BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk
segera melaksanakannya karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik
dalam bentuk penglihatan maupun perzinaan.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai satu
unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Agar suatu perkawinan dapat
bertahan dalam jangka waktu yang lama maka diperlukan beberapa pertimbangan
yang matang. Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum sehingga konsekuensi bagi setiap perbuatan hukum yang
sah adalah menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi kedua belah
pihak (suami istri).
Hal-hal mengenai perkawinan telah diatur dalam Al Qur’an dan Hadits.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia pada tanggal 2 Januari 1974
mengesahkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berisi 14
bab dan 67 pasal. Di dalam undang –undang tersebut, diatur beberapa hal di antaranya dasar perkawinan, syarat-syarat
perkawinan, perjanjian perkawinan, dan seterusnya.
Menyadari pentingnya mempunyai ilmu mengenai hukum yang berkaitan dengan
perkawinan, maka dalam kepenulisan makalah ini, penulis mengangkat tema “Hukum
Perkawinan di Indonesia” dengan beberapa sub tema yang akan dijelaskan lebih
rinci di dalam pembahasan nanti.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi perkawinan?
2. Apa saja tujuan dari perkawinan?
3. Apa saja rukun dalam perkawinan?
4. Bagaimana prinsip dalam sebuah perkawinan?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui definisi perkawinan
2. Mengetahui tujuan dari sebuah perkawinan
3. Mengetahui rukun yang diperlukan dalam perkawinan
4. Memahami prinsip dalam sebuah perkawinan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Perkawinan
“Perkawinan” menurut istilah ilmu fiqh dipakai perkataan “nikah” dan
perkataan “ziwaj”. “Nikah” menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqi)
dan arti kiasan (majaaz). Nikah dalam arti yang sebenarnya ialah “dham” yang
berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul” . Sedangkan arti kiasannya
ialah “watha”, yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti “mengadakan perjanjian
pernikahan”.[1]
Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak diartikan
kiasan daripada arti yang sesungguhnya.
Perkawinan dalam istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan
keduabelah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang
diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh
Allah.[2]
Perjanjian yang dimaksud sebelumnya merupakan perjanjian suci untuk membentuk
keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita.
Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung tiga karakter khusus, yaitu:
1) Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah
pihak
2) Kedua belah pihak yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai
hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada
hukum-hukumnya.
3) Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan
kewajiban masing-masing pihak.
Menurut Mr. Wirjono Prodjodikoro, terdapat perbedaan antara persetujuan
perkawinan dengan persetujuan lainnya, misalnya dalam jual beli. Jika dalam
persetujuan biasa, para pihak bebas menentukan isi dari persetujuan sesuka
hatinya asal tidak bertentangan dengan kesusilaan, undang-undang, dan
ketertiban umum. Sebaliknya, dalam suatu perkawinan, isi persetujuan antara
suami istri tersebut telah ditentukan oleh hukum.[3]
Kalau seorang perempuan dan laki-laki berkata sepakat untuk melakukan
perkawinan satu sama lain ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada
peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai hak-hak masing-masing pihak
selama dan sesudah hidup itu berlangsung.
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, dinyatakan bahwa
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, pengertian
perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat
(mistaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.[4]
B. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut kebanyakan orang
ialah untuk menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. Namun, tujuan
itu bukan merupakan tujuan yang paling utamadalam Islam karena masih ada
beberapa tujuan lain yang tidak kalah penting. Di antara tujuan yang ingin
dicapai dalam sebuah perkawinan[5],
yaitu:
1) Untuk melanjutkan keturunan
Melanjutkan keturunan adalah penyambung
generasi dan cita-cita, yaitu memelihara kelestarian jenisnya/penerus sebutan
terhadap nama baiknya serta pengabdian hidupnya sebagai manusia. Islam sangat
menekankan perlunya lembaga perkawinan karena mempunyai tujuan yang jelas yaitu
agar setiap orang memperoleh kepuasan perasaan dan seksual sebagai bentuk
mekanisme untuk mengurangi ketegangan serta mengembangbiakkan keturunan dan kedudukan
sosial seseorang secara sah.
2) Untuk menghindarkan fitnah dan menjaga diri dari perbuatan yang dilarang
Allah
Perkawinan merupakan jalan untuk menghindarkan
manusia dari fitnah. Pergaulan bebas tanpa diikat oleh perkawinan senantiasa
menimbulkan fitnah, sedang fitnah itu lebih berbagaya daripada pembunuhan.
3) Untuk menegakkan sunnah Rasulullah Saw.
Agama Islam mengakui nilai-nilai seks dan
menganjurkan penikahan. Islam sangat tidak menyukai orang-orang yang
menjalankan tabatul (tidak mau kawin). Secara normal dan alami, setiap muslim
harus kawin dan mengembangbiakkan keturunannya. Dari berbagai sumber Al-Qur’an
dan As-sunnah menyebutkan bahwa seseorang yang telah kawin berarti telah
menyempurnakan separuh dari agamanya.
Dalam sumber yang lain menyebutkan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam
adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki
dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar
cinta dan kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat
dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah.[6]
Dari rumusan di atas, Filosof Imam
Ghazali membagi tujuan perkawinan ke dalam lima hal berikut:
§
Memperoleh keturunan yang sah yang akan
melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia
§
Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan
§
Memelihara manusia dari kejahatan dan keruskan
§
Membentuk dan mengatur rumah tangga yang
menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan
kasih sayang.
§
Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari
rezeki penghidupan yang lebih halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Mengungkapkan hal yang senada, dalam rujukan
lain disebutkan bahwa tujuan agama Islam mensyariatkan perkawinan[7],
antara lain:
1) Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan penyambung
cita-cita, membentuk keluarga, dan dari keluarga-keluarga dibentuk umat, ialah
umat Nabi Muhammad Saw, yaitu umat Islam.
2) Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah
mengerjakannya
3) Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri, menimbulkan rasa kasih
sayang antara orang tua dengan anak-anaknya, serta antar sesama anggota
keluarga lainnya. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga akan dirasakan
pula dalam masyarakat atau umat, sehingga terciptalah umat yang saling berkasih
sayang.
4) Untuk menghormati sunnah Rasulullah Saw
5) Untuk membersihkan keturunan. Keturunan yang bersih, yang jelas ayah,
kakek, dan sebagainya hanya dapat diperoleh dengan perkawinan.
C. Rukun Perkawinan
Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan
ialah hakikat dari perkawinan itu sendiri. Jadi, tanpa adanya salah satu dari
rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Adapun rukun-rukun tersebut[8],
antara lain:
1) Calon suami
Calon suami merupakan seorang laki-laki yang telah siap
(mampu) secara lahiriyah maupun batiniyah untuk membangun kehidupan rumah
tangga dan siap menjadi pemimpin keluarga.
2) Calon istri
Calon istri merupakan seorang perempuan yang telah
dipilih oleh calon mempelai pria, dan telah siap dinikahi dengan adanya
peminangan sebelumnya.
3) Wali
Wali adalah orang yang diberi kekuasaan. Wali nikah merupakan
orang yang menikahkan seorang calon mempelai wanita dengan seorang calon
mempelai pria. Dalam hal ini, tanpa adanya seorang wali, maka suatu pernikahan
dianggap tidak sah.
4) Saksi
Saksi meupakan orang yang menghadiri dan menyaksikan akad
(ijab qabul) secara langsung dan terdiri dari minimal dua orang laki-laki.
5) Ijab qabul
Ijab qabul merupakan perjanjian atau pernyataan yang
dilakukan antara dua pihak yang akan melangsungkan pernikahan.
D. Syarat Perkawinan
Yang dimaksud dengan syarat ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan
tetapi tidak termasuk hakikat dan perkawinan itu sendiri. jika salah satu
syarat dari perkawinan tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dapat dikatakan
tidak sah.[9]Syarat
perkawinan adalah syarat yang berkaitan dengan rukun perkawinan.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Bab II Pasal 6
menyebutkan syarat-syarat perkawinan, di antaranya:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin dari kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat
(2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang
tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka
tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat
(2), (3), dan (4).
6) Ketentuan tersebut dalam ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Selain itu, syarat-syarat yang terkait dengan rukun
dijelaskan secara tersirat melalui UU Perkawinan dan Hukum Kompilasi Islam
sebagai berikut[10].
1) Syarat calon mempelai pria (suami)
v
Beragama Islam
v
Laki-laki
v
Dapat memberikan persetujuan
v
Tidak ada hubungan mahram
v
Bebas tidak terpaksa
v
Tidak dalam keadaan berihram haji
2) Syarat calon mempelai wanita (istri)
v
Perempuan
v
Beragama Islam
v
Tidak ada hubungan mahram
v
Tidak bersuami
v
Tidak dalam keadaan masa idah
v
Tidak dalam keadaan ihram
v
Dapat diminta persetujuan
3) Syarat wali
v
Orang mukallaf
v
Muslim
v
Berakal sehat
v
Laki-laki
v
Adil
4) Syarat saksi
v
Mukallaf atau dewasa
v
Muslim
v
Saksi harus mengerti dan mendengar
perkataan-perkataan yang di diucapkan pada waktu akad nikah dilaksanakan atau
dapat mengerti maksut akad
v
Adil, yaitu orang yang taat beragama
v
Saksi yang hadir minimum dua orang. Saksi itu
harus laki-laki tetapi apabila tidak ada dua orang laki-laki maka boleh
dihadiri satu orang saksi laki-laki dan dua orang skasi wanita.
5) Syaratijab qabul
v Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
v Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
v Memakai kata-kata nikah atau semacamnya
v Antara ijab dan qabul bersambungan
v Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
v Orang yang terkait dengan ijab tidak sedang melaksanakan ihram haji/ umrah
v Majelis ijab dan qabul itu harus dihadirkan oleh minimal 4 (empat) orang,
yairu calon mempelai pria atau yang mewakilinya, wali dari mempelai wanita atau
yang mewakilkannya, dan dua orang saksi.
v Hendaklah kedua orang yang yang melangsungkan akad perkawinan itu sudah
mumayyiz, artinya dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
E. Prinsip Perkawinan
Dalam ajaran Islam, terdapat beberapa prinsip
dalam perkawinan[11],
yaitu:
1) Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan
perkawinan. Caranya ialah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui
apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
2) Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada ketentuan
larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diperhatikan
3) Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan
pelaksanaan perkawinan itu sendiri
4) Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga/rumah tangga
yang tenteram, damai dan kekal untuk selama-lamanya.
5) Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana
tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
Adapun prinsip-prinsip perkawinan berdasarkan
Undang-undang Perkawinan[12]
adalah sebagai berikut:
1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk
itu, suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.
2) Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan
di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3) Undang-undang ini menurut asa monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya,
seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
4) Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami-ostri harus telah
matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa perceraian dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat.
5) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian.
6) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami,
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyakarat sehingga dengan
demikian, segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami-istri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara bahasa, “perkawinan” menurut istilah ilmu fiqh dipakai perkataan “nikah”
dan perkataan “ziwaj”. “Nikah” menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqi)
dan arti kiasan (majaaz). Nikah dalam arti yang sebenarnya ialah “dham” yang
berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul” . Sedangkan arti kiasannya
ialah “watha”, yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti “mengadakan perjanjian
pernikahan”.
Secara istilah, makna perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 1 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan
lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
2. Di antara tujuan perkawinan, yaitu (a) untuk melanjutkan keturunan, (b) Untuk
menghindarkan fitnah dan menjaga diri dari perbuatan yang dilarang Allah, (c)
untuk menegakkan sunnah Rasulullah Saw.
3. Rukun yang harus ada dalam perkawinan ialah (a) calon suami, (b) calon
istri, (c) wali, (d) saksi, (e) ijab qabul.
4. Syarat dalam perkawinan yang harus dipenuhi, antara lain
5. Prinsip perkawinan seperti yang tercantum dalam UU Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam, terdapat tujuh asas perkawinan sebagai berikut: (a) asas membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal, (b) asas keabsahan perkawinan didasarkan pada
hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus
dicatat oleh petugas yang berwenang, (c) asas monogami terbuka, (d) asas calon
suami dan calon istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan pernikahan
agar dapat mewujudkan tujuan pernikahan dengan baik, (e) asas mempersulit
terjadinya perceraian, (f) asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan
istri baik di dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, (g) asas
pencatatan perkawinan.
B. Saran
Hukum dalam perkawinan sangatlah penting
peranannya bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat guna mewujudkan
perkawinan yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demi
mweujudkan tujuan tersebut, maka sangat penting agar perkawinan dicatat sesuai
dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Hukum perkawinan sesuai dengan UU
No. 1 Tahun 1974 sebaiknya dijalankan dan ditaati dengan baik oleh masyarakat
yang berkepentingan agar segala sesuatunya berjalan dengan tertib dan teratur.
[1]Kamal Mukhtar, 1987, Asas-asas Hukum
Islam tentang Perkawinan, Jakarta: PT Bulan Bintang, hlm. 1
[2]Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam
dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, hlm. 8
[3]Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam
dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, hlm. 10
[4]Zainuddin Ali, 2007, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 7
[5]Ladzi Safroni, 2014, Seluk Beluk Pernikahan
Islam di Indonesia, Malang: Aditya Media Publishing, hlm. 7-9
[6]Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam
dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, hlm. 12
[7]Kamal Mukhtar, 1987, Asas-asas Hukum
Islam tentang Perkawinan, Jakarta: PT Bulan Bintang, hlm. 12-14
[8]Ladzi Safroni, 2014, Seluk Beluk
Pernikahan Islam di Indonesia, Malang: Aditya Media Publishing, hlm. 30.
Anda juga bisa melihat di Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam dan
Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, hlm. 30
[9]Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam
dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, hlm. 30
[10]Ladzi Safroni, 2014, Seluk Beluk
Pernikahan Islam di Indonesia, Malang: Aditya Media Publishing, hlm. 31.
Anda juga bisa melihat di Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam dan
Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, hlm. 43, 51.
[11]Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam
dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, hlm. 4-5
[12]Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam
dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, hlm. 4-7, juga bisa
dilihat di Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Asas-asas Hukum Perkawinan
di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, hlm. 13-14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar