggalannya. Kedua, para sahabat dalam prakteknya juga tidak melakukan wasiat. Ketiga, wasiat adalah pembeian yang tidak wajib diserahkan sewaktu yang berwasiat masih hidup, maka sudah barang tentu tidak wajib diberikan atau diserahkan pada waktu yang berwasiat meninggal dunia.

Realisasinya, pelaksanaan wasiat tidak fardhu’ain didasarkan kepada tindakan orang yang meninggal dunia. Apabila, ia berwasiat maka harus dilaksanakan wasiatnya. Tetapi jika tidak maka tidak perlu dilakukan wasiat wajibah. Ulama beralasan bahwa wasiat wajibah diwajibkan pada masa awal Islam. menurut a-Alusy, penghapusan berlakunya ayat wasiat, orang yang berwasiat tidak dapat lagi memperhatikan batas-batas yang diperkenankan dalam berwasiat sebagai diisyaratkan al-qur’an dalam kalimat bi al-ma’ruf. Ini dipandang sebagai ikhtikad yang tidak baik. Maka dapat disimpulkan bahwa wasiat kepada orangtua dan kerabat tidak dibenarkan menurut hukum. Adapun pengecualian dalam hadis yang menyerahkannya kepada izin ahli waris, adalah sebagai kerelaan mereka untuk dikurangi hak-hak waris yang diterima. Adanya untuk mengetahui apakah seseorang telah berwasiat atau tidak hendaknya dapat dibuktikan melalui keterangan saksi atau dengan bukti tertulis. Apabila memang terbukti seseorang telah melakukan wasiat sebelum harta peninggalannya dibagi, wasiat harus dilaksanakn. Ketentuan maksimal adalah 1/3 dari harta yang siap dibagi.[69]

Selain itu, hak dan kewajiban terhadap harta peninggalan atau pewaris juga dijelaskan dalam KHI Pasal 175[70] :
(1)   Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah
a.       Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
b.      Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewaiban pewaris maupun menagih hutang.
c.       Menyelesaikan wasiat pewaris.
d.      Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
(2)   Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.



4.      Pembagian Harta Peninggalan
Sisa dari harta peninggalan itu dibagikan diantara para pewaris sesuai dengan ajaran Al-qur’an, hadis, dan ijma’umat. Dengan cara yang akan datang yaitu dimulai dengan orang-orang yang sudah tertentu bagiannya, kemudian ashobah.[71]


Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa sebelum harta warisan dibagi, mesti adanya hak-hak yang harus dipenuhi. Yaitu sesuai dengan penjelasan diatas, yang mana diantaranya adalah adanya biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang-hutang, pelaksanaan wasiat, dan pembagian harta warisan. Ini dimaksudkan agar si mati dalam menghadap Allah tidak terhalang oleh tanggung jawabnya yang belum terselesaikan. Rasulullah SAW pernah memperingatkan kita melalui tindakan beliau yang tidak berkenan mensalati jenazah yang masih mempunyai tanggungan hutang kepada orang lain.[72]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
2.      Sumber hukum ilmu waris
a.       Al-Qur’an : Q.S An-Nisa ayat 127, Q.S An-Nisa ayat 11, Q.S An-Nisa ayat 12, Q.S Al-Baqarah ayat 180, Q.S Al-Anfal ayat 75
b.      Hadis : Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim dan Riwayat dari Sa’ad ibn Abi Waqqash oleh al-Bukhari dan Muslim tentang batas maksimal pelaksanaan wasiat
c.       Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur tentang warisan termuat didalam Buku ke II tentang Hukum Kewarisan Pasal 171 sampai dengan Pasal 193
d.      Peundang-undangan : Pasal 49 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
3.       Rukun Pewarisan :
a.       Al-muwarris (Pewaris).
b.      Al-Waris (Ahli waris).
c.       Al-Maurus atau al-Miras atau harta warisan/peninggalan.
4.       Syarat Pewarisan :
a.       Pewaris harus bisa dipastikan benar-benar telah meninggal dunia
b.      Hidupnya ahli waris disaat kematian muwaris.
5.      Sebab-sebab saling mewarisi itu ada tiga macam:
a.       Al-Qarabah (pertaliandarah)
b.      Al-Musyaharah (hubunganperkawinan)
c.       Al-Wala (memerdekakanhambasahaya)
6.      Halangan untuk mewarisi ada tiga macam :
a.       Perbedaan Agama
b.      Pembunuhan
c.       Perbudakan
7.      Hak-hak yang terkait dengan warisan :
a.       Biaya Perawatan Jenazah
Biaya ini meliputi meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan sejak orang tersebut meninggal dunia. Dari biaya memandikan, mengafani, mengantar dan menguburkannya.
b.      Pelunasan Utang
Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu (yang disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah diterima orang yang utang.
c.       Pelaksanaan Wasiat
Wasiat adalah tindakan seseorang menyerahkan hak kebendaannya kepada orang lain, yang berlakunya apabila yang menyerahkan itu telah meninggal dunia.
d.      Pembagian Harta Warisan
Sisa dari harta peninggalan itu dibagikan diantara para pewaris sesuai dengan ajaran Al-qur’an, hadis, dan ijma’umat. Dengan cara yang akan datang yaitu dimulai dengan orang-orang yang sudah tertentu bagiannya, kemudian ashobah.

B.     Saran
Penulis berharap pembaca dapat mengerti dan memanfaatkan informasi yang ada makalah ini untuk bekal karier di masa depan.

Penulis sadar bahwa dalam menyusun makalah ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dari para pembaca sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan makalah  ini. Penulis mohon maaf jika didalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan dan terdapat pula kata-kata yang tidak pantas.



                [1] Habiburahman. Rekonstruksi HUKUM Kewarisan ISLAM di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. 2001.  Hlm 17
                [2] Ibid. Hlm 17
                [3] Ibid. Hlm 335
                [4] Ibid. Hlm 356
                [5] Rofiq, Ahmad. FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001.  Hlm 3
                [6] Rofiq, Ahmad.HUKUM ISLAM INDONESIA. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003. Hlm 355
                [7] Rofiq, Ahmad.FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001. Hlm 22
                [8] Thalib, Sajuti.. HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.  Hlm 4
                [9] Rofiq, Ahmad. FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001. Hlm 22
                [10]Ibid. Hlm 22
                [11] Ibid hlm 23
                [12] Thalib, Sajuti. HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.  Hlm 4
                [13] Rofiq, Ahmad. FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001.  Hlm 23
                [14] Ibid. Hlm 26
                [15] Ibid. Hlm 26
                [16] Ibid. Hlm 26
                [17] Ibid. Hlm 26
                [18] Ibid. Hlm 27
                [19] Mahfud. Sidiq, tono. Dadan Muttaqien. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press. 1993. Hlm 214
                [20] Habiburahman. Rekonstruksi HUKUM Kewarisan ISLAM di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. 2001. Hlm 18
                [21] Rofiq, Ahmad. FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001. Hlm 28
                [22] Mahfud. Sidiq, tono. Dadan Muttaqien. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press. 1993. Hlm 214
                [23] Rofiq, Ahmad. FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001.  Hlm 29
                [24] Mahfud. Sidiq, tono. Dadan Muttaqien. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press. 1993.  Hlm 214
                [25] Rofiq, Ahmad. FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001. Hlm 29
                [26] Mahfud. Sidiq, tono. Dadan Muttaqien. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press.1993. Hlm 214
                [27] Ibid. Hlm 214
                [28] Rofiq, Ahmad. FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2001. Hlm 28
                [29] Ibid. Hlm 29
                [30] Ibid. Hlm 29
                [31] Rofiq, Ahmad. FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. . 2001. Hlm 42
                [32] Ibid. Hlm 43
                [33] Ibid. Hlm 43
                [34] Ibid. Hlm 43
                [35] Ibid. Hlm 44
                [36] Ibid. Hlm 45
                [37]Rofiq. Ahmad.HukumIskamIndonesua,(Jakarta:Rajawali Pers,2002),400-401.
                [38] Rofiq, Ahmad. FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2001. Hlm 46
                [39]Rofiq. Ahmad. HukumIskamIndonesua,(Jakarta:Rajawali Pers,2002).401-402.
                [40] Mahfud. Sidiq, tono. Dadan Muttaqien.. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press.1993. Hlm 215
                [41] Rofiq, Ahmad. FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.. 2001 Hlm 30
                [42] Habiburahman. Rekonstruksi HUKUM Kewarisan ISLAM di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.2001 Hlm 19
                [43] Ibid. Hlm 19
                [44] Rofiq, Ahmad. FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001.  Hlm 39
                [45] Ibid. Hlm 40
                [46] Habiburahman. Rekonstruksi HUKUM Kewarisan ISLAM di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.. 2001.  Hlm 19
                [47] Rofiq, Ahmad. FIQH MAWARIS. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. . 2001. Hlm 31
                [48] Ibid. Hlm 31
                [49] Ibid. Hlm 32
                [50] Ibid. Hlm 32
                [51] Ibid. Hlm 34
                [52] Ibid. Hlm 34
                [53] Ibid. Hlm 33
                [54] Ibid. Hlm 33
                [55] Ibid. Hlm 35
                [56] Ibid. Hlm 35
                [57] Ibid. Hlm 36
                [58]Zainuddin Ali. .HukumPerdata Islam di Indonesia,((Jakarta,Sinar Grafika:2006). 112-113.
                [59]Islamuna Volume 1 Nomor 2 Desember 2014. Diakses pada tanggal: 22 November 2016, pukul: 22.11
                [60]Rofiq. Ahmad. Fiqh Mawaris. hlm. 37-38.
                [61] Muchamad Ali Ash-Shabuni. Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam. hlm. 27.
                [62] Ibid. hlm. 38
                [63] Ibid. hlm. 38
                [64] Ibid. 38-39
                [65] Muchamad Ali Ash-Shabuni. Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam. hlm. 27-28
                [66]Ahmad. Rofiq. Fiqh Mawaris. hlm. 38-40.
                [67] Ibid. hlm. 41.
                [68]Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Fiqh Mawaris. hlm. 42-46.
                [69]Ibid.
                [70] Mahfud. Sidiq, tono. Dadan Muttaqien. 1993. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Hlm 215
                [71] Dr. Muchamad Ali Ash-Shabuni. Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam. hlm. 28-29.
                [72] Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Fiqh Mawaris. hlm. 47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar