Minggu, 19 Februari 2017

Menghitung Waris dengan Aul dan Rad



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang        
            Aul dan radd adalah dua kasus kewarisan hasil produk ijtihad fuqaha dalam kaitannya dengan operasional metode perhitungan sebagai upaya penyelesaian kasus kewarisan yang kekurangan atau kelebihan harta warisan. Dua diantara tiga kemungkinan yang pasti ditemui dalam penyelesaian pembagian harta warisan ini, tampaknya menjadi perbincangan yang cukup menarik di sepanjang perkembangan hukum waris Islam.
            Karenanya, didalam kewarisan ini ada istilah kelompok mayoritas yang merupakan pendapat terpilih, yang kemudian menjadikan ijtihad ini sebagai ijama’ ulama.

Rumusan Masalah
1.      Apa itu Aul dan Radd?
2.      Bagaimana cara menghitung waris dengan metode Aul dan Radd?

Tujuan Makalah
1.      Mengetahui pengertian Aul dan Radd.
2.      Mengetahui contoh kasus menghitung waris dengan metode Aul dan Radd.





 
BAB II 
PEMBAHASAN
 

A.    Pengertian Aul
Kata aul berasal dari bahasa Arab, yang artinya lebih atau banyak. Secara bahasa ia juga bermakna azh-zhulm yang berarti aniaya.
Sedangkan menurut istilah, aul adalah jumlah bilangan bagian lebih dari asal masalah yang dibagi kepadanya kadar harta peninggalan. Sayuti Thalib dalam bukunya mengistilahkan dengan “ketekoran”. Dalam bukunya tersebut masalah ini dimasukkan dalam masalah sisa bagi yang dalam pelaksanaan pembagian harta warisan, terkadang terjadi kekurangan harta peninggalan menurut jumlah bagian masing-masing waris.
R. Abdul Djamali, memakai istilah aulu’ dalam hal seluruh ahli waris memperoleh bagian harta warisan berdasarkan ketentuan lebih besar dari kesatuan harta warisannya atau pengurangan secara berimbang.
Adapun dalam terminologi hukum kewarisan, aul adalah menambah angka asal masalah sesuai dengan bagian yang diterima ahli waris. Langkah ini ditempuh, karena apabila diselesaikan menurut ketentuan yang semestinya, akan terjadi kekurangan harta.[1]

B.     Latar Belakang Terjadinya Aul
Para ahli hukum memperselisihkan siapa diantara para sahabat yang pertamakalinya mempelopori pembagian harta warisan secara aul ini. Sebagian mereka menyatakan bahwa orang yang pertama memecahkan persoalan kewarisan  dengan aul ini adalah Umar bin Khattab, sebagian lagi mengatakan Abbas bin Abdul Muthalib, dilain pihak juga ada yang mengatakan bahwa Zaid bin Tsabitlah orang pertama yang menggunakan metode aul. Akan tetapi ini bukanlah persoalan siapa diantara mereka yang pertama kali menetapkan metode aul ini, yang jelas kasus ini muncul pada saat khalifah Umar menjabat sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai seorang penentu, maka tepatlah kiranya jikalau beliau dikatakan orang yang pertamakali menyelesaikan kasus aul tersebut. Sebab, dalam suatu riwayat disebutkan bahwa beliau pernah didatangi salah seorang sahabat yang menanyakan penyelesaian suatu masalah “Seseorang meninggal dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari suami dan dua orang saudara perempuan kandung. Beliau kemudian bermusyawarah dengan Zaid dan Abbas dengan mengatakan; ‘Jika kumulai dengan memberikan kepada suami atau dua orang saudara perempuan, niscaya tidak ada hak yang sempurna bagi yang lain’”.
Dari peristiwa tersebut, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa:
a.       Kasus aul terjadi pertamakali pada kekhalifahan II masa-masa Khulafa al-Rasyidin, disebabkan tidak pernah munculnya persoalan aul ini dimasa Nabi maupun khalifah Abu Bakar.
b.      Kasus aul yang pertamakali terjadi adalah asal masalah aul ke 7, sebab warisnya terdiri dari seorang suami dan dua orang saudara kandung, yang masing-masing memiliki bagian ½ dan 2/3.

C.    Asal Masalah yang Dapat di ‘Aulkan
Dari tujuh macam asal masalah, tiga diantaranya adalah
asal masalah yang dapat di aulkan, yakni: 6, 12, dan 24.
1.       Asal Masalah 6 di aulkan sampai angka ke 10 (ganjil dan
       genap, yaitu ke 7, ke 8, ke 9, dan ke 10).
2.      Asal Masalah 12 di aulkan sampai ke 17 (tetapi hanya pada
      angka-angka yang ganjil, yaitu ke 13, ke 15, dan ke 17).
3.      Asal Masalah 24 hanya di aulkan ke 27.31
                   Dengan demikian, berarti ada empat macam asal masalah
yang tidak terdapat angka aulnya, yaitu asal masalah: 2, 3, 4,
dan 8. [2]
Berikut adalah salah satu contoh aul dengan asal masalah 6:
NO
AHLI WARIS

FARDH
AM = 6   
BAGIAN
1
Suami
1/2
3
2
2 org sdr pr kndg
2/3
4
JUMLAH
7


D.    Contoh Kasus Metode Aul
Seorang istri meninggal dunia (P). Ia meninggalkan ahli waris yang terdiri atas seorang suami (A) dan dua orang perempuan saudara kandung (B dan C). Harta peninggalan yang ditinggalkan pada saat meninggal dunia berjumlah Rp 66.000.000,-. Selain itu, ia meninggalkan biaya rumah sakit Rp 1.500.000,- dan wasiat yang senilai dengan Rp 1.000.000,- serta biaya penguburan Rp 500.000,-. Karena itu, jumlah harta peninggalan yang menjadi harta warisan berjumlah Rp 63.000.000,-. Pembagian harta yang dimaksud sebagai berikut:[3]
A                     = ½ x 63.000.000        = 31.500.000
B dan C           = 2/3 x 63.000.000     = 42.000.000+
Jumlah                                                  = 73.500.000

Menurut ketentuan Pasal 192 Kompilasi Hukum Islam, pembagian harta warisan yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang ada dalam al-Qur’an, tetapi tidak cukup karena misalnya dalam kasus diatas, yaitu harta warisan berjumlah Rp 63.000.000 sedangkan perhitungan bagian ahli waris yang ditetapkan bagiannya akan berjumlah Rp 31.500.000 + Rp 42.000.000 = Rp 73.500.000. sehubungan dengan kasus yang dimaksud, maka dalam hal ini berlaku yang dinamakan aul, yaitu seharusnya suami menerima ½ menjadi 3/6 dan dua orang saudara perempuan seharusnya menerima 2/3 atau 4/6 sehingga menjadi 3/6 + 4/6= 7/6. Perbandingannya 3 : 4. Oleh karena itu pembagiannya disesuaikan dengan perbandingan, yaitu:
            Suami menerima                                  = 3/7 x 63.000.000 = 27.000.000
            Dua orang saudara perempuan            = 4/7 x 63.000.000 = 36.000.000+
            Jumlah                                                                                 = 63.000.000
           
E.     Pengertian Radd[4]
            Kata radd ditinjau dari aspek bahasa berarti “i’adah” yang berarti “mengembalikan”, dan bisa juga berarti “sharf” yang berarti “memulangkan kembali”.
Ali Ash-Shabuny melengkapi pengertian radd yang ditinjau dari segi aspek bahasa bisa bermakna penolakan atau penyerahan.
            Sedangkan radd menurut istilah ilmu faraidh adalah pengembalian apa yang tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak menerimanya.
Masalah radd merupakan kebalikan dari masalah aul. Cara radd ditempuh untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris seimbang dengan bagian yang diterima masing-masing ahli waris secara proporsional.
            Dari berbagai pengertian baik yang ditinjau dari aspek bahasa atau istilah, radd pada intinya sangat terkait dengan persoalan adanya sisa harta warisan yang berlebih yang akan dikembalikan kepada ahli waris  ashabul furudh secara berimbang sesuai dengan besar kecilnya bagian yang telah diterimanya berdasarkan ketentuan furudhul muqaddarah, sehingga akan berpengaruh pula dengan operasional metode perhitungannya. Dengan kata lain, bahwa pengaruh ini nantinya akan menambah perolehan masing-masing ahli waris setelah menerima bagian yang telah ditentukan.

           
F.      Radd Menurut Dua Versi Sahabat
1.      Ali bin Abi Thalib
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)[626] di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
[626]. Maksudnya: yang jadi dasar waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara Muhajirin dan Anshar pada permulaan Islam.


Ali dikatakan sebagai orang pertama yang mula-mula berpendapat dan menyelesaikan masalah radd menyatakan bahwa; Radd tidak diberikan kepada salah seorang suami/istri pewaris, karena radd dimiliki dengan jalan rahim atau nasab. Sedangkan mereka ahli waris mewarisi dengan sebab nikah. Sehingga kalau dikelompokkan mereka tergolong waris sababiyah bukan nasabiyah, dan dengan sebab ini pula dinyatakan bahwa satu kekerabatan akan putus karena kematian. Adapun alasan yang dipegangi oleh Ali dalam persoalan ini adalah Qs. Al-Anfal:75:
 


2.      Utsman bin Affan
Utsman menyatakan bahwa radd berlaku terhadap seluruh ashabul furudh, tidak terkecuali suami/istri pewaris didalamnya. Dengan demikian, selain ahli waris nasabiyah, ahli waris sababiyah juga berhak mendapatkan tambahan sisa. Pendapat ini dikemukakan oleh Utsman dengan pertimbangan logika dan segi praktis pembagian warisan. Menurutnya, suami dan istri dalam masalah aul, bagian mereka juga ikut dikurangi sehingga wajar apabila disaat terdapatnya kelebihan harta, mereka juga mendapatkan tambahan tersebut.
Itulah satu-satunya alasan atau dasar hukum yang dipegangi oleh Utsman bin Affan dalam menyelesaikan masalah radd.[5]


G.    Contoh Kasus Metode Radd
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari seorang anak perempuan dan seorang ibu. Harta warisan yang ditinggalkan sejumlah Rp 120.000.000,-. Pembagiannya sebagai berikut:
            Anak perempuan menerima = ½ bagian  = 3/6 bagian
            Ibu menerima                       = 1/6 bagian =1/6 bagian
            Jumlah                                                       = 4/6 bagian
Pembagian tersebut masih ada sisa 6/6 – 4/6 = 2/6 bagian. Perbandingan yang diterima oleh seorang anak perempuan dan ibu pewaris adalah 3 : 1. Pembagiannya sebagai berikut:
            Anak perempuan menerima = ¾ x 120.000.000 = 90.000.000
            Ibu pewaris menerima          = ¼ x 120.000.000 = 30.000.000
            Jumlah                                                                  = 120.000.000[6]






BAB III
       PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kata aul berasal dari bahasa Arab, yang artinya lebih atau banyak. Secara bahasa ia juga bermakna azh-zhulm yang berarti aniaya.
Sedangkan menurut istilah, aul adalah jumlah bilangan bagian lebih dari asal masalah yang dibagi kepadanya kadar harta peninggalan. Sayuti Thalib dalam bukunya mengistilahkan dengan “ketekoran”. Dalam bukunya tersebut masalah ini dimasukkan dalam masalah sisa bagi yang dalam pelaksanaan pembagian harta warisan, terkadang terjadi kekurangan harta peninggalan menurut jumlah bagian masing-masing waris.

Kata radd ditinjau dari aspek bahasa berarti “i’adah” yang berarti “mengembalikan”, dan bisa juga berarti “sharf” yang berarti “memulangkan kembali”.
Ali Ash-Shabuny melengkapi pengertian radd yang ditinjau dari segi aspek bahasa bisa bermakna penolakan atau penyerahan.
            Sedangkan radd menurut istilah ilmu faraidh adalah pengembalian apa yang tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak menerimanya.
Masalah radd merupakan kebalikan dari masalah aul. Cara radd ditempuh untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris seimbang dengan bagian yang diterima masing-masing ahli waris secara proporsional.

B.     Kritik dan Saran
Umar bin Khatab pernah berkata bahwa “Orang yang paling aku sukai adalah orang yang menunjukkan kesalahanku”. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan kedepannya.











[1] Hj. Wahidah, Buku Ajar Fikih Waris,(Banjarmasin : IAIN ANTASARI PRESS, 2014) Hlm. 16

[2]  Hj. Wahidah, Buku Ajar Fikih Waris,(Banjarmasin : IAIN ANTASARI PRESS, 2014) Hlm.
[3] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali,M.A, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2012) Hlm. 119

[4] Hj. Wahidah, Buku Ajar Fikih Waris,(Banjarmasin : IAIN ANTASARI PRESS, 2014) Hlm. 35

[5] Hj. Wahidah, Buku Ajar Fikih Waris,(Banjarmasin : IAIN ANTASARI PRESS, 2014) Hlm. 43

[6] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali,M.A, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2012) Hlm. 120

1 komentar: