BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menikah merupakan fitrah manusia karena tidak bisa hidup sendiri
serta harus berpasang-pasangan. Dan menikah pula merupakan sunnah
Rasulluallah SAW sejak dahulu hingga
kini masih tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang laki-laki merasa cocok
untuk mengarungi kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya serta
memiliki kemampuan baik secara materil maupun non materil, maka pernikahan
adalah solusinya. Tapi ada ketentuan-ketentuan yang harus dijalani terlebih
dahulu sebelum pelaksanaan pernikahan, yaitu setelah ditentukan pilihan
pasangan yang akan di nikahi sesuai kriteria yang ditentukan, langkah
selanjutnya adalah penyampaian kehendak untuk pilihan yang telah ditentukan.
Penyampaian kehendak untuk di nikahi seseorang itu dinamai khitbah atau dalam
bahasa indonesianya " peminangan ".
Selain peminangan, terdapat ketentuan-ketentuan lainnya, yaitu
mempersiapkan "mahar" sebagai maskawin yang akan diberikan oleh pihak
laki-laki kepada pihak perempuan yang ingin dinikahinya. Pernikahan yang sah
adalah pernikahan yang dilakukan sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku
dan dengan wanita yang masih gadis atau wanita yang tidak dalam keadaan masa
iddah. Jika pernikahan itu dilakukan dengan wanita yang lagi hamil maka
pernikahan itu menjadi pernikahan yang bermasalah atau dengan kata lain banyak dampak
negatif yang akan diperoleh dari pernikahan wanita hamil tersebut, diantaranya
adalah status nasab anak yang dikandungnya itu nanti nasabnya jatuh kepada ibu
yang mengandungnya atau jatuk kepada ayah yang menikahi ibunya.
Oleh karena itu, penulis mencoba ingin memaparkan lebih jauh lagi
tentang peminangan, mahar/maskawin, dan pernikahan dengan wanita hamil serta
status nasab anak yang sedang dikandungnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengertian, Syarat, Halangan, dan Akibat Hukum
pada peminangan?
2.
Apa itu Mahar/Maskawin?
3.
Bagaimana status perkawinan wanita hamil menurut pandangan para
mazhab dan KHI serta status nasab bayi yang dikandungnya.?
4.
Bagaimana Korelasi
Pendapat Para Imam Mazhab Dengan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil?
C.
Tujuan Makalah
1.
Untuk mengetahui arti, syarat, halangan dan akibat dari peminangan.
2.
Untuk mengetahui arti dari mahar/maskawin.
3.
Untuk mengetahui status
perkawinan wanita hamil baik dari pandangan imam mazhab atau KHI serta status
nasab bayi yang dikandungnya.
4.
Untuk mengetahui korelasi pendapat para imam mazhab dengan KHI
terkait dengan perkawinan wanita hamil.
BAB II
PEMBAHASAN
- Peminangan (Pengertian, Syarat, Halangan, dan Akibat Hukum)
1.
Pengertian Peminangan
Peminangan
adalah langkah awal menuju perjodohan antara seorang pria dengan seorang
wanita. Hukum perkawinan islam menghendaki calon mempelai saling mengenal dan
memahami karakteristik pribad. Calon suami melakukan pinangan berdasarkan
kriteria calon istri yang didasarkan oleh hadis Nabi Muhammad Saw., yaitu
wanita dikawini karena 4 (empat) hal: (1) hartanya, (2) keturunannya, (3)
kecantikannya, dan (4) agamanya.menurut hadis nabi Muhammad Saw., dimaksud,
bila 4 (empat) hal itu tidak dapat ditemukan oleh calon suami terhadap
perempuan yang akan menjadi calon istrinya, maka calon suami harus memilih yang
mempunyai kriteria agamanya. Sejalan hukum perkawinan dimaksud mengenai
peminangan, Kompilasi Hukum Islam memberikan definisi mengenai peminangan.
Peminangan
adalah upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan ke arah
terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita dengan
cara-cara yang baik (ma’ruf) (Pasal 1 Bab I huruf a KHI). Oleh karena itu,
peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang ingin mencari pasangan
jodoh, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (Pasal
11 KHI). Selain itu peminangan dapat juga dilakukan secara terang-terangan dan
atau sindiran. Sebagai contoh firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 235
sebagai berikut.[1]
وَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ
فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا
تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا
تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيم
"Dan tidak ada dosa bagi
kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran dan atau dalam keadaan kamu
menyembunyikan keinginan dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam hal itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan perkataan yang baik.[2]
Pada umumnya
ulama berpendapat ayat diatas dapat dipahami bahwa peminangan tidak wajib dalam
pengertian definisi yang telah diungkapkan. Namun, kebiasaan masyarakat dalam
praktik menunjukkan bahwa peminangan merupakan pendahuluan yang hampir pasti
pelaksanaan perkawinan dilakukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Dawud
Al-Dzahiry yang menyatakan bahwa peminangan hukumnya wajib karena peminangan
itu merupakan suatu tindakan yang menuju kebaikan.[3]
2.
Syarat Peminangan
Syarat
peminangan tidak dapat dipisahkan dari halangannya. Karena syarat dan halangan
peminangan diuraikan dalam suatu sub pembahasan.
Peminangan
dalam bahasa Alquran disebut khitbah. Hal ini, diungkapkan oleh Allah dalam
surah Al-Baqarah ayat 235 seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, sehingga
garis hukum peminangan terinci di dalam pasal 12 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
mengatur syarat peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang
wanita yang masih perawan atau janda yang telah habis masa iddahnya. Selain
itu, Pasal 12 ayat (2), (3), dan (4) menyebutkan larangan peminangan terhadap
wanita yang mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1)
Ayat (2): Wanita yang ditalak oleh suami yang masih berada dalam
masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
2)
Ayat (3): Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang
dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada
penolakan dari pihak wanita.
3)
Ayat (4): Putus pinangan pihak pria, karena adanya penyataan
tentang putusnya hubungan atau secara diam-diam pria yang meminang telah
menjauhi dan atau meninggalkan wanita yang dipinang.
Dari pasal 12
ayat (2), (3), dan (4) KHI diatas, dapat ditentukan bahwa wanita yang termasuk
untuk dipinang dalam Alquran adalah sebagai berikut.[4]
1.
Wanita yang dipinang bukan istri orang.
2.
Wanita yang dpinang tidak dalam keadaan dipinang oleh laki-laki
lain.
3.
Wanita yang dipinang tidak menjalani masa iddah raj’i. Karena
perempuan yang sementara menjalani iddah raj’i berarti masih ada hak bekas
suami untuk merujuknya.[5]
4.
Wanita yang menjalani masa iddah wafat, hanya dapat dipinang dalam
bentuk sindiran.[6]
5.
Wanita yang menjalani masa iddah bain sugra dari bekas suaminya.
6.
Wanita yang menjalani masa iddah bain kubra dapat dipinang oleh
bekas suaminya seseudah kawin dengan laki-laki lain (ba’da dukhlu) kemudian
diceraikan. Sementara bekas suami dimaksud juga sudah menikah dengan perempuan
lain.
Dapat dipahami
bahwa wanita yang mempunyai status dari yang dijelaskan di atas, terhalang
untuk dipinang. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan peminangan yang dilakukan
oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan, ia berhak melihat wanita yang
dipinangnya, hukumnya sunah. Dengan melihat tersebut, pihak laki-laki dapat
mengetahui identitas pribadi wanita yang akan menjadi calon istrinya.
3.
Akibat Hukum Peminangan
Pelaksanaan
peminangan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang wanita tidak
mempunayi akibat hukum. Pasal 13 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam
mengatur sebagai berikut:
a.
Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan;
b.
Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara
yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap
terbina keurkunan dan saling menghargai.[7]
Jika pasal 13
KHI dihubungkan dengan hak peminangan seorang pria kepada seorang wanita, yaitu
menutup hak peminangan orang lain. Hal ini berarti mengandung nilai-nilai
kesopanan. Oleh karena itu, peminangan mempunyai prinsip-prinsip yang belum
mengandung akibat hukum sehingga mereka yang sudah bertunangan belum dapat
berdua-duaan hingga mereka melangsungkan akad nikah. Prinsip ini didasari oleh
hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Jabir. “Barang siapa beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka janganlah berdua-duaan antara seorang laki-laki
dengan seorang wanita karena pada saat itu ada setan.” Namun, ada anggapan yang
keliru dalam kehidupan sosial masyarakat tertentu saat ini bahwa apabila
seorang laki-laki sudah bertunangan dengan seorang wanita seakan-akan sudah ada
jaminan bahwa mereka kelak akan menjadi suami-istri sehingga boleh-boleh saja
berdua-duaan. Masyarakat yang mempunyai anggapan demikian dapat disebut
nilai-nilai moral keagamaannya sudah luntur karena tidak tertutup kemungkinan
kepada mereka akan melakukan perbuatan perzinaan.[8]
Selain itu,
dalam masyarakat tertentu yang sudah melakukan peminangan dan pinangannya
diterima oleh pihak perempuan, biasanya mereka melakukan upacara adat istiadat
yang ditandai dengan pihak laki-laki memberikan sesuatu kepada pihak perempuan
baik dalam bentuk “cincin” maupun dalam bentuk cendera mata lainnya yang
menunjukkan kesungguhan niatnya untuk
melangsungkan perkawinan. Pemberian dimaksud berbeda dengan pemberian mahar
yang akan dibicarakan pada tahap berikutnya oleh kedua belah pihak.[9]
Mahar adalah
pemberian yang diucapkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan (wali
perempuan) pada saat berlangsungnya akad nikah. Sementara pemberian yang
dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada saat upacara
pertunangan dapat berarti hadiah atau hibah. Akibat yang muncul atas adanya
pemberian hadiah atau hibah berbeda dengan pemberian dalam bentuk mahar. Namun,
bila realisasi peminangan itu mewujudkan pemberian dalam bentuk hadiah atau
hibah, yang kemudian berlanjut ke jenjang perkawinan maka tidak akan
memunculkan masalah, tetapi bila tidak sampai ke jenjang perkawinan maka
pemberian dimaksud memerlukan penjelasan lebih lanjt mengenai statusnya apakah
berbentuk hadiah atau hibah? Atau bermakna lainnya yang harus dikembalikan
kepada pihak laki-laki.[10]
Apabila pemberian
berbentuk hadiah atau hibah maka pemberi tidak dapat menuntut pengembalian
pemberiannya, tetapi apabila pemberian itu bermakna lainnya maka yang harus
dijadikan tolok ukur adalah musyawarah untuk mencari perdamaian di antara kedua
belah pihak. Selama musyawarah tidak menghalalkan yang haram atau mengaharamkan
yang halal.[11]
- Mahar/Maskawin
Mahar adalah
pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk
barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan degan hukum islam (Pasal 1
huruf d KHI). Pemberian tersebut adalah merupakan salah satu syarat sahnya
pernikahan. Status hukum mahar adalah wajib. Hal ini berdasarkan Firman Allah
surah An-Nisaa’ ayat 4.
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Berikanlah
kepada perempuan-perempuan itu maskawin sebagai kewajiban. Akan tetapi, jika
mereka berikan kepada kamu sebagian daripadanya dengan hati senang, maka
makanlah dengan senang hati.
Ayat Al-Quran
diatas, dapat dipahami bahwa maskawin disebut Shaduqat. Shaduqat berasal
dari rumpun kata shiddiq, shadag, dan atau shadaqah yang bermakna perasaan
jujur dan hati yang suci. Artinya harta yang diperoleh secara jujur (halal)
yang kemudian diberikan kepada calon istri yang didasari oleh keikhlasan.
Pasal 30 sampai
pasal 38 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan garis hukum mengenai ketentuan
mahar, yaitu sebagai berikut.[12]
Pasal 30
Calon mempelai
pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan
jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.[13]
Garis hukum
pasal 30 KHI diatas, menunjukkan bahwa calon mempelai pihak laki-laki
berkewajiban untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan.
Namun, jumlah, bentuk, dan jenisnya diatur berdasarkan kesepakatan antara pihak
mempelai laki-laki dengan pihak mempelai wanita. Hal ini berarti ketentuan
garis hukum di dalam Alquran dan Alhadits mengenai jumlah maksimal dan jumlah
minimal pemberian mahar dari calon mempelai dimaksud tidak ada ketentuannya.
Oleh karena itu, diserahkan kepada kedua pihak mengenai jumlah mahar yang
disepakati sehingga persoalan mahar dalam perkawinan antara satu suku dengan
suku lainnya di dalam masyarakat yang beragama islam berbeda-beda. Namun,
prinsipnya adalah yang bermanfaat bagi pihak mempelai wanita.
Pasal 31
Penentuan mahar
berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran islam.
Kesederhanaan dan kemudahan penentuan mahar yang dimaksud, menunjukkan bahwa
hukum perkawinan dalam islam berbeda dengan hukum kontrak sewa-menyewa dalam
aspek hukum keperdataan lainnya, sehingga hukum perkawinan dimaksud, mengandung
nilai-nilai ibadah kepada Allah yang mewujudkan hak dan kewajiban yang berniali
ibadah diantara pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai
wanita.
Pasal 32
Mahar diberikan
langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu, menjadi hak pribadinya.
Garis hukum yang dapat diketahui dari pasal 32 KHI tersebut, mahar merupakan
hak asasi bagi pihak calon mempelai wanita. Oleh karena itu, pemanfaatn mahar
dimaksud, harus sesuai keikhlasan pemilik hak asasi.[14]
Pasal 33
(1)
Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai
(2)
Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh
ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum
ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria.
Pasal 34
(1)
Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan
(2)
Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah,
tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar
masih terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan
Pasal 34 Khi
diatas, dapat diketahui bahwa mahar bukan rukun dalam pelaksanaan perkawinan,
melainkan salah satu syarat sahnya suatu hubungan perkawinan antara suami
dengan istrinya atau istri dengan suaminya.[15]
Pasal 35
(1)
Suami yang mentalak istrinya qobla al dukhul wajib membayarnya
setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2)
Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul mahar yang ditetapkan
menjadi hak penuh istri.
(3)
Apabila perceraian terjadi qobla al dukhul tetapi besarnya mahar
belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar
hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama
bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang
yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi
selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesainnya
diajukan ke Pengadilan Agama.[16]
Pasal 38
(1)
Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi
calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar
dianggap lunas.
(2)
Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat suami harus
menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum
diserahkan, mahar dianggap masih belum terbayar.[17]
- Perkawinan Wanita Hamil
1. Status Perkawinan Wanita
Hamil Dalam
Pendapat Para Imam Mazhab
Istilah perkawinan wanita hamil adalah perkawinan seorang wanita
yang sedang hamil dengan laki-laki sedangkan dia tidak dalam status nikan atau
masa iddah karena perkawinan yang sah dengan laki-laki yang mengakibatkan
kehamilannya.
Mengenai
ketentuan-ketentuan hukum perkawinan wanita hamil dalam pendapat para imam
mazhab ( hanafi, maliki, syafi’i dan ahmad bin hanbal ), mereka berbeda
pendapat, pada umumnya dapat dikelompokkan kepada dua kelompok pendapat, yaitu
:
a.
Imam hanafi dan imam syafi’i mengatakan wanita hamil akibat zina
boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain. Dikarenakan Menurut
mereka wanita zina itu tidak dikenakan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan
sebagaimana yang ditetapkan dalam nikah. Karena iddah itu hanya ditentukkan
untuk menghargai sperma yang ada dalam kandungan istri dalam perkawinan yang
sah. Sperma dari hasil hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan oleh hukum.
b.
Iman malik dan imam ahmad bin hanbal mengatakan tidak tidak boleh
melangsungkan perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain
sampai dia melahirkan kandungannya.
2. Perkawinan Wanita Hamil
Dalam KHI
Status
perkawinan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pada Bab VIII pasal 53
ayat 1,2 dan 3 yaitu :
1.
Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2.
Perkawinan dengan wanita hamil
yang disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
dahulu kelahiran anaknya.
3.
Dengan dilangsukan perkawinan pada saat wanita hamil tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak dikandung
lahir.
Pasal
53 ayat 2 KHI menyatakan bahwa perkawinan wanita hamil itu benar-benar
dilangsungkan ketika wanita itu dalam keadaan hami. Sedangkan kelahiran bayi
yang dalam kandungannya tidak perlu ditunggu.
Pasal 53 ayat 1 dan 2 tersebut semacam ada sikap yang
tidak konsisten. Dikatakan demikian, karena apabila berpedoman kepada pasal 53
ayat 2 KHI. tersebut ternyata hanya berpedoman kepada formalitasnya saja, yaitu
karena wanita hamil tersebut belum pemah menikah. maka ketentuan yang berlaku
baginya adalah hak kegadisan, walau kenyataannya wanita itu telah hamil.
Kemudian Pasal 53 ayat 3 menyatakan bahwa, dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan lagi perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir. Adanya ketentuan bahwa perkawinan
tersebut tidak perlu diulangi lagi, maka menjadi isyarat bahwa perkawinan
terdahulu telah diyatakan sah.[18]
3. Status Nasab
Anak Dalam Perkawinan Wanita Hami
Apabila pria
yang mengawini ibunya itu pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedaan
pendapat:
a) Bayi itu
termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur
empat bulan keatas. Bila kurang dari empat bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya
yang sah.
b) Bayi itu termasuk anak zina, karena anak
itu adalah anak luar nikah, walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu
adalah anaknya, karena hasil dari sperma dan ovum bapak dan ibunya itu.[19]
Mengenai status anak zina ini ada tiga
pendapat, yaitu: Pertama, menurut Imam Malik dan Syafi’i, anak zina yang
lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu dinasabkan
kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan
kepada ibunya, karena diduga itu telah melakukan hubungan seks dengan orang
lain. Sedang batas waktu hamil, paling kurang enam bulan. Kedua, menurut
Imam Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya (bapaknya)
tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu.[20]
Seorang anak yang lahir akibat kehamilan di
luar atau sebelum perkawinan yang sah, dianggap anak zina, tidak dapat
dinasabkan kepada seorang ayah dan masing-masing dari mereka tidak pewaris dan
tidak pula mewariskan. Oleh karena itu ada pernikahan untuk menutupi hal itu
dan masa hamil sudah ditentukan, yaitu paling sedikit/paling cepat enam bulan. Apabila
kelahiran si bayi sesudah dari masa minimum itu dari pernikahannya, boleh hukum
anak itu dianggap sebagai anak yang sah. Selain dari pada itu Rasulullah saw
juga telah memberikan ketentuan bahwa seorang istri yang masih dalam akad nikah
suaminya, tiap anak yang dilahirkannya, walaupun dari hasil perzinaan, dianggap
oleh hukum adalah anak suaminya (alwaladu li firaasy wa lil ahni-al-hajar),
kecuali si suami mengingkarinya dengan cara lisan.[21]
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka
untuk menetukan nasab anak tersebut dapat dinasabkan kepada ayah yang
menghamili ibunya atau tidak, maka harus ditentukan dengan melihat dari usia
minimal kehamilan ibunya: Seluruh mazhab fiqh, baik Sunni maupun Syi’i, sepakat
bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan. Sebab, surah al-Ahqab ayat 15 menetukan
bahwa masa kehamilan dan penyusuan anak adalah tiga puluh bulan, yaitu:
”Mengandungnya sampai menyapihnya yaitu tiga puluh bulan”. (Q.S.al-ahqab :15).
Menyapih ialah menghentikan masa penyusuan.
Sedang surah Luqman ayat 14 menegaskan bahwa masa menyusui itu lamanya dua
tahun penuh. Kalau kita kurangi waktu dua tahun itu dari waktu tiga puluh
bulan, maka yang tersisa adalah enam bulan, dan itulah masa minimal kehamilan. Ilmu
kedokteran modern menguatkan pendapat ini, dan para ahli hukum Prancis pun
mengambil pendapat serupa ini.[22]
Ketiga, dalam Komplikasi Hukum Islam Bab VIII Pasal 53 ayat
(1), (2), dan (3) dicantumkan bahwa: Seorang wanita yang hamil di luar nikah, dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil yang
tersebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu
kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.[23]
D.
Korelasi Pendapat Para Imam Mazhab Dengan KHI Tentang
Perkawinan Wanita Hamil
Menyoritas
pendapat para imam mazhab tentang keabsahan perkawinan wanita hamil dan
menghubungkannya dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tampak keduanya
masih bisa dikatakan sejalan. Hal ini apabila mengambil pendapat Imam Hanafi
dan Imam Syafi'i. Inti pendapat tersebut adalah kebolehan perkawinan wanita hamil.
Adapun
status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil dalam KHI dinasabkan
kepada suami ibunya hal ini sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang mengaitkan
nasab anak kepada pemilik bibit secara umum. Perbedaannya adalah, apabila ternyata pemilik bibit
itu bukan orang yang mengawini wanita hamil itu. Imam Hanafi menghubungkannya
bukan
kepada laki-laki yang mengawininya, tetapi kepada pemilik bibit
yang menyebabkan lahirnya anak tersebut. Sedangkan KHI tetap menghubungkan nasab anak kepada laki-laki yang mengawini
wanita hamil tersebut.
Pendapat Imam Syafi'i lebih menyelematkan kepada
status anak. Karena menurut Imam Syafi'i bahwa pengakuan status anak itu
ditentukan dengan masa kehamilan dalam perkawinannya dengan seorang laki-laki, yaitu
apabila perkawinannya itu adalah enam bulan, lalu anak lahir, maka anak tersebut
memiliki hubungan nasab kepada suaminya. Seandainya kurang dari enam bulan,
maka nasab anak tersebut dihubungkan kepada ibunya.
Sedangkan dalam KHI tidak ada menyebutkan usia
kehamilannya, ini berarti bahwa apabila seorang wanita hamil kemudian kawin
dengan laki-laki maka anak yang dalam kandungannya adalah anak laki-laki yang mengawininya.
Ini berarti KHI sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang menghubungkan nasab
anak kepada pemilik bibitnya. Hanya saja Imam Hanafi membolehkan kawin dengan
laki-laki yang bukan menghamilinya.[24]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Peminangan adalah upaya yang
dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita dengan cara-cara yang baik.
Dalam peminangan juga terdapat syarat
dalam Hukum Islam
mengatur syarat peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang
wanita yang masih perawan atau janda yang telah habis masa iddahnya. Selain
itu, Pasal 12 ayat (2), (3), dan (4) juga menjelaskan
syarat-syaratnya, antara lain:
1.
Wanita yang dipinang bukan istri orang.
2.
Wanita yang dpinang tidak dalam keadaan dipinang oleh laki-laki
lain.
3.
Wanita yang dipinang tidak menjalani masa iddah raj’i. Wanita yang
menjalani masa iddah wafat, hanya dapat dipinang dalam bentuk sindiran.
4.
Wanita yang menjalani masa iddah bain sugra dari bekas suaminya.
5. Wanita yang
menjalani masa iddah bain kubra.
Mahar adalah
pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk
barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan degan hukum islam (Pasal 1
huruf d KHI). Pemberian tersebut adalah merupakan salah satu syarat sahnya
pernikahan. Status hukum mahar adalah wajib.
Sedangkan istilah
perkawinan wanita hamil adalah perkawinan seorang wanita yang sedang hamil
dengan laki-laki sedangkan dia tidak dalam status nikan atau masa iddah karena
perkawinan yang sah dengan laki-laki yang mengakibatkan kehamilannya. Mengenai status
anak zina ini ada tiga pendapat, yaitu:
Pertama,
menurut Imam Malik dan Syafi’i, anak zina yang lahir setelah enam bulan dari
perkawinan ibu bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam
bulan, maka dinasabkan kepada ibunya, karena diduga itu telah melakukan hubungan
seks dengan orang lain. Sedang batas waktu hamil, paling kurang enam bulan. Kedua, menurut Imam
Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa
mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu.
Ketiga, dalam Komplikasi Hukum Islam Bab VIII Pasal 53 ayat
(1), (2), dan (3) dicantumkan bahwa: Seorang wanita yang hamil di luar nikah, dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil yang
tersebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu
kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
DAFTAR PUSTAKA
Ali , Zainuddin, M.A.,2006, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Alquran Surah Al Baqarah ayat
235.
Alquran Surah Al Baqarah ayat 228.
Alquran Surah An-Nisaa’ 128
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Darul Maktabah wamatba’ah, Qahirah.
H. Fatfaurrahman Alhaa, Jurnal hukum dan pemikiran, No. 2 Tahun 2006 , juli–Desember 2006.
Hasan, M. Ali,1997. Masail Fiqhiyah al-Haditsah:
Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Hubeis, Umar, 1994. Fatawa: Menjawab
Masalah-masalah Keagamaan Masa Kini. Jakarta : Pimpinan Pusat al Irsyad
al-Islamiyyah.
Mughniyyah, Muhammad Jawad, 2002. Fiqih Lima
Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali. Jakarta : Penerjemah Masykur A. B., Lentera.
Departemen Agama RI, 2001. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta : Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam dan
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Undang-undang Perkawinan
di Indonesia, Surabaya : Arkola.,
[1] Prof. Dr. H.
Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika),
Hlm.8
[3] Ibn Rusyd,
Bidayatul Mujtahid, Darul Maktabah wamatba’ah, Qahirah, tth, hlm. 2
[4] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta:Sinar Grafika), Hlm.10
[7] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta:Sinar Grafika), Hlm. 11
[12] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta:Sinar Grafika), hlm. 24
[16] Ibid., hlm. 26
[18] Jurnal hukum dan pemikiran, No. 2 Tahun 2006, juli – Desember 2006.
Oleh H. Fatfaurrahman Alhaa.
[19] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Pada Masalah-masalah
Kontemporer Hukum Islam. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 88.
[21] Umar Hubeis, Fatawa: Menjawab Masalah-masalah Keagamaan Masa Kini. Pimpinan Pusat al Irsyad al-Islamiyyah, Jakarta, 1994,
hlm. 44.
[22] Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqih Lima
Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali. Penerjemah: Masykur A.
B., Lentera, Jakarta, 2002, hlm. 385-386.
[23] Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam dan
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2001, hlm. 33.
Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Arkola, Surabaya, t.th., hlm. 95.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar