BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perlu diketahui
bahwa kehidupan rumah tangga tidak lepas dari permasalahan, baik masalah yang
sepele hingga masalah yang membutuhkan kedewasaan berpikir agar terhindar dari
pertengkaran yang berkepanjangan. Sehingga hal ini membutuhkan saling memahami
antar suami istri, perlu mengetahui hak dan kewajiban suami terhadap isteri
atau hak dan kewajiban isteri terhadap suami.
Dewasa ini banyak
kasus perceraian yang terjadi di kalangan masyarakat, apapun alasannya mengapa
di kalangan masyarakat sering terjadi kasus perceraian, mungkin mereka belum
memahami hak dan kewajiban suami terhadap istri ataupun sebaliknya. Maka
dipandang perlu untuk kita mengkaji dan membahas hal tersebut secara mendalam
dan aturannya dalam Hukum Perdata Islam Indonesia yang termuat dalam
Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian perkawinan?
2. Bagaimana hak dan kewajiban
suami isteri menurut Undang-undang Perkawinan?
3. Bagaimana hak dan kewajiban
suami isteri menurut Kompilasi Hukum Islam Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hak Dan
Kewajiban Suami Istri
Perkawinan
adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita
(suami dan istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah di satu pihak dan
di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan
kewajiban antara suami dan istri. Hak dan kewajiban merupakan hubungan timbal
balik antara suami dengan istrinya. Hal itu diatur oleh pasal 30 undang-undang
nomor 1 tahun 1974 (selanjutnya disebut undang-undang perkawinan) dan pasal 77
sampai dengan pasal 84 kompilasi hukum islam (selanjutnya disebut KHI).
Pasal 30
undang-undang perkawinan menyatakan: suami
istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat. Selain itu, pasal 77 ayat (1) KHI berbunyi: Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat. Ketentuan tersebut berdasarkan firman Allah dalam surah Ar-Ruum
(30) ayat 21. Yang berbunyi, “Dan diantara kekuasaan-nya ialah dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram
kepadanya, dan jadikan-nya diantara rasa kasih sayang. Susungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar tanda-tanda bagi kamu yang berpikir.
Masalah hak dan
kewajiban suami istri yang diatur dalam pasal 31 undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan yang berbunyi:
1)
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.
2)
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan berbuatan hukum.
3)
Suami adalah lepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Ketentuan pasal
31 diatas diatur juga dalam KHI pada pasal 79. Selanjutnya pasal 32
undang-undang perkawinan menentukan:
1)
Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2)
Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan
oleh suami istri bersama.
Pasal 33
undang-undang perkawinan menyatakan bahwa suami istri wajib mencintai,
hormat-menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada
yang lain. Dalam KHI diatur dalam pasal 77 ayat (2), (3), (4) yang diungkap
sebagai berikut:
1)
Suami wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
2)
Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara dan
mengasuh anak-anak mereka, baik mengenaik pertumbuhan jasmani, rohani, mauoun
kecerdasan, dan pendidikan agamanya.
3)
Suami istri wajib menjaga kehormatannya.
1. Kewajiban Suami
a.
Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri
Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri berbeda dari kewajiban
suami yang mempunyai istri lebih dari seorang. Kewajiban suami yang mempunyai
seorang istri diatur oleh pasal 80 dan 81 KHI yang diungkapkan sebagai
berikut.
Pasal
80 KHI
1)
Suami adalah bimbingan terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan
oleh suami istri bersama.
2)
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3)
Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istri dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan
bangsa.
4)
Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a)
Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri
b)
Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak
c)
Biaya pendidikan bagi anak
5)
Kewajiban suami terhadap
istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b yang disebutkan diatas
mulai berlaku sesudah adanya tamkin sempurna dari istrinya.
6)
Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7)
Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri Nusyus.
Pasal
81 KHI
1)
Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya
atau bekas istri yang masih dalam iddah.
2)
Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama
dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wakaf.
3)
Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat
kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai menata
dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4)
Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat
perlengkapan maupun sarana penunjang lainnya.
b.
Kewajiban suami yang berlebih dari seorang istri
Pasal 82 KHI menetukan bahwa kewajiban suami yang beristri lebih
seorang adalah sebagai berikut:
1)
Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, berkewajiban memberi
tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang, menurut
besar kecilnya pendapatan suami.
2)
Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, berkewajiban memberi
tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang,
menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri,
kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
3)
Dalam hal para istri rela ikhlas, suami dapat menetapkan istrinya
dalam satu tempat kediaman.
Berdasarkan
ketentuan diatas, dapat dipahami bahwa kewajiban suami terhadap istri-istrinya
adalah perilaku seimbang, sepadan, dan selaras atau dalam bahasa Al-quran
disebut adil.
2. Kewajiban Istri
Selain
kewajiban suami adalah hak istri, maka hak suami pun ada yang merupakan
kewajiban istri. Hal itu diatur dalam pasal 34 undang-undang perkawinan secara
umum dan secara rinci (khusus) diatur dalam pasal 83 dan 84 KHI.
Pasal
83 KHI
1)
Kewajiban utama seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada
semua di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam.
2)
Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan baiknya.
Pasal
84 KHI
1)
Istri dapat di anggap nusyus jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagiamana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan
alasan yang sah.
2)
Selama istri dalam nusyus, kewajiban suami terhadap istri tersebut
pasal pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali dalam hal-hal
kepentingan anaknya.
3)
Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali
sesudah istri tidak nusyus.
4)
Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyus dari istri harus didasarkan
atas bukti yang sah.
Jika seorang
istri nusyus kepada suaminya, maka teknis pelaksanaannya berpedoman kepada
firman Allah dalam Al-quran surah An-Nisaa’ (4) ayat 34 mempunyai garis hukum
sebagai berikut.
1)
Suami memberi nasehat secara baik kepada istrinya yang nusyus.
Berarti suami memerlakukan kearifan dan waras diri yang mampu mempengaruhi
istrinya untuk tidak nusyus.
2)
Suami berpisah tidur dengan istrinya agar sang istri berpikir untuk
mengubah perilakunya yang nusyus.
3)
Suami memukul istrinya yang nusyus dengan pukulan yang bersifat
mendidik.
Mengenai istri
yang nusyus adalah sang istri membangkang terhadap suaminya, tidak mematuhi
ajakan dan perintahnya, menolak berhubungan suami istri tanpa alasan yang jelas
dan sah berdasarkan hukum isalam, atau istri keluar meninggalkan rumah tanpa
seizin suami atau setidak-tidaknya diduga sang suami tidak menyetujuinya.
B.
Harta Kekayaan Dalam Perkawinan
1. Harta bersama
Harta bersama
dalam perkawinan adalah harta yang di peroleh suami istri selama dalam ikatan
perkawinan. Hal itu diatur dalam pasal 35 undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan, yaitu sebagai berikut:
1)
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
2)
Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda
yang diperoleh masng-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di baeah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Harta yang
diperoleh suami atau istri berdasarkan usahanya masing-masing merupakan milik
bersama suami istri. Lain halnya harta yang diperoleh masing-masing suami istri
sebelum akad nikah, yaitu harta asal atau harta bawaan. Harta asal itu, akan
diwarisi oleh masing-masing keluarganya bila pasangan suami istri itu meninggal
dan tidak mempunyai anak. Hal ini berdasarkan firman Allah surah An-Nisaa’ (4)
ayat 32. Yang artinya : “dan janganlah
kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagin kamu lebih
banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari pada
apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian yang mereka
usahakan”.
Isyarat dari
penegasan ayat diatas, yang dijadikan sumber acuan pasal 85, 86, dan 87 KHI.
Pasal 85
KHI
Adanya harta
bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami atau istri.
Pasal
86 KHI
1)
Pada dasarnya tidak ada percampuran antar harta suami dan harta
istri karena perkawinan.
2)
Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Pasal
87 KHI
1)
Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
2)
Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, shadaqah, dan lainnya. Penggunaan
harta bersama suami istri atau harta perkawinan, diatur dalam pasal 36 ayat (1)
undang-undang perkawinan, yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama suami
atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pengguna harta
asal dan harta bawaan penggunannya diatur dalam pasal 36 ayat (2) undang-undang
perkawinan, yang menyatakan bahwa menjelaskan tentang hak suami atau istri
untuk membelanjakan harta bawaan masing-masing.
Pasal 89 KHI Suami
bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri.
Pasal 90 KHI
Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta
suami yang ada padanya.
Peraturan kekayaan harta bersama diatur dalam pasal 91 KHI:
1)
Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat
berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
2)
Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak,
harta bergerak dan surat-surat berharga.
3)
Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun
kewajiban.
4)
Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah
satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 91 KHI
diatas, dapat dipaham bahwa adanya perbedaan kehidupan sosial dizaman Nabi
Muhammmad dengan kondisi sosial saat ini, saat ini ditemukan harta yang berupa
surat-surat berharga (polis, saham, cek, dan lain-lain). Pengertian harta
kekayaan menjadi luas jangkauannya.
Pasal 92 KHI
mengatur mengenai persetujuan pengguna harta bersama: “Suami atau istri tanpa
persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta
bersama.” Pengguna harta bersama lebih lanjut diatur dalam pasal 93, 94, 95, 96
dan 97 KHI.
Pasal
93 KHI
1)
Penanggung jawaban terhadap utang suami atau istri dibedakan atas
harta masing-masing.
2)
Pertanggung jawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan
keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3)
Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada suami.
4)
Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi di bebankan kepada harta istri.
Pasal
94 KHI
1)
Harta bersama dari perkawinan seorang suami mempunyai istri lebih
dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2)
Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai
istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat
berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.
Pasal
95 KHI
1)
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c
peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 dan pasal 136 ayat (2), suami atau
istri dapat meminta pengadilan agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta
bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan
perbuatan yang mengurangi dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk,
boros dan sebagainnya.
2)
Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk
kepentingan keluarga dengan izin pengadilan agama.
Pasal
96 KHI
1)
Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak
psangan yang lebih hidup lama.
2)
Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri
atau suaminya hilang harus di tangguhkan sampai adanya kepastian matinya secara
hukum atas dasar putusan pengadilan agama.
Pasal
97 KHI
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2. Pertanggung jawaban terhadap utang suami
Pada dasarnya,
salah satu tanggung jawab suami adalah memberi nafkah kepada istrinya dan
keluargannya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin (ketentraman, keamanan)
sesuai dengan kemampuannya.
Undang-undang
perkawinan dan KHI tidak menjelaskan permasalahan dimaksud, melainkan KHI hanya
menyinggung utang suami secara umum dan tidak menyinggung ketidak mampuan suami
memberikan nafkah kepada istrinya. Hal ini tanpa dalam keadaan dalam kondisi
sosial masyarakat saat ini. Sebagai contoh, seorang istri setiap hariny
berkerja sebagai pegawai negri dan menerima gaji pada setiap bulan, sementara
suami tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan uang sehingga tidak mampu
memberi nafkah lahir kepada istrinya (suami hanya tinggal dirumah). Sang istri
yang menggangtikan posisi suami untuk memberi nafkah dan biaya keperluan rumah
tangga.
Permasalahan
ini diuraikan sebagai berikut:
1)
Kalau suami tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya maka
gugurlah hak untuk melakukan hubungan dengan istrinya (istimta/huhungan suami
istri). Alasannya, nafkah merupakan perimbangan kesenangan hubungan suami
istri yang didasari oleh ketentuan bahwa
istri yang nusyus tidak berhak menerima nafkah dari suaminya. Kalau tidak ada
nafkah maka gugurlah hak untuk melakukan hubungan.
2)
Kalau suami mendapat kesulitan untuk memberikan nafkah kepada
istrinya maka perkawinnan tidak fasakh.
Pendapat itu berdasarkan hadits nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh
Muslim yang artinya: Rasulullah saw dimintai oleh istrik-istrinya nafkah,
kemudian Abu Bakar dan Umar berdiri menemui aisyah dan hafsah, keduanya
memegang leher mereka, dan keduanya berkata: “ apakah kalian meminta kepada
Rasulullah saw sesuatu yang tidak ada pada beliau”.
3)
Suami yang berada dalam kesulitan, ditahan sebgai pemberian
kessempatan untuk mengatasi situasi krisisnya.
4)
Memberi kesempatan pada suami untuk erbenah terhadp kewajibannya
yang menjadi tanggung jawabnya.
5)
Apabila si istri mampu dan suaminya kesulitan maka nafkah di
bebankan kepada si istri dan tidak menuntut pembayaran kembali apabila suaminya
mampu.
6)
Apabila seorang perempuan ketika menikah mengetahi bahwa suaminya
dalam kesulitaan, atau semula dalam keadaan mampu kemudiann karena sesuatu hal
bangkrut, maka si istri tidak boleh menuntut fasakh. Namun, bila ia tidak
mengetahui sebelumnya ia boleh mengajukan fasakh.
Berdasarkan
enam perbedaan pendapat diatas, bila di hubungkan dengan pasal 93 KHI, dapat di
pahami bahwa KHI menegaskan utang suami, atau istri menjadi tanggungan masing-
masing. Berarti KHI tidak menegaskan jenis dan sifat hutang itu sendiri. Jika
terjadi persoalan semacam ini kemudian diajukan kepengadilan agama, sebaiknya
hakim perlu mempertimbangkan berbagai aspek untuk kepentingan, yaitu untuk apa suami berhutang, dan
bagaimana juga kewajiban nafkah istri dan keluarganya di penuhi. Hal ini dapat
dilihat ketentuan pasal 93 sebagai berikut.
Pasal 93 KHI
1)
Pertanggung jawaban terhadap utang suami atau istri dibedakan pada
hartanya masing-masing.
2)
Pertanggung jawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan
keluarga, dibedakan kepada harta bersama.
3)
Bila harta bersama tidak mencukupi, di bedakan kepada harta suami.
4)
Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebenkan kepada
harta istri.
C. Asal-usul
Anak
Asal-usul anak merupakan dasar untuk
menunjukkan adanya hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Para ulama
sepakat bahwa anak zina atau anak li’an, hanya mempunyai hubungan nasab kepada
ibu dan saudara ibunya. Di Indonesia, masalah asal-usul anak ini terdapat
beberapa ketentuan hukum yang berbeda-beda. Ini dapat dimengerti , karena
pluralitas bangsa, utamanya dari segi agama dan adat kebiasaan , maka ketentuan
hukumyang berlaku pun bervariasi. Setidaknya ada tiga hukum yang berlaku, yaitu
Hukum Islam, Hukum perdata yang termuat dalam KUH Perdata, dan Hukum Adat,
sebagai hukum yang tidak tertulis. Masing-masing hukum tersebut, selain
mempunyai persamaan, namun dalam hal asal-usul anak memiliki perbedaan yang
sangat signifikan, terutama yang berkaitan dengan segi-segi etika dan moral.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1947 mengatur
tentang asal-usul anak dalam pasal 42, 43 dan 44. Selengkapnya akan dikutip di
bawah ini:
Pasal 42:
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
Pasal 43:
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas
selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44:
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak
yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya
telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang
sah/ tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan.
Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi hukum
kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara
pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimal usia kandungan.
Jadi selama bayi yang dikandung tadi lahir pada saat ibunya dalam ikatan
perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak sah. Undang-undang tidak
mengatur batas minimal usian kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam
penjelasannya. Dalam kompilasi ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam
undang-undang Perkawinan.
Pasal 99:
Anak yang sah adalah
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah
b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah di
luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut .
Pasal 100:
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101:
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak,
sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan
li’an.
Pasal 99 di
atas mengandung pembaharuan hukum dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya
bayi tabung, yaitu proses ovulasi yang direkayasa di luar rahim, melalui tabung
yang disiapkan untuk itu, kemudian dimasukkan lagi ke dalam rahim isteri, dan
dilahirkan juga oleh isteri tersebut. Jadi tetap dibatasi antara suami dan
isteri yang terikat oleh perkawinan yang sah.
Pasal 102
kompilasi juga tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi dalam
kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
isterinya.
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak
yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada pengadilan agama dalam
jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya
perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak
dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada
pengadilan agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau
waktu tersebut tidak dapat diterima.
Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas
minimal usia kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas maksimal
usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu untuk mengajukan
persoalannya ke pengadilan Agama. Al-Quran memberi petunjuk yang jelas tentang
masalah ini.
Batas minimal usia bayi dalam kandungan adalah 6 bulan
dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan. Ketentuan ini diambil dari firman
Allah QS. Al-Ahqaf ayat 15 dan QS. Luqman ayat 14 yang artinya:
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30
(tiga puluh) bulan (dua setengah tahun) (QS. Al-Ahqaf, 46:15)
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun (dua puluh empat
bulan) (QS. Luqman,
31:14)
Kedua ayat tersebut, oleh Ibn Abbas dan disepakati
para ulama, ditafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu
mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa
menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun
atau dua puluh empat bulan. Berarti, bayi membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6
bulan di dalam kandungan.
Oleh sebab itu apabila bayi lahir kurang dari 6 bulan
tidak bisa dihubungkan kekerabatannya kepada bapaknya kendatipun dalam ikatan
perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan keluarga
ibunya saja. Pendapat semacam ini, boleh jadi terasa kaku. Tetapi apabila semua
pihak konsisten dengan gagasan Al-Quran yang menekankan pembinaan moral, tentu
akan dapat meyadari dan memakluminya.
Pada hukum
adat tidak dijumpai keterangan yang jelas mengenai perzinaan. Menurut hukum
adat di beberapa daerah di Indonesia, yang dianggap melakukan zina itu hanya
kaum isteri dan dipandang sebagai melanggar hak suami. Sanksi hukum yang dijatuhkan,kedua ibu-anak
diasingkan dari masyarakat, dibunuh atau disembahkan kepada raja sebagai budak.
Alternatif yang kemudian ditempuh, untuk mencegah supaya ibu dan anak tidak
tertimpa nasib seperti di atas, maka dilakukan berbagai cara antara lain:
a.
Kawin paksa, yaitu perkawinan yang dipaksakan pada
laki-laki yang ditunjuk oleh si perempuan, baik karena laki-laki yang menghamilinya
atau kadang-kadang tidak demikian.
b.
Kawin darurat, yaitu perkawinan dengan sembarang
laki-laki, misalnya kepala desa, dengan perempuan yang hamil, supaya anak yang
lahir itu terlahir dalam hubungan perkawinan. Menurut adat Jawa, hal ini disebut
nikah tambelan, adat Bugis disebut pattongkogsi sirig penutup malu.
Jadi sekali
lagi bahwa anak sah menurut hukum positif termasuk di dalamnya hukum Islam di
Indonesia, adalah anak yang lahir dari atau akibat perkawinan yang sah, ia
disebut sebagai anak sah. Tampaknya, kompilasi juga tidak membicarakan hubungan
nasab ini secara tegas, kecuali bayi yang lahir di luar ikatan perkawinan yang
sah, kecuali apabila suami mengajukan li’an.
Lebih lanjut
kompilasi menjelaskan tentang li’an dalam pasal 125, 126, 127 dan 128. Secara
berturut-turut dikutip di bawah ini.
Pasal 125:
Li’an menyebabkan putusnya perkawinan
antara suami isteri untuk selama-lamanya.
Pasal 126:
Li’an terjadi karena suami menuduh isteri
berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir
dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut.
Pasal 127:
Tata cara
Li’an diatur sebagai berikut:
a.
Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina
dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata
“Laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut
dusta”.
b.
Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut
dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut
tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya
bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”.
c.
Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan.
d.
Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata
cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li’an.
Pasal 128:
Li’an hanya
sah apabila dilakukan di hadapan siding Pengadilan Agama.
Maksud pasal
128 bahwa li’an hanya sah jika dilakukan di hadapan siding Pengadilan Agama,
adalah dalam rangka mewujudkan tertib hukum dan administrasi.
Adapun
pembuktian asal-usul anak, Undang-undang perkawinan mengaturnya dalam pasal 55,
dan Kompilasi menjelaskannya dalam pasal 103 yang isinya sama:
(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya
tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan
tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti-bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama
tersebut ayat (2) maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang
bersangkutan.
Ketentuan
hukum perlunya akta kelahiran sebagai bukti otentik asal-usul anak, meski
sesungguhnya telah diupayakan sejak lama, secara metodologis ia merupakan
inovasi hukum positif terhadap ketentuan hukum dalam hukum Islam. Jika dalam
Hukum Islam asal-usul anak diketahui dengan adanya ikatan perkawinan yang sah,
dipertegas dengan batasan minimal atau maksimal yang lazim usia janin dalam
kandungan, maka pembuktian secara formal dengan akta kelahiran atau akta surat
kelahiran. Penentuan perlunya akta
kelahiran tersebut, didasarkan atas prinsip maslahat mursalah, yaitu merealisasikan
kemaslahatan bagi anak. Selain anak akan mengetahui secara persis siapa kedua
orang tuanya, juga apabila suatu saat timbul permasalahan, dengan bantuan akta
anak tersebut dapat melakukan upaya hukum.
Manfaat lain
dari akta Kelahiran atau yang sejenis, ia merupakan identitas resmi yang akan
sering digunakan, misalnya untuk keperluan sekolah, pengurusan passport, dan
lain-lain.
D.
Pemeliharaan Anak dan Tanggungjawab Terhadap Anak Bila Terjadi
Perceraian
Pemeliharaan Anak
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggungjawab
kedua orang tuanya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah
ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak.
Dalam konsep Islam, tanggungjawab ekonomi berada dipundak suami sebagai kepala
rumah tangga. Meskipun dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan bahwa isteri
dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu
yang terpenting adalah adanya kerja sama dan tolong menolong antara suami dan
isteri dalam memelihara anak, dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa.
Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi tidak secara rinci mengatur masalah
tersebut. Karena tugas dan kewajiban memelihara anak, inheren dengan tugas dan
tanggung jawab suami sekaligus sebagai bapak bagi anak-anaknya.
Dalam Kompilasi Bab XIV pasal 98 dijelaskan sebagai
berikut:
(1)
Batas usia
anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.
(2)
Orang tuanya
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan.
(3)
Pengadilan
Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan
kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya meninggal.
Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa
kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara
mendidik membekali mereka dengan ilmu pengetahuan untuk bekal mereka di hari
dewasa. Secara khusus Al-Quran menganjurkan kepada ibu agar hendaknya
menyusukan mereka, secara sempurna yaitu usia dua tahun. Demikian juga Al-Quran
mengisyaratkan, agar ibu tidak menderita karena si anak, demikian juga seorang
ayah tidak menderita karena anaknya.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengemukakan dalam Bab X dengan tajuk Hak dan Kewajiban antara Orang
Tua dan Anak.
Pasal 45:
(1)
Kedua orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2)
Kewajiban
orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
antara orang tua putus.
Pasal 46:
(1)
Anak wajib
menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.
(2)
Jika anak
telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga
dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47:
(1)
Anak yang
belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di
bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2)
Orang tua
mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan.
Kewajiban lain yang menjadi tanggungjawab
orang tua adalah berkaitan dengan hak kebendaan. Dalam pasal 106 Kompilasi
dinyatakan:
(1)
Orang tua
berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di
bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya
kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak
itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2)
Orang tua
bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian
dari kewajiban tersebut pada ayat (1)
Hal ini dijelaskan dalam pasal 48
Undang-undang Perkawinan: “Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18
tahun atau belummelangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.
Kompilasi juga melakukan antisipasi jika
kemungkinan seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya. Pasal
104 menyatakan:
(1)
Semua biaya
penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah
meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban
memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2)
Penyusuan
dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa
kurang dua tahun dengan persetujuan ayah ibunya.
Tanggungjawab Terhadap Anak Bila Terjadi
Perceraian
Pada dasarnya tanggungjawab pemeliharaan
anak menjadi beban orang tuanya, baik kedua orang tuanya masih hidup rukun atau
ketika perkawinan mereka gagal karena perceraian. Yang pertama telah
dibicarakan dalam pembahasan sebelumnya, dan yang kedua akan dikaji dalam pembahasana
ini.
Pemeliharaan anak setelah terjadi
perceraian dalam bahasa fiqh disebut dengan hadanah. Al-San’ani mengatakan
bahwa hadanah adalah memlihara seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri,
mendidik, dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat
merusak dan mendatangkan madarat kepadanya. Dalam pasal 41 Undang-undang
Perkawinan dinyatakan:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a.
Baik ibu
atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak pengadilan memberi keputusannya.
b.
Bapak yang
bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan
anak itu: bilamana bapak dalam kenyataann tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.
Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa
terdapat perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material,
dan tanggung jawab pengasuhan. Jika ketentuan pasal 41 UU Perkawinan tersebut
lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggungjawab material yang menjadi beban
suami atau bekas suami jika mampu, namun di sisi lain apabila terjadi bahwa
suami tidak mampu, pengadilan dapat menentukan lain.
Kompilasi mengaturnya secara lebih rinci
dalam pasal 105 sebagai berikut:
Dalam hal terjadinya perceraian:
a.
pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b.
pemeliharaan
anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah
atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c.
biaya
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Jadi meskipun pemeliharaan anak setelah
terjadi perceraian dilakukan oleh ibu dari anak tersebut, biaya pemeliharaannya
tetap menjadi tanggungjawab ayahnya. Tanggungjawab seorang ayah tidak hilang
karena terjadi perceraian. Seperti dinyatakan dalam firman Allah QS. Al-Baqarah
ayat 233 yang artinya:
Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada
Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Termasuk dalam tanggungjawab orang tua adalah merawat dan mengembangkan
harta anaknya, seperti diatur dalam pasal 106 kompilasi:
(1)
Orang tua
berkewajiban merawat dan mengembankan harta anaknya yang belum dewasa atau di
bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya
kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak
itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2)
Orang tua
bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian
dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
Alasannya
jelas, anak yang belum dewasa tidak mempunyai kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum. Karena itu segala tanggungjawab kedua orang tuanya. Dalam
rumusan UU Perkawinan, dinyatakan dalam pasal 48: “Orang tua tidak
diperbolehkan memidahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anak yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan
kecuali apabila kepentingan anak itu mengehendakinya”.
Kekuasaan
orang tua dapat dicabut atau dialihkan apabila ada alasan-alasan yang menuntut
pengalihan tersebut. Pasal 49 UUP menyatakan:
(1)
Salah
seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak
atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan
dalam hal-hal:
a.
Ia sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b.
Ia
berkelakuan buruk seklai
(2)
Meskipun
orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi
biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Apabila yang melakukan perceraian adalah seorang pegawai negeri, sebagai
ikatan dari pelaksanaan tanggungjawabanya terhadap anak setelah terjadi
perceraian, pemerintah melalui Surat Edaran Kepala Badan Administrasi
Kepegawaian Negara (BAKN) Nomor: 08/SE/1983 pada poin 19 dinyatakan:
Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka
ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan
anak-anaknya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Apabila anak
mengikuti bekas isteri, maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut:
(1)
Sepertiga
gaji untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan;
(2)
Sepertiga
gaji untuk bekas isterinya;
(3)
Sepertiga
gaji untuk abaknya yang diterimakan kepada bekas isterinya.
b.
Apabila
perkawinan tidak menghasilkan anak, maka gaji dibagi dua, yaitu setengah untuk
Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan dan setengah untuk bekas isterinya.
c.
Apabila anak
mengikuti PNS pria yang bersangkutan, maka pembagian gaji ditetapkan sebagai
berikut:
(1)
Sepertiga
gaji untuk PNS pria yang bersangkutan;
(2)
Sepertiga
gaji untuk bekas isterinya;
(3)
Sepertiga
gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada PNS pria yang bersangkutan.
E.
Perwalian
Perwalian adalah kewenangan yang dibreikan kepada seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama
anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau orang tua yang masih hidup
tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu, wali adalah orang yang
diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang didasarkan pada Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqoroh (2) ayat 282
“jika yang
berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaanya atau dia sendiri
tidak mampu mengimlakkan, maka walinya mengimlakkan dengan jujur.
Ketentuannya tersebut menunjukan peran, kewajiban, dan hak-hak kewajiban wali anak dan harta yang dibawah perwaliannya. Perincian hak dan kewajiban wali dalm hukum Islam
dapat diungkapkan beberapa garis hukum, baik yang ada dalam undang-undang perkawinan maupun yang ada dalam komplikasi Hukum Islam. Hal itu diungkapkan sebagai berikut :
Pasal 50 UU perkawinan
(1)
Anak yang belum
mencapai umuR 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua , berada dibawah kekuasaan
wali.
(2)
Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendannya.
Pasal
51 UU perkawinan
(1)
Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal, dengansurat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2)
Wali sedapat-dapatnya
diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
(3)
Wali wajib mengurus
anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendannya sebaik-baiknya dengan menghormati
agama dan kepercayaan anak itu.
(4)
Wali wajib membuat
daftar harta benda anak yang dibawah kekuasaannya itu pada waktu memulai jabatannya
dan mencatat semua perubahan-perubannya harta benda anak atau anak-anak itu
(5)
Wali bertanggungjawab
atas harta benda anak yang berada dibawah perwaliannnya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Garis hukum yang termuat dari kedua pasal diatas, yang menarik diperhatikan adalah penunjukan melalui surat wasiat atau lisan yang bersifat imperative. Oleh karena itu, sebaiknya diakukan dengan cara yang dapat mempunyai kekuatan hukum atau akta autentik. Agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan anak. Selain itu,
Pasal 51 ayat (2) menekankan penunjukan wali diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain yang
berkelakuan baik.
Garis hukum mengenai perwalian secara rinci diatur pada pasal 107 sampai dengan pasal 112 KHI. Pasal ini lebih rinci dari perwalian yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan. Hal ini dimaksud,
selengkapnya diuraikan sebagai berikut.
Pasal 107 KHI
(1)
Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan/ atau belum pernah melakukan perkawinan .
(2)
Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
(3)
Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melakukan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
(4)
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik atau Badan Hukum.
Pasal 108 KHI
Orang tua dapat
mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan pewalian atas diri
atau kekayaan anak atau anak-anaknnya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109 KHI
Pengadilan
Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya
kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk,
penjudi, pemboros, gila, dan/atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan kewenangan
sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110 KHI
(1)
Wali berkewajiban
mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya
dan berkewajiban memberikan kewajiban agama, pendidikan dan keterampilan lainnya
untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2)
Wali dilarang mengikatkan, membebani, dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut.
Pasal 111 KHI
(1)
Wali berkewajiban
menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
(2)
Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama Berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadannya.
Pasal 112 KHI
Wali dapat mempergunakan
harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya
menurut keputusan atau bilma’ruf kalau wali itu fakir.
Adapun Ayat Al-qur’an yang membahas tentang perwalian adalah QS
An-Nisa Ayat 6 yang membahas tentang Perwalian yang dilakukan pada Anak Yatim
yang telah ditinggalkan kedua orang tuanya. Dijelaskan pada firman Allah sebagai berikut :
“Dan ujilah anak
– anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudian jika menurut pendapat
mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya.
Dan janganlah kamu tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa
(diantara pemeliharaan itu) mampu, maka hendaklah diam menahan diri (dari memakan
harta anak yatim itu ) dan barang siapa miskin, maka bolehlah diam akan harta itu
menurut cara yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas”(QS
An-Nisa; ayat 6)
Selain adanya perintah
untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangan
mereka, juga penjagaan terhadap harta mereka. Dan Allah sangat murka jika orang
yang kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan orang - orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka
akan masuk kedalam api yang menyala – nyala (neraka).
Selain itu, dalam berbagai hadis Nabi Saw, juga telah menjelaskan mengenai ketentuan dan dasar hukum mengenai perwalian, Nabi Saw bersabda :
“Jauhilah oleh
kalian tujuh macam dosa yang membinasakan yaitu : mempersekutukan Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak,
memakan riba, memakan harta anak yatim,lari dari medan perang, menuduh berzinah
wanita mukmin yang memelihara kehormatannya. (Nashiruddin Al- Bani, Dalam Ringkasan Shahih Bukhari – Muslim ,Jilid III, 2008.)
Di dalam hadis
lain Rasulullah SAW juga menyatakan tentang kedudukan hukum tentang perwalian. Nabi Saw bersabda :
“Sesungguhnya tidak putus wali bagi anak perempuan Hamzah kepada saudara perempuan ibunya. Saudara perempuan ibu menepati kedudukan ibu (HR. Bukhari).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria
dengan seorang wanita (suami dan istri) yang mengandung nilai ibadah kepada
Allah di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang
menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri.
Masalah
hak dan kewajiban suami istri yang diatur dalam pasal 31 undang-undang nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:
1)
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.
2)
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan berbuatan hukum.
3)
Suami adalah lepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Ketentuan
pasal 31 diatas diatur juga dalam KHI pada pasal 79. Selanjutnya pasal 32
undang-undang perkawinan menentukan:
1)
Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2)
Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami istri bersama.
Ada beberapa
aspek yang termasuk ke dalam hak dan kewajiban suami dan isteri yaitu diantaranya:
1.
Harta kekayaan dalam perkawinan
2.
Asal-usul anak
3.
Pemeliharaan anak dan tanggungjawab terhadap anak bila
terjadi perceraian
4.
Perwalian
Daftar Pustaka
Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia. Cetakan ke-6 RajaGrafindo Persada, Jakarta 2003.
Ali Zainudin, Hukum Islam di Indonesia. Sinar Gafika, Jakarta 2006.
LAGI LAGI, LAGI, LAGI, LAGI DAN LAGI
BalasHapusnama saya Julia Simon, saya adalah korban penipuan di tangan pemberi pinjaman palsu. Saya telah kehilangan sekitar $ 45.000,00 karena saya membutuhkan modal besar $ 200.000,00. Saya hampir mati, saya tidak punya tempat untuk pergi. Bisnis saya hancur dan dalam proses itu saya kehilangan putra saya. Saya tidak tahan lagi dengan hal ini. pada Januari 2018, teman saya memperkenalkan saya kepada seorang ibu yang baik, Ny. Augusta Ibramhim, yang pada akhirnya membantu saya mendapatkan pinjaman di perusahaan pinjaman tempat dia bekerja. Ibu yang baik, Augusta Ibramhim, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih dan semoga Tuhan melanjutkan untuk memberkatimu. Saya juga ingin menggunakan kesempatan ini untuk menasihati sesama orang Indonesia bahwa ada banyak scammer di luar sana, jadi jika Anda memerlukan pinjaman, dan ingin mendapatkan pinjaman dengan cepat, hanya mendaftar melalui Mrs Augusta Ibramhim dan Anda dapat menghubunginya melalui email: (augustaibramhim11 @ gmail.com). Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya: (juliasimon460@gmail.com). jika Anda memiliki keraguan. tolong dia satu-satunya orang yang bisa diandalkan dan dapat dipercaya.
Terima kasih.