Minggu, 19 Februari 2017

Hak dan Kewajiban Suami Istri



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Perlu diketahui bahwa kehidupan rumah tangga tidak lepas dari permasalahan, baik masalah yang sepele hingga masalah yang membutuhkan kedewasaan berpikir agar terhindar dari pertengkaran yang berkepanjangan. Sehingga hal ini membutuhkan saling memahami antar suami istri, perlu mengetahui hak dan kewajiban suami terhadap isteri atau hak dan kewajiban isteri terhadap suami.

Dewasa ini banyak kasus perceraian yang terjadi di kalangan masyarakat, apapun alasannya mengapa di kalangan masyarakat sering terjadi kasus perceraian, mungkin mereka belum memahami hak dan kewajiban suami terhadap istri ataupun sebaliknya. Maka dipandang perlu untuk kita mengkaji dan membahas hal tersebut secara mendalam dan aturannya dalam Hukum Perdata Islam Indonesia yang termuat dalam Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian perkawinan?
2.      Bagaimana hak dan kewajiban suami isteri menurut Undang-undang Perkawinan?
3.      Bagaimana hak dan kewajiban suami isteri menurut Kompilasi Hukum Islam Indonesia?




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Hak Dan Kewajiban Suami Istri
Perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita (suami dan istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Hak dan kewajiban merupakan hubungan timbal balik antara suami dengan istrinya. Hal itu diatur oleh pasal 30 undang-undang nomor 1 tahun 1974 (selanjutnya disebut undang-undang perkawinan) dan pasal 77 sampai dengan pasal 84 kompilasi hukum islam (selanjutnya disebut KHI).
Pasal 30 undang-undang perkawinan menyatakan: suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Selain itu, pasal 77 ayat (1) KHI berbunyi: Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Ketentuan tersebut berdasarkan firman Allah dalam surah Ar-Ruum (30) ayat 21. Yang berbunyi, “Dan diantara kekuasaan-nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan jadikan-nya diantara rasa kasih sayang. Susungguhnya pada yang demikian itu benar-benar tanda-tanda bagi kamu yang berpikir.

Masalah hak dan kewajiban suami istri yang diatur dalam pasal 31 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:
1)      Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.
2)      Masing-masing pihak berhak untuk melakukan berbuatan hukum.
3)      Suami adalah lepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

Ketentuan pasal 31 diatas diatur juga dalam KHI pada pasal 79. Selanjutnya pasal 32 undang-undang perkawinan menentukan:
1)      Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2)      Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.

Pasal 33 undang-undang perkawinan menyatakan bahwa suami istri wajib mencintai, hormat-menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Dalam KHI diatur dalam pasal 77 ayat (2), (3), (4) yang diungkap sebagai berikut:
1)      Suami wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
2)      Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara dan mengasuh anak-anak mereka, baik mengenaik pertumbuhan jasmani, rohani, mauoun kecerdasan, dan pendidikan agamanya.
3)      Suami istri wajib menjaga kehormatannya.
1.      Kewajiban Suami
a.       Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri
Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri berbeda dari kewajiban suami yang mempunyai istri lebih dari seorang. Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri diatur oleh pasal 80 dan 81 KHI yang diungkapkan sebagai berikut.                                                                                                                 
Pasal 80 KHI
1)        Suami adalah bimbingan terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.
2)        Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3)        Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istri dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4)        Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : 
a)    Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri
b)   Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak
c)    Biaya pendidikan bagi anak
5)         Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b yang disebutkan diatas mulai berlaku sesudah adanya tamkin sempurna dari istrinya.
6)        Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7)        Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri Nusyus.                                       

Pasal 81 KHI
1)        Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah.
2)        Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wakaf.
3)        Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4)        Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan maupun sarana penunjang lainnya.
b.      Kewajiban suami yang berlebih dari seorang istri
Pasal 82 KHI menetukan bahwa kewajiban suami yang beristri lebih seorang adalah sebagai berikut:
1)        Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang, menurut besar kecilnya pendapatan suami.
2)        Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang, menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
3)        Dalam hal para istri rela ikhlas, suami dapat menetapkan istrinya dalam satu tempat kediaman.
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dipahami bahwa kewajiban suami terhadap istri-istrinya adalah perilaku seimbang, sepadan, dan selaras atau dalam bahasa Al-quran disebut adil.
2.      Kewajiban Istri
Selain kewajiban suami adalah hak istri, maka hak suami pun ada yang merupakan kewajiban istri. Hal itu diatur dalam pasal 34 undang-undang perkawinan secara umum dan secara rinci (khusus) diatur dalam pasal 83 dan 84 KHI.


Pasal 83 KHI
1)   Kewajiban utama seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada semua di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam.
2)   Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan baiknya.
Pasal 84 KHI
1)   Istri dapat di anggap nusyus jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagiamana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
2)   Selama istri dalam nusyus, kewajiban suami terhadap istri tersebut pasal pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali dalam hal-hal kepentingan anaknya.
3)   Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyus.
4)   Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyus dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Jika seorang istri nusyus kepada suaminya, maka teknis pelaksanaannya berpedoman kepada firman Allah dalam Al-quran surah An-Nisaa’ (4) ayat 34 mempunyai garis hukum sebagai berikut.
1)   Suami memberi nasehat secara baik kepada istrinya yang nusyus. Berarti suami memerlakukan kearifan dan waras diri yang mampu mempengaruhi istrinya untuk tidak nusyus.
2)   Suami berpisah tidur dengan istrinya agar sang istri berpikir untuk mengubah perilakunya yang nusyus.
3)   Suami memukul istrinya yang nusyus dengan pukulan yang bersifat mendidik.
Mengenai istri yang nusyus adalah sang istri membangkang terhadap suaminya, tidak mematuhi ajakan dan perintahnya, menolak berhubungan suami istri tanpa alasan yang jelas dan sah berdasarkan hukum isalam, atau istri keluar meninggalkan rumah tanpa seizin suami atau setidak-tidaknya diduga sang suami tidak menyetujuinya.
B.     Harta Kekayaan Dalam Perkawinan
1.      Harta bersama
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang di peroleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Hal itu diatur dalam pasal 35 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu sebagai berikut:
1)   Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
2)   Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masng-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di baeah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Harta yang diperoleh suami atau istri berdasarkan usahanya masing-masing merupakan milik bersama suami istri. Lain halnya harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebelum akad nikah, yaitu harta asal atau harta bawaan. Harta asal itu, akan diwarisi oleh masing-masing keluarganya bila pasangan suami istri itu meninggal dan tidak mempunyai anak. Hal ini berdasarkan firman Allah surah An-Nisaa’ (4) ayat 32. Yang artinya : “dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagin kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian yang mereka usahakan”.
Isyarat dari penegasan ayat diatas, yang dijadikan sumber acuan pasal 85, 86, dan 87 KHI.
Pasal 85 KHI 
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing  suami atau istri.                                                                                                                                          
Pasal 86 KHI
1)        Pada dasarnya tidak ada percampuran antar harta suami dan harta istri karena perkawinan.
2)        Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87 KHI
1)        Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan  masing-masing penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2)        Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, shadaqah, dan lainnya. Penggunaan harta bersama suami istri atau harta perkawinan, diatur dalam pasal 36 ayat (1) undang-undang perkawinan, yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pengguna harta asal dan harta bawaan penggunannya diatur dalam pasal 36 ayat (2) undang-undang perkawinan, yang menyatakan bahwa menjelaskan tentang hak suami atau istri untuk membelanjakan harta bawaan masing-masing.
Pasal 89 KHI                                                                                                                                         Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri.
Pasal 90 KHI                                                                                                                                                        
Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.
Peraturan kekayaan harta bersama diatur dalam pasal 91 KHI:
1)        Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
2)        Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, harta bergerak dan surat-surat berharga.
3)        Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
4)        Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 91 KHI diatas, dapat dipaham bahwa adanya perbedaan kehidupan sosial dizaman Nabi Muhammmad dengan kondisi sosial saat ini, saat ini ditemukan harta yang berupa surat-surat berharga (polis, saham, cek, dan lain-lain). Pengertian harta kekayaan menjadi luas jangkauannya.
Pasal 92 KHI mengatur mengenai persetujuan pengguna harta bersama: “Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.” Pengguna harta bersama lebih lanjut diatur dalam pasal 93, 94, 95, 96 dan 97 KHI.
Pasal 93 KHI
1)        Penanggung jawaban terhadap utang suami atau istri dibedakan atas harta masing-masing.
2)        Pertanggung jawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3)        Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada suami.
4)        Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi  di bebankan kepada harta istri.
Pasal 94 KHI
1)        Harta bersama dari perkawinan seorang suami mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2)        Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.
Pasal 95 KHI
1)        Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 dan pasal 136 ayat (2), suami atau istri dapat meminta pengadilan agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang mengurangi dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainnya.
2)        Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin pengadilan agama.
Pasal 96 KHI
1)        Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak psangan yang lebih hidup lama.
2)        Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus di tangguhkan sampai adanya kepastian matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama.
Pasal 97 KHI
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2.      Pertanggung jawaban terhadap utang suami
Pada dasarnya, salah satu tanggung jawab suami adalah memberi nafkah kepada istrinya dan keluargannya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin (ketentraman, keamanan) sesuai dengan kemampuannya.
Undang-undang perkawinan dan KHI tidak menjelaskan permasalahan dimaksud, melainkan KHI hanya menyinggung utang suami secara umum dan tidak menyinggung ketidak mampuan suami memberikan nafkah kepada istrinya. Hal ini tanpa dalam keadaan dalam kondisi sosial masyarakat saat ini. Sebagai contoh, seorang istri setiap hariny berkerja sebagai pegawai negri dan menerima gaji pada setiap bulan, sementara suami tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan uang sehingga tidak mampu memberi nafkah lahir kepada istrinya (suami hanya tinggal dirumah). Sang istri yang menggangtikan posisi suami untuk memberi nafkah dan biaya keperluan rumah tangga.
Permasalahan ini diuraikan sebagai berikut:
1)        Kalau suami tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya maka gugurlah hak untuk melakukan hubungan dengan istrinya (istimta/huhungan suami istri). Alasannya, nafkah merupakan perimbangan kesenangan hubungan suami istri  yang didasari oleh ketentuan bahwa istri yang nusyus tidak berhak menerima nafkah dari suaminya. Kalau tidak ada nafkah maka gugurlah hak untuk melakukan hubungan.
2)        Kalau suami mendapat kesulitan untuk memberikan nafkah kepada istrinya maka perkawinnan tidak fasakh.  Pendapat itu berdasarkan hadits nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya: Rasulullah saw dimintai oleh istrik-istrinya nafkah, kemudian Abu Bakar dan Umar berdiri menemui aisyah dan hafsah, keduanya memegang leher mereka, dan keduanya berkata: “ apakah kalian meminta kepada Rasulullah saw sesuatu yang tidak ada pada beliau”.
3)        Suami yang berada dalam kesulitan, ditahan sebgai pemberian kessempatan untuk mengatasi situasi krisisnya.
4)        Memberi kesempatan pada suami untuk erbenah terhadp kewajibannya yang menjadi tanggung jawabnya.
5)        Apabila si istri mampu dan suaminya kesulitan maka nafkah di bebankan kepada si istri dan tidak menuntut pembayaran kembali apabila suaminya mampu.
6)        Apabila seorang perempuan ketika menikah mengetahi bahwa suaminya dalam kesulitaan, atau semula dalam keadaan mampu kemudiann karena sesuatu hal bangkrut, maka si istri tidak boleh menuntut fasakh. Namun, bila ia tidak mengetahui sebelumnya ia boleh mengajukan fasakh.
Berdasarkan enam perbedaan pendapat diatas, bila di hubungkan dengan pasal 93 KHI, dapat di pahami bahwa KHI menegaskan utang suami, atau istri menjadi tanggungan masing- masing. Berarti KHI tidak menegaskan jenis dan sifat hutang itu sendiri. Jika terjadi persoalan semacam ini kemudian diajukan kepengadilan agama, sebaiknya hakim perlu mempertimbangkan berbagai aspek untuk kepentingan,  yaitu untuk apa suami berhutang, dan bagaimana juga kewajiban nafkah istri dan keluarganya di penuhi. Hal ini dapat dilihat ketentuan pasal 93 sebagai berikut.
Pasal 93 KHI
1)        Pertanggung jawaban terhadap utang suami atau istri dibedakan pada hartanya masing-masing.
2)        Pertanggung jawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibedakan kepada harta bersama.
3)        Bila harta bersama tidak mencukupi, di bedakan kepada harta suami.
4)        Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebenkan kepada harta istri.
C.    Asal-usul Anak
Asal-usul anak merupakan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Para ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li’an, hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan saudara ibunya. Di Indonesia, masalah asal-usul anak ini terdapat beberapa ketentuan hukum yang berbeda-beda. Ini dapat dimengerti , karena pluralitas bangsa, utamanya dari segi agama dan adat kebiasaan , maka ketentuan hukumyang berlaku pun bervariasi. Setidaknya ada tiga hukum yang berlaku, yaitu Hukum Islam, Hukum perdata yang termuat dalam KUH Perdata, dan Hukum Adat, sebagai hukum yang tidak tertulis. Masing-masing hukum tersebut, selain mempunyai persamaan, namun dalam hal asal-usul anak memiliki perbedaan yang sangat signifikan, terutama yang berkaitan dengan segi-segi etika dan moral.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1947 mengatur tentang asal-usul anak dalam pasal 42, 43 dan 44. Selengkapnya akan dikutip di bawah ini:
Pasal 42:
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
Pasal 43:
(1)   Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2)   Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44:
(1)   Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
(2)   Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/ tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan.
Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimal usia kandungan. Jadi selama bayi yang dikandung tadi lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usian kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasannya. Dalam kompilasi ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam undang-undang Perkawinan.
Pasal 99:
Anak yang sah adalah
a.       Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b.      Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut .
Pasal 100:
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101:
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.

Pasal 99 di atas mengandung pembaharuan hukum dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bayi tabung, yaitu proses ovulasi yang direkayasa di luar rahim, melalui tabung yang disiapkan untuk itu, kemudian dimasukkan lagi ke dalam rahim isteri, dan dilahirkan juga oleh isteri tersebut. Jadi tetap dibatasi antara suami dan isteri yang terikat oleh perkawinan yang sah.
Pasal 102 kompilasi juga tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya.
(1)   Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada pengadilan agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada pengadilan agama.
(2)   Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.
Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas minimal usia kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu untuk mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama. Al-Quran memberi petunjuk yang jelas tentang masalah ini.
Batas minimal usia bayi dalam kandungan adalah 6 bulan dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan. Ketentuan ini diambil dari firman Allah QS. Al-Ahqaf ayat 15 dan QS. Luqman ayat 14 yang artinya:
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 (tiga puluh) bulan (dua setengah tahun) (QS. Al-Ahqaf, 46:15)

Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun (dua puluh empat bulan) (QS. Luqman, 31:14)
Kedua ayat tersebut, oleh Ibn Abbas dan disepakati para ulama, ditafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh empat bulan. Berarti, bayi membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di dalam kandungan.
Oleh sebab itu apabila bayi lahir kurang dari 6 bulan tidak bisa dihubungkan kekerabatannya kepada bapaknya kendatipun dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya saja. Pendapat semacam ini, boleh jadi terasa kaku. Tetapi apabila semua pihak konsisten dengan gagasan Al-Quran yang menekankan pembinaan moral, tentu akan dapat meyadari dan memakluminya.
Pada hukum adat tidak dijumpai keterangan yang jelas mengenai perzinaan. Menurut hukum adat di beberapa daerah di Indonesia, yang dianggap melakukan zina itu hanya kaum isteri dan dipandang sebagai melanggar hak suami.  Sanksi hukum yang dijatuhkan,kedua ibu-anak diasingkan dari masyarakat, dibunuh atau disembahkan kepada raja sebagai budak. Alternatif yang kemudian ditempuh, untuk mencegah supaya ibu dan anak tidak tertimpa nasib seperti di atas, maka dilakukan berbagai cara antara lain:
a.         Kawin paksa, yaitu perkawinan yang dipaksakan pada laki-laki yang ditunjuk oleh si perempuan, baik karena laki-laki yang menghamilinya atau kadang-kadang tidak demikian.
b.        Kawin darurat, yaitu perkawinan dengan sembarang laki-laki, misalnya kepala desa, dengan perempuan yang hamil, supaya anak yang lahir itu terlahir dalam hubungan perkawinan. Menurut adat Jawa, hal ini disebut nikah tambelan, adat Bugis disebut pattongkogsi sirig penutup malu.
Jadi sekali lagi bahwa anak sah menurut hukum positif termasuk di dalamnya hukum Islam di Indonesia, adalah anak yang lahir dari atau akibat perkawinan yang sah, ia disebut sebagai anak sah. Tampaknya, kompilasi juga tidak membicarakan hubungan nasab ini secara tegas, kecuali bayi yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, kecuali apabila suami mengajukan li’an.
Lebih lanjut kompilasi menjelaskan tentang li’an dalam pasal 125, 126, 127 dan 128. Secara berturut-turut dikutip di bawah ini.
Pasal 125:
Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya.
Pasal 126:
Li’an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Pasal 127:
Tata cara Li’an diatur sebagai berikut:
a.         Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “Laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”.
b.        Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”.
c.         Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
d.        Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li’an.
Pasal 128:
Li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan siding Pengadilan Agama.
Maksud pasal 128 bahwa li’an hanya sah jika dilakukan di hadapan siding Pengadilan Agama, adalah dalam rangka mewujudkan tertib hukum dan administrasi.
Adapun pembuktian asal-usul anak, Undang-undang perkawinan mengaturnya dalam pasal 55, dan Kompilasi menjelaskannya dalam pasal 103 yang isinya sama:
(1)     Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2)     Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
(3)     Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2) maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Ketentuan hukum perlunya akta kelahiran sebagai bukti otentik asal-usul anak, meski sesungguhnya telah diupayakan sejak lama, secara metodologis ia merupakan inovasi hukum positif terhadap ketentuan hukum dalam hukum Islam. Jika dalam Hukum Islam asal-usul anak diketahui dengan adanya ikatan perkawinan yang sah, dipertegas dengan batasan minimal atau maksimal yang lazim usia janin dalam kandungan, maka pembuktian secara formal dengan akta kelahiran atau akta surat kelahiran.  Penentuan perlunya akta kelahiran tersebut, didasarkan atas prinsip maslahat mursalah, yaitu merealisasikan kemaslahatan bagi anak. Selain anak akan mengetahui secara persis siapa kedua orang tuanya, juga apabila suatu saat timbul permasalahan, dengan bantuan akta anak tersebut dapat melakukan upaya hukum.
Manfaat lain dari akta Kelahiran atau yang sejenis, ia merupakan identitas resmi yang akan sering digunakan, misalnya untuk keperluan sekolah, pengurusan passport, dan lain-lain.



D.    Pemeliharaan Anak dan Tanggungjawab Terhadap Anak Bila Terjadi Perceraian
Pemeliharaan Anak
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggungjawab kedua orang tuanya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Dalam konsep Islam, tanggungjawab ekonomi berada dipundak suami sebagai kepala rumah tangga. Meskipun dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan bahwa isteri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting adalah adanya kerja sama dan tolong menolong antara suami dan isteri dalam memelihara anak, dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa. Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi tidak secara rinci mengatur masalah tersebut. Karena tugas dan kewajiban memelihara anak, inheren dengan tugas dan tanggung jawab suami sekaligus sebagai bapak bagi anak-anaknya.
Dalam Kompilasi Bab XIV pasal 98 dijelaskan sebagai berikut:
(1)   Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2)   Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
(3)   Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya meninggal.
Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik membekali mereka dengan ilmu pengetahuan untuk bekal mereka di hari dewasa. Secara khusus Al-Quran menganjurkan kepada ibu agar hendaknya menyusukan mereka, secara sempurna yaitu usia dua tahun. Demikian juga Al-Quran mengisyaratkan, agar ibu tidak menderita karena si anak, demikian juga seorang ayah tidak menderita karena anaknya.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengemukakan dalam Bab X dengan tajuk Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak.
Pasal 45:
(1)   Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2)   Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 46:
(1)   Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.
(2)   Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47:
(1)   Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2)   Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Kewajiban lain yang menjadi tanggungjawab orang tua adalah berkaitan dengan hak kebendaan. Dalam pasal 106 Kompilasi dinyatakan:
(1)   Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2)   Orang tua bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1)
Hal ini dijelaskan dalam pasal 48 Undang-undang Perkawinan: “Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belummelangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Kompilasi juga melakukan antisipasi jika kemungkinan seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya. Pasal 104 menyatakan:
(1)   Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2)   Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah ibunya.

Tanggungjawab Terhadap Anak Bila Terjadi Perceraian
Pada dasarnya tanggungjawab pemeliharaan anak menjadi beban orang tuanya, baik kedua orang tuanya masih hidup rukun atau ketika perkawinan mereka gagal karena perceraian. Yang pertama telah dibicarakan dalam pembahasan sebelumnya, dan yang kedua akan dikaji dalam pembahasana ini.
Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam bahasa fiqh disebut dengan hadanah. Al-San’ani mengatakan bahwa hadanah adalah memlihara seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri, mendidik, dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan madarat kepadanya. Dalam pasal 41 Undang-undang Perkawinan dinyatakan:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a.       Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya.
b.      Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu: bilamana bapak dalam kenyataann tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa terdapat perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material, dan tanggung jawab pengasuhan. Jika ketentuan pasal 41 UU Perkawinan tersebut lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggungjawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika mampu, namun di sisi lain apabila terjadi bahwa suami tidak mampu, pengadilan dapat menentukan lain.
Kompilasi mengaturnya secara lebih rinci dalam pasal 105 sebagai berikut:
Dalam hal terjadinya perceraian:
a.       pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b.      pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c.       biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Jadi meskipun pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dilakukan oleh ibu dari anak tersebut, biaya pemeliharaannya tetap menjadi tanggungjawab ayahnya. Tanggungjawab seorang ayah tidak hilang karena terjadi perceraian. Seperti dinyatakan dalam firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 233 yang artinya:

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Termasuk dalam tanggungjawab orang tua adalah merawat dan mengembangkan harta anaknya, seperti diatur dalam pasal 106 kompilasi:
(1)   Orang tua berkewajiban merawat dan mengembankan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2)   Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
Alasannya jelas, anak yang belum dewasa tidak mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Karena itu segala tanggungjawab kedua orang tuanya. Dalam rumusan UU Perkawinan, dinyatakan dalam pasal 48: “Orang tua tidak diperbolehkan memidahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu mengehendakinya”.
Kekuasaan orang tua dapat dicabut atau dialihkan apabila ada alasan-alasan yang menuntut pengalihan tersebut. Pasal 49 UUP menyatakan:
(1)   Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:
a.       Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b.      Ia berkelakuan buruk seklai
(2)   Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Apabila yang melakukan perceraian adalah seorang pegawai negeri, sebagai ikatan dari pelaksanaan tanggungjawabanya terhadap anak setelah terjadi perceraian, pemerintah melalui Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) Nomor: 08/SE/1983 pada poin 19 dinyatakan:
Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Apabila anak mengikuti bekas isteri, maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut:
(1)   Sepertiga gaji untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan;
(2)   Sepertiga gaji untuk bekas isterinya;
(3)   Sepertiga gaji untuk abaknya yang diterimakan kepada bekas isterinya.
b.      Apabila perkawinan tidak menghasilkan anak, maka gaji dibagi dua, yaitu setengah untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan dan setengah untuk bekas isterinya.
c.       Apabila anak mengikuti PNS pria yang bersangkutan, maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut:
(1)   Sepertiga gaji untuk PNS pria yang bersangkutan;
(2)   Sepertiga gaji untuk bekas isterinya;
(3)   Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada PNS pria yang bersangkutan.

E.     Perwalian
Perwalian adalah kewenangan yang dibreikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu, wali adalah orang yang diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang didasarkan pada Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqoroh (2) ayat 282




“jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaanya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka walinya mengimlakkan dengan jujur.
Ketentuannya tersebut menunjukan peran, kewajiban, dan hak-hak kewajiban wali anak dan harta yang dibawah perwaliannya. Perincian hak dan kewajiban wali dalm hukum Islam dapat diungkapkan beberapa garis hukum, baik yang ada dalam undang-undang perkawinan maupun yang ada dalam komplikasi Hukum Islam. Hal itu diungkapkan sebagai berikut :
Pasal 50 UU perkawinan
(1)      Anak yang belum mencapai umuR 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua , berada dibawah kekuasaan wali.
(2)      Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendannya.
Pasal 51 UU perkawinan
(1)      Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal, dengansurat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2)      Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
(3)      Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendannya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4)      Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang dibawah kekuasaannya itu pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubannya harta benda anak atau anak-anak itu
(5)      Wali bertanggungjawab atas harta benda anak yang berada dibawah perwaliannnya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Garis hukum yang termuat dari kedua pasal diatas, yang menarik diperhatikan adalah penunjukan melalui surat wasiat atau lisan yang bersifat imperative. Oleh karena itu, sebaiknya diakukan dengan cara yang dapat mempunyai kekuatan hukum atau akta autentik. Agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan anak. Selain itu, Pasal 51 ayat (2) menekankan penunjukan wali diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain yang berkelakuan baik.
Garis hukum mengenai perwalian secara rinci diatur pada pasal 107 sampai dengan pasal 112 KHI. Pasal ini lebih rinci dari perwalian yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan. Hal ini dimaksud, selengkapnya diuraikan sebagai berikut.
Pasal 107 KHI
(1)      Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan/ atau belum pernah melakukan perkawinan .
(2)      Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
(3)      Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melakukan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
(4)      Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik atau Badan Hukum.
Pasal 108 KHI
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan pewalian atas diri atau kekayaan anak atau anak-anaknnya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109 KHI
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila, dan/atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan kewenangan sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110 KHI
(1)      Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan kewajiban agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2)      Wali dilarang mengikatkan, membebani, dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut.

Pasal 111 KHI
(1)      Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
(2)      Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama Berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadannya.
Pasal 112 KHI
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut keputusan atau bilma’ruf kalau wali itu fakir.
Adapun Ayat Al-qur’an yang membahas tentang perwalian adalah QS An-Nisa Ayat 6 yang membahas tentang Perwalian yang dilakukan pada Anak Yatim yang telah ditinggalkan kedua orang tuanya. Dijelaskan pada firman Allah sebagai berikut :
“Dan ujilah anak – anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudian jika menurut pendapat mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemeliharaan itu) mampu, maka hendaklah diam menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu ) dan barang siapa miskin, maka bolehlah diam akan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas”(QS An-Nisa; ayat 6)

Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap harta mereka. Dan Allah sangat murka jika orang yang kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan orang - orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala – nyala (neraka).

Selain itu, dalam berbagai hadis Nabi Saw, juga telah menjelaskan mengenai ketentuan dan dasar hukum mengenai perwalian, Nabi Saw bersabda :

“Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa yang membinasakan yaitu : mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim,lari dari medan perang, menuduh berzinah wanita mukmin yang memelihara kehormatannya. (Nashiruddin Al- Bani, Dalam Ringkasan Shahih Bukhari – Muslim ,Jilid III, 2008.)

Di dalam hadis lain Rasulullah SAW juga menyatakan tentang kedudukan hukum tentang perwalian. Nabi Saw bersabda :
 “Sesungguhnya tidak putus wali bagi anak perempuan Hamzah kepada saudara perempuan ibunya. Saudara perempuan ibu menepati kedudukan ibu (HR. Bukhari). 



































BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita (suami dan istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri.
Masalah hak dan kewajiban suami istri yang diatur dalam pasal 31 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:
1)        Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.
2)        Masing-masing pihak berhak untuk melakukan berbuatan hukum.
3)        Suami adalah lepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

Ketentuan pasal 31 diatas diatur juga dalam KHI pada pasal 79. Selanjutnya pasal 32 undang-undang perkawinan menentukan:
1)        Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2)        Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.
Ada beberapa aspek yang termasuk ke dalam hak dan kewajiban suami dan isteri yaitu diantaranya:
1.        Harta kekayaan dalam perkawinan
2.        Asal-usul anak
3.        Pemeliharaan anak dan tanggungjawab terhadap anak bila terjadi perceraian
4.        Perwalian










Daftar Pustaka

Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia. Cetakan ke-6 RajaGrafindo Persada, Jakarta 2003.
Ali Zainudin, Hukum Islam di Indonesia. Sinar Gafika, Jakarta 2006.








1 komentar:

  1. LAGI LAGI, LAGI, LAGI, LAGI DAN LAGI

    nama saya Julia Simon, saya adalah korban penipuan di tangan pemberi pinjaman palsu. Saya telah kehilangan sekitar $ 45.000,00 karena saya membutuhkan modal besar $ 200.000,00. Saya hampir mati, saya tidak punya tempat untuk pergi. Bisnis saya hancur dan dalam proses itu saya kehilangan putra saya. Saya tidak tahan lagi dengan hal ini. pada Januari 2018, teman saya memperkenalkan saya kepada seorang ibu yang baik, Ny. Augusta Ibramhim, yang pada akhirnya membantu saya mendapatkan pinjaman di perusahaan pinjaman tempat dia bekerja. Ibu yang baik, Augusta Ibramhim, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih dan semoga Tuhan melanjutkan untuk memberkatimu. Saya juga ingin menggunakan kesempatan ini untuk menasihati sesama orang Indonesia bahwa ada banyak scammer di luar sana, jadi jika Anda memerlukan pinjaman, dan ingin mendapatkan pinjaman dengan cepat, hanya mendaftar melalui Mrs Augusta Ibramhim dan Anda dapat menghubunginya melalui email: (augustaibramhim11 @ gmail.com). Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya: (juliasimon460@gmail.com). jika Anda memiliki keraguan. tolong dia satu-satunya orang yang bisa diandalkan dan dapat dipercaya.


    Terima kasih.

    BalasHapus