Minggu, 19 Februari 2017

Sejarah Hukum Perdata Islam di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu.Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khususuntuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkanbangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai perbedaan dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai sejarah, pengertian serta kekuatan hukum perdata Islam di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hukum perdata Islam dan ruang lingkupnya?
2.      Bagaimana sejarah dan positifisasi hukum perdata Islam di Indonesia?
3.      Bagaimana hukum perdata Islam dan kekuatan hukumnya di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Untuk memahami apa pengertian hukum perdata Islam, dan bagaimana perjalanan sejarah hukum perdata Islam di Indonesia serta kekuatan hukumnya di Indonesia.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Perdata Islam
Hukum Perdata Islam / fiqh muamalah dalam pengertian umum adalah norma hukum yang memuat tentang : (1) munakahat(hukum perkawinan,mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian, serta akibat-akibat hukumnya); (2) wirasah atau faraid(hukum kewarisan, mengatur segala persoalan yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, harta warisan, serta pembagian harta warisan). Selain fiqh muamalah dalam pengertian umum, juga ada fiqh muamalah dalam pengertian khusus yaitu norma hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, aturan mengenai jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, persyarikatan (kerja sama bagi hasil), pengalihan hak, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan transaksi. Dari sini dapat ditarik kesimpulan dari pernyataan diatas bahwa pengertian Hukum Perdata Islam adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan, pengaturan masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, aturan jual beli, sewa-menyewa. Pinjam-meminjam, persyarikatan, pengalihan hak dan segala yang berkaitan dengan transaksi.
Ruang lingkup Hukum Perdata Islam meliputi 3 bagian yaitu : (1) aturan mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya disebut kaidah ibadah. (2) aturan yang mengatur antara sesame anggota masyarakat disebut kaidah muamalah. (3) aturan yang mengatur antara manusia dengan lingkungan hidupnya disebut kaidah hukum alam atau sunnatullah.[1]

B.     Sejarah Hukum Islam di Indonesia
a.      Kronologi Hukum Islam di Indonesia
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik dimana kedaulatan berada ditangan rakyat dan memiliki dasar negara adalah Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar struktural negara yang menggambarkan negara Indonesia menghormati kehidupan beragama. Kata “hukum Islam” tidak ditemukan dalam Al Quran dan yang ada hanyalah kata fiqh, syariah,dan hukum Allah. Hukum Islam merupakan terjemahan dari Islamic Law yang lahir dari literatur Barat. Sebagian hukum Islam telah berlaku di Nusantara sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam. Salah bukti adalah adanya Peradilan Agama dalam Papakeum (kitab) Cirebon. Selain papakeum, Kerajaan Sultan Aceh, Kerajaan Pasai dengan Dang Tuanku Bundo Kandungan, Padri dengan Imam Bonjol.[2]
Bidang-bidang hukum Islamyang berlaku ketika itu adalah perkawinan, perwakafan, kewarisan, infak dan sedekah. Hukum dikatakan dapat hidup dilihat dari dua segi yaitu sosiologis dan yuridis. Secara sosiologis, hukum Islam dapat dikatakan telah berlaku di Indonesia sebab sebagian hukum Islam telah hidup dan berkembang di masyarakat sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam, masa penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan. Sedangkan secara yuridis, sebagian hukum Islam telah berlaku di dalam masyarakat. Namun, penerapan prinsipnya masih berangsur-berangsur dalam pengundangan hukum Islam di Indonesia.[3]
Keyakinan pertama bahwa Islam telah masuk ke Indonesia mulai abad ke- 7 Pendapat ini didasarkan pada berita yang diperoleh dari para pedagang Arab. Dari berita tersebut, diketahui bahwa para pedagang Arab ternyata telah menjalin hubungan dagang dengan Indonesia pada masa perkembangan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7. Dalam pendapat itu disebutkan bahwa wilayah Indonesia yang pertama kali menerima pengaruh Islam adalah daerah pantai Sumatera Utara atau wilayah Samudra Pasai. Wilayah Samudra Pasai merupakan pintu gerbang menuju wilayah Indonesia lainnya. Dari Samudra Pasai, melalu jalur perdagangan agama Islam menyebar ke Malaka dan selanjutnya ke Pulau Jawa.[4] 
Terbukti dengan berita Marco Polo yang diterangkan oleh Kennet W.Morgan. Dalam perjalananya kembali ke Venezia, dan setelah bekerja pada Kubilah Khan di Tiongkok, Marco Polo singgah di Perlak, sebuah kota di Pantai Utara Sumatra. Menurut Marco Polo, penduduk Perlak ketika itu diislamkan olehpedagang yang disebut olehnya Saracen. Setelah masuknya agama Islam, ada pegawai khusus yang mempunyai keahlian dalam hukum Islam, yang kadang-kadang diserahkan juga urusan mu’amalah, iddah, waris dan lain-lain berupaya untuk memberlakukan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Secara logis dan politis hukum Islam itu sudah ada di Indonesia sejak abad ke- 8.[5]
Pada akhir abad ke 12 Masehi, kekuasaan politik dan ekonomi Kerajaan Sriwijaya mulai merosot. Seiring dengan kemunduran pengaruh Sriwijaya, para pedagang Islam beserta para mubalighnya kian giat melakukan peran politik. Misalnya, saaat mendukung daerah pantai yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Dan kemudian, pada awal abad ke 13 mulai muncul kerajaan Islam pertama yaitu Kerajaan Pasai (Samudra Pasai). kemudian pada abad ke- 17 beberapa kerajaan Islam berdiri seperti: Aceh, Banten, Mataram, Gowa-Tallo, Ternate dan Tidore. Penggunaan ‘sultan’ (Sulthan: Arab) adalah simbol Islam yang dipakai oleh beberapa raja, seperti Sultan Iskandar Muda, Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Sultan Hasanudin Gowa Tallo dll.[6]
Penelusuran hukum Islam dari aspek sejarah juga dapat dilihat dari berdirinya Masjid Demak pada abad ke-14 sebagai masjid pertama bersimbol Islam.[7]
Selanjutnya, perkembangan hukum Islam dapat ditinjau dari Peradilan Agama dari masa ke masa. Pada pra pemerintahan Hindia-Belanda dikenal dengan tiga periode Peradilan Agama:[8]
Pertama, periode tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan pembenturan antara hak dan kewajiban dalam tingkah laku. Bertahkim kepada seseorang pemuka agama yang ada di tengah-tengah kelompok masyarakatnya. Misalnya, seorang wanita yang tidak mempunyai wali bertahkim kepada penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan seorang laki-laki pilihannya.
Kedua, periode ahlul halli wal aqdi, pada periode ini, seorang ulama dibaiat, diangkat sebagai qadhi untuk menyelesaikan setiap perkara yang terjadi di antara mereka. Di Minangkabau dikenal adat nan diadatkan yang usang ditinggalkan berangsur-angsur dan akidah Islam dimasukkan, kemudian hukum syara menanjak dan adat menurun. Akhirnya adat bersedi syara, syara bersendi kitabullah.
Ketiga, periode tauliyah. Secara filosofis dapat dilihat bahwa pada periode ini mulai tampak pengaruh ajaran Trias Politika dari Montesquieu Prancis dan teori-teori sebelumnya seperti JJ Reuseau, Thomas Hobbes dan Jhon Lock. Periode ini dapat diidentifikasikan sebagai delegation of authorithy yaitu penyerahan kekuasaan mengadili pada suatu badan yudikatif yang tidak mutlak, seperti di Minangkabau, ada Pucuk Nagari yang menyelesaikan sengketa dalam masalah keagamaan.
Jadi, jelaslah dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, tata hukum mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum perdata, tetapi juga berusaha memasukkan pengaruhnya ke dalam masyarakat di segala segi kehidupan. Meskipun hukum asli tidak dapat diasingkan sama sekali, pengaruh hukum Islam telah merembes di kalangan orang-orang Islam, terutama yang berkenaan dengan hukum perkawinan (keluarga). Hal tersebut tidak terlepas dari sistem pemerintahan pribumi sehingga jabatan keagamaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan umum lainnya.
Setelah proklamasi kemerdekaan Rrpublik Indonesia, dengan pengambilan kekuasaan oleh bangsa Indonesia, terjadi perubahan dalam pemerintahan secara umum, tetapi tidak segera terjadi perubahan dalam tata peradilan, khususnya Peradian Agama. Hal ini tidak saja dihadapkan pada revolusi fisik dalam menghadapi Belanda yang kembali menjajah, tetapi juga konstitusi yang menjadi dasar kehidupan bernegara memungkinkan penundaan perubahan tersebut, berkenaan dengan adanya ketentuan Peraturan Peralihan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini sesuai dengan yang dirumuskan oleh Arsi Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi yang mengungkap bahwa perkawinan masih diatur dalam beberapa peraturan golongan.[9]
Perkembangan selanjutnya sejarah hukum Islam semakin nyata dan signifikan. Tahun 1970 aturan tentang Pengadilan Agama benar-benar diperkuat melalui UU No. 14/1970; UU No.1 tahun 1974 tentang UU perkawinan; UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 19 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji; UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan; Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 tahun 1991.[10]
b.      Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia
1.      Teori Receptio in Complexu
Teori Receptio in Complexu adalah memperlakukan hukum Islam secara penuh terhadap orang Islam karena mereka telah memeluk Islam. Teori Receptio in Complexu dimunculkan oleh van Den Berg, berdasarkan kenyataan bahwa hukum Islam diterima secara menyeluruh oleh ummat Islam. Bukti-bukti ini dapat dilihat dalam ketentuan berikut : [11]
·         Statuta Batavia 1642 : “Sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Isalm harus diselesaikan dengan mempergunakm hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.” D. W. Freijer menyusun Copendium Freijer mengenai hukum perkawinan dan kewarisan Islam.
·         Selama VOC berkuasa hukum Islam tetap berlaku dan berkembang di kalangan umat Islam Indonesia, salah satunya karena jasa Nuruddin al-Raniri yang menulis buku Shirath al-Mustaqim (jalan lurus) tahun 1628 M. Kitab ini merupakan kitab pertama yang disebarkan ke seluruh wilayh Indonesia untuk menjadi salah satu pegangan umat Islam di Indonesia.
·         25 Mei 1760 VOC mengeluarkan peraturan yang disebut Resolutie der Indische Regeering. Sebagai klimaksnya, pengadilan Belanda tidak mampu menerapkan undang-undang agama bagi Indonesia, maka di bentuklah Pengadilan Agama dengan nama yang salah yang berarti Pengadilan Pendeta. Adapun wewenangnya meliputi perkara-perkara yang terjadi di antara orang Islam dan diselesaikan menutut hukum Islam.
Belanda mencoba mengawasi jalannya hukum Islam, meski sesungguhnya itu justru merupakan sejarah eksistensi hukum Islam. Menurut Munawir Sjadzali, langkah- langkah pengawasan sebagai berikut :
·         September 1808 terbit intruksi dari pemerintah Hindia Belanda : “terhadap urusan-urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan-gangguan, sedangkan pemuka-pemuka mereka dibiarkan untuk memutuskan perkar-perkara tertentu dalm bidang perkawinan dan kewarisan dengan syarat bahwa tidak ada penyalahgunaan, dan banding dapat diminta kepada hakim banding.”
·         Tahun 1820 dalam Pasal 13, terdapat ketentuan yang mempunyai kesimpulan bahwa peradilan agama telah ada di seluruh Pulau Jawa.
·         Tahun 1823 dengan Resolusi Gurbenur Jenderal tanggal 3 Jui 1823 No.12, diresmika Pengadilan Agama di kta Palembang , yang memiliki wewenang melliputi : a) perkawinan, perceraian, b) pembagian harta, c) kepada siapa diserahkan anak apabila orangtua bercerai, d) apa hak masing-masing orang tua terhadap anak tersebut, e) pusaka dan wasiat, f) perwalian, g) perkara-perkara lainnya yang menyangkut agama.[12]
·         Tahun 1835 melalui resolusi tanggal 7 Desember 1835 pemerintah kolonial mengeluarkan penjelasan pada Pasal 13 Stbl.1820 No.20 : “Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta, dan sengketa-sengketa yang sejenisnya, yang harus diputus menurut hukum Isalm, para pemuka agama memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul dari keputusan para pemuka agama itu harus dimajukan kepada pengadilan biasa.”


2.      Teori Receptie
Masuknya pemerintah kolonial belanda ke Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam pelaksanaan Hukum Islam, meskipun secara formal hukum Islam tetap diberlakukan. Hal ini didasari oleh adanya kecurigaan dari sebagian pejabat Belanda yang mulai dikemukakan melalui kritik tarhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan. Mereka memperkenalkan het indische adat-recht atau hukum adat Indonesia. Kritik ini dimulai Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933). Kemudian dilanjutkan oleh Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) penasehat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal islam dan anak negeri.
Teori receptie mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum islam.[13]
Muatan pokok teori receptie ini adalah prinsip divide et impera yang bertujuan untuk menghambat dan menghentikan meluasnya Hukum Islam dan membentuk konsep hukum tandingan yang mendukung politik pecah belah pemerintah kolonial. Di Aceh, Hurgronje telah berhasil mengkonfrontasikan antara ulama’ dan uleebalang. Musuh kolonialisme, menurutnya bukanlah Islam sebgai agama, melainkan islam sebagai doktrin politik. Ia melihat kenyataan bahwa Islam seringkali menimbulakan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Seperti kata Daniel S. Lev meskipun ia tahu bahwa Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan Animisme dan Hindu, ia tahu bahwa orang Islam di negeri ini  memandang agamanya sebgaai alat pengikat kuat ynag membedakan diri dari orang lain.
Adapun langkah-langkah yang Hurgronje tempuh sehubungan dengan politik Islamnya itu pertama, terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama hendaknya pemerintah bersikap netral. Kedua, masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam memnutut penghormatan. Ketiga, tiada satu pun bentuk Pan Islam boleh diterima oleh kekuasaan Eropa. Lambat laun kebijakan Hurgronje dengan teori Receptie tersebut memicu munculya reaksi keras dari umat Islam Inbertujuan untuk medonesia. Hazarin menyebut teori Receptie tersebut sebagai teori ivlis, karena teori ini tidak sejalan dengan iman orang Islam. mengikuti teori itu berarti orang Islmadiajak untuk tidak mematuhi Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Selain itu teori Receptie bertujuan untuk merintangi kemajuan umat Islam di Indonesia.[14]
3.      Teori Receptie Exit atau Receptio a Contrario
Teori ini mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum islam. Jika selama teori Receptie berlaku, adalah sebaliknya, yaitu hukum islam dapat dilaksanakan, apabila diterima hukum adat, maka sekarang hukum adat yang tidak sejalan dengan ketentuan hukum islam harus dikeluarkan, dilawan, atau ditolak.[15]
Pada tahun 1950 dalam konferensi Departemen Kehakiman di Salatiga Prof Hazairin telah mengarahkan suatu analisis dan pandangan agar Hukum Islam itu berlaku di  Indonesia, tidak berdasar pada hukum adat. Berlakunya Hukum Islam menurut Hazairin supaya disandarkan pada penunjukkan paraturan perundang-undangan sendiri. Sama seperti hukum adat selama ini yang dasar memperlakukan hukum adat  itu sendiri adalah berdasar sokongan peraturan perundang-undangan. Karena itu haruslah dipersiapkan dan dibuatkan perundang-undangan terhadap hal itu.
Pandangan Hazairin tersebut sebenarnya sangat realistis, hal ini sejalan dengan historis-historis seperti di Aceh misalnya masyarkatnya menghendaki agar soal-soal perkawinan dan mengenai harta mereka, kewarisan diatur menurut Hukum Islam. Ketentuan adat dalam upacara perkawinan sejauh tidak bertentangan dengan hukum islam, maka diterima. Di Minangkabau dikenal adagium atau pepatah-petitih adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah (adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah).
Di Minangkabau memang dikenal sistem kekerabatan dengan system matrilineal yaitu suatu sistem kekerabatan bahwa dalam penentuan hubungan kekerabatan dihubungkan dari garis ibu saja. Namun karena pengaruh hukum islam perubahan besar terjadi. Selain itu perubahan sistem ekonomi masyarakat yang semula terpusat pada tanah berubah menjadi ekonomi moneter. Demikian halnya pendidikan modern dan kehidupan merantau orang Minang telah membuka cakrawala baru.  Menurut Amir Syarifuddin telah faktor yang mempengaruhi perubahan orientasi kekerabatan tersebut adalah pengaruh hukum islam yang menempatkan ayah (suami) sebagai kepala keluarga. Implikasinya komposisi keluarga berubah dari bentuk anak-ibu-mamak dalam extended family yang menjadi ciri khas kekerabatan matrilineal, menjadi keluarga inti (nuclear family) yang komposisinya anak-ibu-ayah sebagai sistem kekeluargaan parental.[16]
Jadi harus diakui bahwa kendati Hukum Islam telah diterima kembali sebagai sistem yang berlaku sepenuhnya bagi umat Islam dengan mengeluarkan hukum adat, atau dengan kata lain hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan Hukum Islam, wacana materiilnya terbatas pada hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Dan dari sinilah kemudian dikenal dengan teori receptie exit atau receptio a contrario.
Daud Ali menyimpulakan bahwa sejak tahun 1974: 1) Secara yuridis formal hukum Islam dapat berlaku langsung tanpa melalui hukum adat, 2) Hukum Islam sama kedudukannya dengan hukum adat dan hukum barat, 3) Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam sepanjang pengaturan itu untuk memenuhi kebutuhan hukum khusus umat Islam dan berlaku hanya bagi umat Islam seperti Peraturan Pemerintah No.28 Thun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.[17]
No
Nama Teori
Pencetus
Ide / Maksut Teori
Tujuan
1.
Teori Receptio in Complexu
Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845–1927)
Teori receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam.
Karena Teori Receptio in Complexu adalah teori yang pertama muncul maka dapat dilihat bahwa teori ini bertujuan untuk mengambil simpati penduduk pribumi yang memiliki ragam agama.
2.
Teori Receptie
Christian Snouck Hurgronje(1857–1936)
Teori receptie menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat.
Muatan pokok Teori Receptie ini adalah prinsip divide et impera yang bertujuan untuk menghambat dan menghentikan meluasnya Hukum Islam dan membentuk konsep hukum tandingan yang mendukung politik pecah belah pemerintah kolonial.
3.
Teori Receptie Exit atau Receptio a Contrario
Hazairin (1906–1975) dan Sajuti Thalib (1929–1990)
Teori ini menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum islam.
Teori ini bertujuan Hukum Islam harus diterima kembali sebagai sistem yang berlaku sepenuhnya bagi umat Islam dengan mengeluarkan hukum adat, atau dengan kata lain hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan Hukum Islam, namunwacana materiilnya terbatas pada hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan.

c.       Dimensi Pengembangan Hukum Islam di indonesia
Hukum Islam di Indonesia menempati posisi sebagai hukum yang ada di masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan tiga faktor:[18]
1. Dipandang dari sudut dasar filosofis, Substansi segi-segi normatif ajaran Islam di Indonesia melahirkan sikap epistemologis yang mempunyai sumbangan besar bagi tumbuhnya pandangan hidup cita moral dan cita hukum dalam kehidupan dalam sosio kultural masyarakat. Proses demikian berjalan sesuai dengan tingkat pemahaman keagamaan sehingga memantulkan korelasi antara ajaran Islam dan realitas sosial dan fenomena keislaman itu telah melahirkan norma fundamental negara.
2. Dipandang dari sudut dasar sosiologis. Sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukkan bahwa cita dan kesadaran hukum dalam kaitannya dengan kehidupan keislaman memiliki tingkat aktualisasi yang berkesinambungan seperti adanya gejala mentahkim-kan permasalahan kepada orang yang difigurkan sebagai muhakkam dan akhirnya terkristalisasi menjadi sutau tradisi tauliyah.
3. Dipandang dari sudut dasar yuridis. Sejarah hukum Indonesia menunjukkan bahwa validitas fenomena yuridis yang mampu mengungkap perjalanan tata hukum kolonialisme yang sarat dengan cita kolonialismenya tetap saja tidak mampu membendung arus tuntutan layanan masyarakat Islam sehingga pada akhirnya pada akhirnya mengakui hukum Islam diberi tempat dalam tata hukumnya. Eksistensi hukum Islam tersalurkan secara konstitusional melalui pasal II aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Penerapan dan pengembangan konsepsi hukum Islam di Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa cara pelaksanaannya:
Pertama, melalui jalur iman dan takwa, yaitu pemeluk agama Islam negara Republik Indonesia dapat melaksanakan hukum Islam yang merupakan bagian agama Islam, khususnya masalah ibadah. Intensitas pelaksanannya bergantung pada kualitas keimanan dan ketakwaan yang ada pada diri muslim yang bersangkutan. Apabila imannya baik dan takwanya itu benar, hukum Islam akan berjalan pada masyarakat muslim yang anggotanya beriman dan bertakwa dan begitu pula sebaliknya.
Kedua, pelaksanaan hukum Islam melalui jalur undang-undang, yaitu dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah ditunjuk berbagai cara pelaksanaan penerapan hukum Islam (seperti perkawinan, kewarisan, dan perwakafan) sebagai hukum yang berlaku bagi umat Islam. Selanjutnya dalam praktiknya, Pengadilan Agama sebagai suatu lembaga berusaha menerapkan syariat dalam pengertian hukum syara yang siap pakai maupun menggali hukum yang belum jelas ditetapkan oleh syara. Penerapan konsepsi hukum Islam melalui perundang-undangan di Indonesia walaupun masih kecil telah berkembang dan terus berusaha untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat walaupun masih didominasi sekitar masalah hukum perdata pribadi dan sama sekali belum menyentuh hukum pidana.
Ketiga, yaitu dengan jalur pilihan hukum, yaitu dengan melakukan perbuatan atau transaksi tertentu di Bank Muamalah, BPRS, asuransi tafakul yang telah memilih muamalah dengan cara-cara Islami. Keempat, dengan jalan melalui Badan Abritase Muamalah Indonesia (BAMUI), yaitu melalui badan Arbitrase yang didirikan oleh MUI pusat ini, para pengusaha, pedagang dan industri atas kesepakatan bersama dapat memilih hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai (diluar pengadilan). Kelima, adalah pembinaan atau pembangunan hukum nasional melalui unsur-unsur asa dan norma hukum Islam akan berlaku dan dilaksanakan bukan hanya dan bagi umat Islam saja, tetapi juga oleh penduduk Indonesia.[19]
C.    Hukum Perdata Islam dan Kekuatan Hukumnya di Indonesia
Apabila hukum perdata Islam dan kekuatan hukumnya dianalisis secara ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia, dapat dikatakan bahwa asasnya adalah Pancasila dan UUD 1945. Demikian juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pedoman bagi para hakim di peradilan khusus (Peradilan Agama) di Indonesia. Hal ini merupakan pancaran dari norma hukum yang tertuang dalam pasal 29 UUD 1945. Oleh karena itu, pemberlakuan dan kekuatan hukum Islam secara ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia adalah Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.[20]
Seiring pertumbuhan dan perkembangannya, perlu diungkapkan bahwa produk pemikiran hukum islam dalam sejarah perilaku umat Islam dalam melaksanakan hukum Islam di Indonesia ada 5 yaitu : (1) syariah, (2) fiqh, (3) fatwa ulama/ hakim, (4) keputusan pengadilan, (5) perundang-undangan. Hal ini akan diuraikan sebagai berikut :[21]
1.      Syariah
Hukum Islam dalam pengertian syariah adalah hukum islam yang tidak mengalami perubahan sepanjang zaman dan mengikat pada setiap umat Islam. Syariah adalah jalan hidup yang wajib ditempuh oleh setiap muslim. Syariah memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan-ketentuan Rasul-Nya baik berupa larangan maupun perintah. Syariah meliputi seluruh aspek kehidupan baik yang berhubungan dengan Tuhan-Nya, manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungan. Hukum Islam dalam pengertian syariah dapat dilaksanakan secara perorangan, perkelompok, da nada yang memerlukan bantuan alat negara dalam penerapannya.
2.      Fiqh
Hukum Islam dalam pengertian fiqh adalah hukum Islam yang berdasarkan pemahaman yang diperoleh seseorang dari suatu dalil, ayat, nash, atau hadist Nabi Muhammad. Hukum Islam sudah diamalkan oleh umat Islam Indonesia sejak orang Indonesia memeluk agama Islam. Namun, tingkat pengamalan hukum Islam didasari oleh keimanan setiap orang Islam sehingga ditemukan pengamalan hukum itu bervariasi pada setiap suku dan tempat.
KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah puncak pemikiran fiqh di Indonesia. KHI sebagai ijma’ ulama Indonesia diakui keberadaannya dan diharapkan dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam Indonesia dalam menjawab setiap persoalan hukum yang muncul, baik penyelesaian kasus sengketa melalui musyawarah di dalam masyarakat maupun melalui lembaga di peradilan agama. KHI secara formal disahkan oleh presiden tanggal 10 juni 1991 melalui instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Instruksi dimaksud ditindaklanjuti tanggal 22 juli 1991 oleh Menteri Agama melalui surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Nomor 3694/EV/HK.003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991.
3.      Fatwa
Hukum Islam yang berbentuk fatwa adalah hukum Islam yang dijadikan jawaban oleh seseorang atau lembaga atas adanya pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sebagai contoh: Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai larangan Natal Bersama antara orang Kristen dengan orang Islam. Fatwa di maksud bersifat kasuistik dan tidak mempunyai daya ikat secara yuridis formal terhadap peminta fatwa. Namun, fatwa mengenai larangan Natal bersama secara yuridis empiris pada umumnya dipatuhi oleh umat Islam di Indonesia. Karena fatwa pada umumnya cenderung bersifat dinamis terhadap perkembangan baru yang dihadapi oleh umat Islam. Walaupun sudah ada KHI (Kompilasi Hukum Islam) tidak mentutup kemungkinan lembaga fatwa tetap dibutuhkan oleh masyarakat. Sebagai contoh pasal 52 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama secara implisit membuka peluang kepada hakim untuk memberi fatwa. Yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat memberikan keterangan pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.
4.      Keputusan Pengadilan Agama
Hukum Islam yang berbentuk Keputusan Pengadilan Agama adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas adanya permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih atau lembaga kepadanya. Keputusan dimaksud bersifat mengikat pihak-pihak yang berperkara. Selain itu, keputusan pengadilan agama dapat bernilai sebagai yurisprudensi, yang dalam kasus-kasus tertentu dapat dijadikan oleh hakim sebagai referensi hukum.
5.      Perundang-undangan Indonesia
Hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan di Indonesia adalah hukum Islam yang bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan, bahkan daya ikatnya lebih luas. Sebagai peraturan organic, terkadang tidak elastis mengantisipasi tuntutan zaman dan perubahan. Sebagai contoh UU Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memuat hukum Islam dan mengikat kepada setiap warga Negara Republik Indonesia.
No
Sumber Hukum Islam
Pengertian
Sifat
Contoh
1.
Syariah
Hukum Islam dalam pengertian syariah adalah hukum Islam yang tidak mengalami perubahan sepanjang zaman dan mengikat pada setiap umat Islam.
Tidak mengikat secara yuridis.
Al Quran dan Assunah
2.
Fiqh
Hukum Islam dalam pengertian Fiqh adalah hukum Islam yang berdasarkan pemahaman yang diperoleh seseorang dari suatu dalil, ayat, nash, atau hadist.
Tidak Mengikat secara yuridis
Kitab-kitab fiqh: al hujjah, al umm dll
3.
KHI
Kompilasi Hukum Islam adalah puncak pemikran Fiqh di Indonesia.
Mengikat secara yuridis
INPRES NO 1 TAHUN 1991 buku II bab I pasal 171 tentang hukum kewarisan
4.
Fatwa
Hukum Islam yang berbentuk Fatwa adalah hukum Islam yang dijadikan jawaban oleh seseorang atau lembaga atas adanya pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Tidak Mengikat (karena belum di legislasikan)
Fatwa MUI tentang merokok 
5.
Fatwa MUI (Yang sudah bekerjasama dengan lembaga atau badan tertentu)
Wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim Indonesia yang mana berperan sebagai pemberi fatwa (mufti), pembimbing dan pelayan umat, sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar, dan sebagai gerakan Ishlah wa Al-tajdid
Mengikat
Fatwa DSN MUI No. 01/DSN MUI/X/2013 tentang musyarakah mutanaqisah
6.
Kep. Pengadilan Agama
Hukum Islam yang berbentuk keputusan PA adalah keputusan yang dikeluarkan oleh PA atas adanya permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan seseorang atau kembaga kepadanya
Mengikat pihak-pihak yang berperkara atau dapat dijadikan hakim sebagai referensi hukum
PUTUSAN Nomor: 95/Pdt.G/2013/PA.BPR (merupakan contoh putusan pengadilan terhadap penggugat dan tergugat cerai di pekan baru)
7.
Perundang-Undangan
Hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan di Indonesia adalah hukum Islam yang bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan, bahkan daya ikatnya lebih luas.
Mengikat seluruh warga RI
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan










 

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kronologi hukum islam tejadi pada beberapa era, yang pertama pada pra-pemerintahan Hindia Belanda dan yang kedua itu setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Pada pra pemerintahan hindia belanda terdapat tiga teori yaitu: tahkim, ahlul halli wal aqdi, dan tauliyah.
Hukum islam di indonesia juga mengalami pasang surut yang dulunya sebelun penjajah masuk ke nusantara, setelah para penjajah datang hukum islam mulai terkikis sampai akhirnya hukum islam bisa eksis lagi setelah kemerdekaan Republik indonesia yang kemudian ditetapkan  atau di masukkan kedalam suatu lembaga peradilan tata negara.Para pakar hukum pun juga teleh membuat teorinya masing-masing mengenai hukum islam di indonesia. Teori-teori yang dihasilkan antara lain:  Teori Receptie in Complexu, Teori Receptie, Teori Receptie Exit atau Receptie a Contrario.










[1] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika; Jakarta, 2012, hlm 1.
[2] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), CV Pustaka Setia: Bandung, 2007, hlm 292.
[3]Ibid., hlm 293.
[4]Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), CV Pustaka Setia: Bandung, 2007, hlm 293.
[5]Ibid.
[6]Ibid., hlm. 294.
[7]Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), CV Pustaka Setia: Bandung, 2007, hlm 294.
[8]Ibid., hlm. 295.
[9]Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), CV Pustaka Setia: Bandung, 2007, hlm 298.
[10]Ibid., hlm. 300.
[11]Ahmad Rofiq, Hukum Perdata islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2015, hlm 12.
[12]Ahmad Rofiq, Hukum Perdata islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2015, hlm 14.
[13]Ahmad Rofiq, Hukum Perdata islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2015, hlm15.
[14]Ahmad Rofiq, Hukum Perdata islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2015, hlm 17.
[15]Ibid.,hlm 18.
[16]Ahmad Rofiq, Hukum Perdata islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2015, hlm 19.
[17]Ahmad Rofiq, Hukum Perdata islam di Indonesi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2015, hlm 20.
[18] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), CV Pustaka Setia: Bandung, 2007, hlm 319.
[19] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), CV Pustaka Setia: Bandung, 2007, hlm 320.
[20] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika; Jakarta, 2012, hlm 3.
[21]Ibid., hlm 4-6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar