Minggu, 19 Februari 2017

Peminangan



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menikah merupakan fitrah manusia karena tidak bisa hidup sendiri serta harus berpasang-pasangan. Dan menikah pula merupakan sunnah Rasulluallah  SAW sejak dahulu hingga kini masih tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang laki-laki merasa cocok untuk mengarungi kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya serta memiliki kemampuan baik secara materil maupun non materil, maka pernikahan adalah solusinya. Tapi ada ketentuan-ketentuan yang harus dijalani terlebih dahulu sebelum pelaksanaan pernikahan, yaitu setelah ditentukan pilihan pasangan yang akan di nikahi sesuai kriteria yang ditentukan, langkah selanjutnya adalah penyampaian kehendak untuk pilihan yang telah ditentukan. Penyampaian kehendak untuk di nikahi seseorang itu dinamai khitbah atau dalam bahasa indonesianya " peminangan ".
Selain peminangan, terdapat ketentuan-ketentuan lainnya, yaitu mempersiapkan "mahar" sebagai maskawin yang akan diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang ingin dinikahinya. Pernikahan yang sah adalah pernikahan yang dilakukan sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku dan dengan wanita yang masih gadis atau wanita yang tidak dalam keadaan masa iddah. Jika pernikahan itu dilakukan dengan wanita yang lagi hamil maka pernikahan itu menjadi pernikahan yang bermasalah atau dengan kata lain banyak dampak negatif yang akan diperoleh dari pernikahan wanita hamil tersebut, diantaranya adalah status nasab anak yang dikandungnya itu nanti nasabnya jatuh kepada ibu yang mengandungnya atau jatuk kepada ayah yang menikahi ibunya.
Oleh karena itu, penulis mencoba ingin memaparkan lebih jauh lagi tentang peminangan, mahar/maskawin, dan pernikahan dengan wanita hamil serta status nasab anak yang sedang dikandungnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian, Syarat, Halangan, dan Akibat Hukum pada peminangan?
2.      Apa itu Mahar/Maskawin?
3.      Bagaimana status perkawinan wanita hamil menurut pandangan para mazhab dan KHI serta status nasab bayi yang dikandungnya.?
4.      Bagaimana Korelasi Pendapat Para Imam Mazhab Dengan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil?

C.    Tujuan Makalah
1.      Untuk mengetahui arti, syarat, halangan dan akibat dari peminangan.
2.      Untuk mengetahui arti dari mahar/maskawin.
3.       Untuk mengetahui status perkawinan wanita hamil baik dari pandangan imam mazhab atau KHI serta status nasab bayi yang dikandungnya.
4.      Untuk mengetahui korelasi pendapat para imam mazhab dengan KHI terkait dengan perkawinan wanita hamil.
















BAB II
PEMBAHASAN
  1. Peminangan (Pengertian, Syarat, Halangan, dan Akibat Hukum)
1.      Pengertian Peminangan
Peminangan adalah langkah awal menuju perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Hukum perkawinan islam menghendaki calon mempelai saling mengenal dan memahami karakteristik pribad. Calon suami melakukan pinangan berdasarkan kriteria calon istri yang didasarkan oleh hadis Nabi Muhammad Saw., yaitu wanita dikawini karena 4 (empat) hal: (1) hartanya, (2) keturunannya, (3) kecantikannya, dan (4) agamanya.menurut hadis nabi Muhammad Saw., dimaksud, bila 4 (empat) hal itu tidak dapat ditemukan oleh calon suami terhadap perempuan yang akan menjadi calon istrinya, maka calon suami harus memilih yang mempunyai kriteria agamanya. Sejalan hukum perkawinan dimaksud mengenai peminangan, Kompilasi Hukum Islam memberikan definisi mengenai peminangan.
Peminangan adalah upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita dengan cara-cara yang baik (ma’ruf) (Pasal 1 Bab I huruf a KHI). Oleh karena itu, peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang ingin mencari pasangan jodoh, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (Pasal 11 KHI). Selain itu peminangan dapat juga dilakukan secara terang-terangan dan atau sindiran. Sebagai contoh firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 235 sebagai berikut.[1]
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيم                                                                                                   
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran dan atau dalam keadaan kamu menyembunyikan keinginan dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam hal itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan perkataan yang baik.[2]
Pada umumnya ulama berpendapat ayat diatas dapat dipahami bahwa peminangan tidak wajib dalam pengertian definisi yang telah diungkapkan. Namun, kebiasaan masyarakat dalam praktik menunjukkan bahwa peminangan merupakan pendahuluan yang hampir pasti pelaksanaan perkawinan dilakukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Dawud Al-Dzahiry yang menyatakan bahwa peminangan hukumnya wajib karena peminangan itu merupakan suatu tindakan yang menuju kebaikan.[3]
2.    Syarat Peminangan
Syarat peminangan tidak dapat dipisahkan dari halangannya. Karena syarat dan halangan peminangan diuraikan dalam suatu sub pembahasan.
Peminangan dalam bahasa Alquran disebut khitbah. Hal ini, diungkapkan oleh Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 235 seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, sehingga garis hukum peminangan terinci di dalam pasal 12 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam mengatur syarat peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau janda yang telah habis masa iddahnya. Selain itu, Pasal 12 ayat (2), (3), dan (4) menyebutkan larangan peminangan terhadap wanita yang mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1)      Ayat (2): Wanita yang ditalak oleh suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
2)      Ayat (3): Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
3)      Ayat (4): Putus pinangan pihak pria, karena adanya penyataan tentang putusnya hubungan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan atau meninggalkan wanita yang dipinang.
Dari pasal 12 ayat (2), (3), dan (4) KHI diatas, dapat ditentukan bahwa wanita yang termasuk untuk dipinang dalam Alquran adalah sebagai berikut.[4]
1.      Wanita yang dipinang bukan istri orang.
2.      Wanita yang dpinang tidak dalam keadaan dipinang oleh laki-laki lain.
3.      Wanita yang dipinang tidak menjalani masa iddah raj’i. Karena perempuan yang sementara menjalani iddah raj’i berarti masih ada hak bekas suami untuk merujuknya.[5]
4.      Wanita yang menjalani masa iddah wafat, hanya dapat dipinang dalam bentuk sindiran.[6]
5.      Wanita yang menjalani masa iddah bain sugra dari bekas suaminya.
6.      Wanita yang menjalani masa iddah bain kubra dapat dipinang oleh bekas suaminya seseudah kawin dengan laki-laki lain (ba’da dukhlu) kemudian diceraikan. Sementara bekas suami dimaksud juga sudah menikah dengan perempuan lain.
Dapat dipahami bahwa wanita yang mempunyai status dari yang dijelaskan di atas, terhalang untuk dipinang. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan peminangan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan, ia berhak melihat wanita yang dipinangnya, hukumnya sunah. Dengan melihat tersebut, pihak laki-laki dapat mengetahui identitas pribadi wanita yang akan menjadi calon istrinya.
3.    Akibat Hukum Peminangan
Pelaksanaan peminangan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang wanita tidak mempunayi akibat hukum. Pasal 13 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam mengatur sebagai berikut:
a.       Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan;
b.      Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina keurkunan dan saling menghargai.[7]
Jika pasal 13 KHI dihubungkan dengan hak peminangan seorang pria kepada seorang wanita, yaitu menutup hak peminangan orang lain. Hal ini berarti mengandung nilai-nilai kesopanan. Oleh karena itu, peminangan mempunyai prinsip-prinsip yang belum mengandung akibat hukum sehingga mereka yang sudah bertunangan belum dapat berdua-duaan hingga mereka melangsungkan akad nikah. Prinsip ini didasari oleh hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Jabir. “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah berdua-duaan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita karena pada saat itu ada setan.” Namun, ada anggapan yang keliru dalam kehidupan sosial masyarakat tertentu saat ini bahwa apabila seorang laki-laki sudah bertunangan dengan seorang wanita seakan-akan sudah ada jaminan bahwa mereka kelak akan menjadi suami-istri sehingga boleh-boleh saja berdua-duaan. Masyarakat yang mempunyai anggapan demikian dapat disebut nilai-nilai moral keagamaannya sudah luntur karena tidak tertutup kemungkinan kepada mereka akan melakukan perbuatan perzinaan.[8]
Selain itu, dalam masyarakat tertentu yang sudah melakukan peminangan dan pinangannya diterima oleh pihak perempuan, biasanya mereka melakukan upacara adat istiadat yang ditandai dengan pihak laki-laki memberikan sesuatu kepada pihak perempuan baik dalam bentuk “cincin” maupun dalam bentuk cendera mata lainnya yang menunjukkan  kesungguhan niatnya untuk melangsungkan perkawinan. Pemberian dimaksud berbeda dengan pemberian mahar yang akan dibicarakan pada tahap berikutnya oleh kedua belah pihak.[9]
Mahar adalah pemberian yang diucapkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan (wali perempuan) pada saat berlangsungnya akad nikah. Sementara pemberian yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada saat upacara pertunangan dapat berarti hadiah atau hibah. Akibat yang muncul atas adanya pemberian hadiah atau hibah berbeda dengan pemberian dalam bentuk mahar. Namun, bila realisasi peminangan itu mewujudkan pemberian dalam bentuk hadiah atau hibah, yang kemudian berlanjut ke jenjang perkawinan maka tidak akan memunculkan masalah, tetapi bila tidak sampai ke jenjang perkawinan maka pemberian dimaksud memerlukan penjelasan lebih lanjt mengenai statusnya apakah berbentuk hadiah atau hibah? Atau bermakna lainnya yang harus dikembalikan kepada pihak laki-laki.[10]
Apabila pemberian berbentuk hadiah atau hibah maka pemberi tidak dapat menuntut pengembalian pemberiannya, tetapi apabila pemberian itu bermakna lainnya maka yang harus dijadikan tolok ukur adalah musyawarah untuk mencari perdamaian di antara kedua belah pihak. Selama musyawarah tidak menghalalkan yang haram atau mengaharamkan yang halal.[11]
  1. Mahar/Maskawin
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan degan hukum islam (Pasal 1 huruf d KHI). Pemberian tersebut adalah merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan. Status hukum mahar adalah wajib. Hal ini berdasarkan Firman Allah surah An-Nisaa’ ayat 4.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskawin sebagai kewajiban. Akan tetapi, jika mereka berikan kepada kamu sebagian daripadanya dengan hati senang, maka makanlah dengan senang hati.
Ayat Al-Quran diatas, dapat dipahami bahwa maskawin disebut Shaduqat. Shaduqat berasal dari rumpun kata shiddiq, shadag, dan atau shadaqah yang bermakna perasaan jujur dan hati yang suci. Artinya harta yang diperoleh secara jujur (halal) yang kemudian diberikan kepada calon istri yang didasari oleh keikhlasan.
Pasal 30 sampai pasal 38 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan garis hukum mengenai ketentuan mahar, yaitu sebagai berikut.[12]

Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.[13]
Garis hukum pasal 30 KHI diatas, menunjukkan bahwa calon mempelai pihak laki-laki berkewajiban untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan. Namun, jumlah, bentuk, dan jenisnya diatur berdasarkan kesepakatan antara pihak mempelai laki-laki dengan pihak mempelai wanita. Hal ini berarti ketentuan garis hukum di dalam Alquran dan Alhadits mengenai jumlah maksimal dan jumlah minimal pemberian mahar dari calon mempelai dimaksud tidak ada ketentuannya. Oleh karena itu, diserahkan kepada kedua pihak mengenai jumlah mahar yang disepakati sehingga persoalan mahar dalam perkawinan antara satu suku dengan suku lainnya di dalam masyarakat yang beragama islam berbeda-beda. Namun, prinsipnya adalah yang bermanfaat bagi pihak mempelai wanita.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran islam. Kesederhanaan dan kemudahan penentuan mahar yang dimaksud, menunjukkan bahwa hukum perkawinan dalam islam berbeda dengan hukum kontrak sewa-menyewa dalam aspek hukum keperdataan lainnya, sehingga hukum perkawinan dimaksud, mengandung nilai-nilai ibadah kepada Allah yang mewujudkan hak dan kewajiban yang berniali ibadah diantara pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai wanita.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu, menjadi hak pribadinya. Garis hukum yang dapat diketahui dari pasal 32 KHI tersebut, mahar merupakan hak asasi bagi pihak calon mempelai wanita. Oleh karena itu, pemanfaatn mahar dimaksud, harus sesuai keikhlasan pemilik hak asasi.[14]


Pasal 33
(1)   Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai
(2)   Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria.
Pasal 34
(1)   Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan
(2)   Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan
Pasal 34 Khi diatas, dapat diketahui bahwa mahar bukan rukun dalam pelaksanaan perkawinan, melainkan salah satu syarat sahnya suatu hubungan perkawinan antara suami dengan istrinya atau istri dengan suaminya.[15]
Pasal 35
(1)   Suami yang mentalak istrinya qobla al dukhul wajib membayarnya setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2)   Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istri.
(3)   Apabila perceraian terjadi qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.


Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesainnya diajukan ke Pengadilan Agama.[16]
Pasal 38
(1)   Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
(2)   Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum terbayar.[17]
  1. Perkawinan Wanita Hamil
1.      Status Perkawinan Wanita Hamil Dalam Pendapat Para Imam Mazhab
Istilah perkawinan wanita hamil adalah perkawinan seorang wanita yang sedang hamil dengan laki-laki sedangkan dia tidak dalam status nikan atau masa iddah karena perkawinan yang sah dengan laki-laki yang mengakibatkan kehamilannya.
Mengenai ketentuan-ketentuan hukum perkawinan wanita hamil dalam pendapat para imam mazhab ( hanafi, maliki, syafi’i dan ahmad bin hanbal ), mereka berbeda pendapat, pada umumnya dapat dikelompokkan kepada dua kelompok pendapat, yaitu :
a.       Imam hanafi dan imam syafi’i mengatakan wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain. Dikarenakan Menurut mereka wanita zina itu tidak dikenakan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan sebagaimana yang ditetapkan dalam nikah. Karena iddah itu hanya ditentukkan untuk menghargai sperma yang ada dalam kandungan istri dalam perkawinan yang sah. Sperma dari hasil hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan oleh hukum.
b.      Iman malik dan imam ahmad bin hanbal mengatakan tidak tidak boleh melangsungkan perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungannya.

2.      Perkawinan Wanita Hamil Dalam KHI
Status perkawinan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pada Bab VIII pasal 53 ayat 1,2 dan 3 yaitu :
1.      Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.      Perkawinan dengan wanita hamil  yang disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3.      Dengan dilangsukan perkawinan pada saat wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandung  lahir.
Pasal 53 ayat 2 KHI menyatakan bahwa perkawinan wanita hamil itu benar-benar dilangsungkan ketika wanita itu dalam keadaan hami. Sedangkan kelahiran bayi yang dalam kandungannya tidak perlu ditunggu.
Pasal 53 ayat 1 dan 2 tersebut semacam ada sikap yang tidak konsisten. Dikatakan demikian, karena apabila berpedoman kepada pasal 53 ayat 2 KHI. tersebut ternyata hanya berpedoman kepada formalitasnya saja, yaitu karena wanita hamil tersebut belum pemah menikah. maka ketentuan yang berlaku baginya adalah hak kegadisan, walau kenyataannya wanita itu telah hamil.
Kemudian Pasal 53 ayat 3 menyatakan bahwa, dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan lagi perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Adanya ketentuan bahwa perkawinan tersebut tidak perlu diulangi lagi, maka menjadi isyarat bahwa perkawinan terdahulu telah diyatakan sah.[18]





3.      Status Nasab Anak Dalam Perkawinan Wanita Hami
Apabila pria yang mengawini ibunya itu pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat:
a)      Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur empat bulan keatas. Bila kurang dari empat bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya yang sah.
b)      Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak luar nikah, walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma dan ovum bapak dan ibunya itu.[19]
Mengenai status anak zina ini ada tiga pendapat, yaitu: Pertama, menurut Imam Malik dan Syafi’i, anak zina yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya, karena diduga itu telah melakukan hubungan seks dengan orang lain. Sedang batas waktu hamil, paling kurang enam bulan. Kedua, menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu.[20]
Seorang anak yang lahir akibat kehamilan di luar atau sebelum perkawinan yang sah, dianggap anak zina, tidak dapat dinasabkan kepada seorang ayah dan masing-masing dari mereka tidak pewaris dan tidak pula mewariskan. Oleh karena itu ada pernikahan untuk menutupi hal itu dan masa hamil sudah ditentukan, yaitu paling sedikit/paling cepat enam bulan. Apabila kelahiran si bayi sesudah dari masa minimum itu dari pernikahannya, boleh hukum anak itu dianggap sebagai anak yang sah. Selain dari pada itu Rasulullah saw juga telah memberikan ketentuan bahwa seorang istri yang masih dalam akad nikah suaminya, tiap anak yang dilahirkannya, walaupun dari hasil perzinaan, dianggap oleh hukum adalah anak suaminya (alwaladu li firaasy wa lil ahni-al-hajar), kecuali si suami mengingkarinya dengan cara lisan.[21]
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk menetukan nasab anak tersebut dapat dinasabkan kepada ayah yang menghamili ibunya atau tidak, maka harus ditentukan dengan melihat dari usia minimal kehamilan ibunya: Seluruh mazhab fiqh, baik Sunni maupun Syi’i, sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan. Sebab, surah al-Ahqab ayat 15 menetukan bahwa masa kehamilan dan penyusuan anak adalah tiga puluh bulan, yaitu:


Mengandungnya sampai menyapihnya yaitu tiga puluh bulan”. (Q.S.al-ahqab :15).
Menyapih ialah menghentikan masa penyusuan. Sedang surah Luqman ayat 14 menegaskan bahwa masa menyusui itu lamanya dua tahun penuh. Kalau kita kurangi waktu dua tahun itu dari waktu tiga puluh bulan, maka yang tersisa adalah enam bulan, dan itulah masa minimal kehamilan. Ilmu kedokteran modern menguatkan pendapat ini, dan para ahli hukum Prancis pun mengambil pendapat serupa ini.[22]
Ketiga, dalam Komplikasi Hukum Islam Bab VIII Pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) dicantumkan bahwa: Seorang wanita yang hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.[23]

D.    Korelasi Pendapat Para Imam Mazhab Dengan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil
Menyoritas pendapat para imam mazhab tentang keabsahan perkawinan wanita hamil dan menghubungkannya dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tampak keduanya masih bisa dikatakan sejalan. Hal ini apabila mengambil pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi'i. Inti pendapat tersebut adalah kebolehan perkawinan wanita hamil.
Adapun status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil dalam KHI dinasabkan kepada suami ibunya hal ini sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang mengaitkan nasab anak kepada pemilik bibit secara umum. Perbedaannya adalah, apabila ternyata pemilik bibit itu bukan orang yang mengawini wanita hamil itu. Imam Hanafi menghubungkannya bukan kepada laki-laki yang mengawininya, tetapi kepada pemilik bibit yang menyebabkan lahirnya anak tersebut. Sedangkan KHI tetap menghubungkan nasab anak kepada laki-laki yang mengawini wanita hamil tersebut.
Pendapat Imam Syafi'i lebih menyelematkan kepada status anak. Karena menurut Imam Syafi'i bahwa pengakuan status anak itu ditentukan dengan masa kehamilan dalam perkawinannya dengan seorang laki-laki, yaitu apabila perkawinannya itu adalah enam bulan, lalu anak lahir, maka anak tersebut memiliki hubungan nasab kepada suaminya. Seandainya kurang dari enam bulan, maka nasab anak tersebut dihubungkan kepada ibunya.
Sedangkan dalam KHI tidak ada menyebutkan usia kehamilannya, ini berarti bahwa apabila seorang wanita hamil kemudian kawin dengan laki-laki maka anak yang dalam kandungannya adalah anak laki-laki yang mengawininya. Ini berarti KHI sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang menghubungkan nasab anak kepada pemilik bibitnya. Hanya saja Imam Hanafi membolehkan kawin dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.[24]


                       






BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
            Peminangan adalah upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita dengan cara-cara yang baik. Dalam peminangan juga terdapat syarat  dalam Hukum Islam mengatur syarat peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau janda yang telah habis masa iddahnya. Selain itu, Pasal 12 ayat (2), (3), dan (4) juga menjelaskan syarat-syaratnya, antara lain:
1.      Wanita yang dipinang bukan istri orang.
2.      Wanita yang dpinang tidak dalam keadaan dipinang oleh laki-laki lain.
3.      Wanita yang dipinang tidak menjalani masa iddah raj’i. Wanita yang menjalani masa iddah wafat, hanya dapat dipinang dalam bentuk sindiran.
4.      Wanita yang menjalani masa iddah bain sugra dari bekas suaminya.
5.      Wanita yang menjalani masa iddah bain kubra.
          Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan degan hukum islam (Pasal 1 huruf d KHI). Pemberian tersebut adalah merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan. Status hukum mahar adalah wajib.
          Sedangkan istilah perkawinan wanita hamil adalah perkawinan seorang wanita yang sedang hamil dengan laki-laki sedangkan dia tidak dalam status nikan atau masa iddah karena perkawinan yang sah dengan laki-laki yang mengakibatkan kehamilannya. Mengenai status anak zina ini ada tiga pendapat, yaitu:
          Pertama, menurut Imam Malik dan Syafi’i, anak zina yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya, karena diduga itu telah melakukan hubungan seks dengan orang lain. Sedang batas waktu hamil, paling kurang enam bulan. Kedua, menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu.
          Ketiga, dalam Komplikasi Hukum Islam Bab VIII Pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) dicantumkan bahwa: Seorang wanita yang hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
























DAFTAR PUSTAKA
Ali , Zainuddin, M.A.,2006,  Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Alquran Surah Al Baqarah ayat  235.
Alquran Surah Al Baqarah ayat 228.
Alquran Surah An-Nisaa’ 128
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Darul Maktabah wamatba’ah, Qahirah.
H. Fatfaurrahman Alhaa, Jurnal hukum dan pemikiran, No. 2 Tahun 2006 , juli–Desember 2006.
Hasan, M. Ali,1997. Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hubeis, Umar, 1994. Fatawa: Menjawab Masalah-masalah Keagamaan Masa Kini. Jakarta : Pimpinan Pusat al Irsyad al-Islamiyyah.
Mughniyyah, Muhammad Jawad, 2002. Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali. Jakarta :  Penerjemah Masykur A. B., Lentera.
Departemen Agama RI, 2001. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola.,




[1] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika), Hlm.8
[2] Alquran Surah Al Baqarah ayat 235
[3] Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Darul Maktabah wamatba’ah, Qahirah, tth, hlm. 2
[4] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika), Hlm.10
[5] Alquran Surah Al Baqarah ayat 228
[6] Alquran Surah Al Baqarah ayat 235
[7] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika), Hlm. 11
[8] Ibid., hlm. 11
[9] Ibid., hlm. 12
[10] Ibid., hlm. 12
[11] Alquran Surah An-Nisaa’ 128
[12] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika), hlm. 24
[13] Ibid., hlm. 24
[14] Ibid., hlm. 25
[15] Ibid., hlm. 25
[16] Ibid., hlm. 26
[17] Ibid., hlm.26
[18] Jurnal hukum dan pemikiran, No. 2 Tahun 2006, juli – Desember 2006. Oleh H. Fatfaurrahman Alhaa.
[19] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 88.
[20] Ibid. hlm. 81.
[21] Umar Hubeis, Fatawa: Menjawab Masalah-masalah Keagamaan Masa Kini. Pimpinan Pusat al Irsyad al-Islamiyyah, Jakarta, 1994, hlm. 44.
[22] Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali. Penerjemah: Masykur A. B., Lentera, Jakarta, 2002, hlm. 385-386.
[23] Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2001, hlm. 33. Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Arkola, Surabaya, t.th., hlm. 95.
[24] Jurnal hukum dan pemikiran, No. 2 Tahun 6, juli – Desember 2006. Oleh H. Fatfaurrahman Alhaa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar