BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara
perdata semata, melainkan ikatan suci (misaqan
galiza) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah SWT. Dengan
demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus
diperlihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan
perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa
rahmah) dapat terwujud.
Tujuan perkawinan
adalah untuk dapat melanjutkan keturunan dan membentuk keluarga rumah tangga
yang bahagia dan kekal serta berguna bagi kehidupan kekerabatan yang rukun dan
damai. Oleh karenanya maka perkawinan itu bukan semata-mata urusan dan
kepentingan suami isteri bersangkutan, melainkan juga termasuk urusan dan
kepentingan orang tua dan kekerabatan.
Namun demikian walaupun
sejak sebelum menikah, orangtua atau keluarga sudah memberikan petunjuk dalam
menilai bibit, bobot, dan bebet bakal calon suami dan calon isteri, sejarah
rumah tangga seseorang adakalanya mengalami nasib buruk, bahkan dapat berakibat
pada terjadinya putus perkawinan. Sebaiknya putusnya perkawinan merupakan hal
yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat
juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekuensinya ia dapat
lepas yang kemudian dapat disebut dengan talak itu adalah melepaskan ikatan
atau melepaskan perjanjian.
2.
Rumusan Masalah
a.
Apa
saja sebab-sebab putusnya perkawinan?
b.
Bagaimana
tata cara perceraian dalam Islam?
c.
Bagaimana
aturan masa iddah (waktu tunggu) untuk seorang isteri?
3.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini yang pertama adalah untuk memenuhi salah satu
syarat mata kuliah Hukum Perdata Islam. Selanjutnya adalah untuk mengetahui dan
memahami tentang sebab-sebab putusnya perkawinan, tata cara perceraian, dan masa iddah (waktu tunggu)
seorang isteri.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PUTUS PERKAWINAN (KARENA KEMATIAN,
PERCERAIAN, DAN PUTUSAN PENGADILAN) SERTA SEBAB AKIBATNYA
1.
Putus Perkawinan
Putus
perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
sudah putus. Putus ikatan bisa berarti salah seorang di antara keduanya
meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang
diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya
sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
Berdasarkan semua itu, dapat berarti perkawinan suami isteri sudah putus dan
atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat oleh
tali perkawinan.
Perceraian
dalam hukum Islam adalah suatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip yang
dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh
Allah adalah talak/perceraian. (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim)
Berdasarkan hadits
tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu
darurat) yang dapat dilalui oleh suami isteri bila ikatan perkawinan (rumah
tangga) tidak dapat dipertahanakan keutuhan dan kelanjutannya.[1] Sifat alternatif dimaksud,
berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian
diantara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah
pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan
Al-Hadits.[2]
Kalau keputusan
putusnya perkawinan atau perceraian serta akibat-akibatnya, diatur dalam Pasal
38 sampai dengan Pasal 41 Undang-undang perkawinan. Namun, tata cara perceraian
diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36.[3]
Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975, dan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3
tahun 1975.
v Pasal 38 UU Perkawinan
Perkawinan
dapat putus karena:
a.
Kematian,
b.
Perceraian,
dan
c.
Atas
keputusan pengadilan.
v Pasal 39 UU Perkawinan
(1)
Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2)
Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.[4]
(3)
Tata
cara perceraian di depan siding pengadilan diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri.
v Pasal 40 UU Perkawinan
(1)
Gugatan
perceraian diajukan kepada pengadilan
(2)
Cara
mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.[5]
Selain rumusan hukum dalam Undang-undang Perkawinan tersebut, Pasal
113 sampai dengan Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum yang lebih rinci
mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara, dan akibat hukumnya.
Sebagai contoh Pasal 113 KHI sama dengan Pasal 38 Undang-undang Perkawinan.
Pasal 114 mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian maka
dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 KHI
mempertegas bunyi Pasal 39 Undang-undang Perkawinan yang sesuai dengan konsern
KHI yaitu untuk orang Islam: Perceraian hanya dapat dilakukan didepan siding
Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Lain halnya dengan alasan-alasan terjadinya perceraian yang
penjelasannya dimuat dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975. Pasal 116 KHI:
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2
(dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya;
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e.
Salah satu pihak mendapat ccat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau
isteri;
f.
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.[6]
Dalam KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya perceraian yang
berlaku khusu kepada suami isteri (pasangan perkawinan) yang memeluk agama
Islam, yaitu:
g.
Suami melanggar taklik talak
h.
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Selain itu, KHI juga menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan
dengan perceraian dan akibat hukumnya, termasuk yang berkaitan dengan teknis
pelaksanaannya agar tindakan perceraian itu dilakukan sesuai dengan hukum
Islam.
v Pasal 117 KHI
Talak adalah ikrar suami di hadapan siding
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131 KHI.
v Pasal 118 KHI
Talak
raj’i adalah talak kesatu atau kedua
dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.
v Pasal 119 KHI
(1)
Talak
ba’in sugra’ adalah talak yang tidak
boleh rujuk tapi boleh akada nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam
masa iddah.
(2)
Talak
ba’in sugra’ sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah:
a.
Talak
yang terjadi qabla al-dukhul
b.
Talak
dengan tebusan atau khulu’
c.
Talak
yang dijatuhkan oleh pengadilan agama[7]
v Pasal 120 KHI
Talak
ba’in kubra adalah talak yang terjadi
untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat
dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas
isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul
dan habis masa iddahnya.
v Pasal 121 KHI
Talak
sunni adalah talak yang dibolehkan,
yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak
dicampuri dalam waktu tersebut.[8]
v Pasal 122 KHI
Talak
bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu
talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam
keadaan suci tapi dicampuri pada waktu suci tersebut.
v Pasal 123 KHI
Perceraian
itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan siding
pengadilan.
v Pasal 124 KHI
Khulu’
harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.
v Pasal 125 KHI
Li’an
menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya.
v Pasal 126 KHI
Li’an
terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak
dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak
tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Masalah tata cara li’an diatur dalam paragraf 4 Pasal 87 dan 88
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut undang-undang Peradilan
Agama).[9]
v Pasal 87
(1)
Apabila
permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan
zina, sedangkan permohonan atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti
dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat
bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta
upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau
penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau
penggugat untuk persumpah.
(2)
Pihak
termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya
dengan cara yang sama.[10]
Ketentuan li’an tersebut, juga diatur secara rinci dalam Pasal 127 KHI
yang bersumber dari Surah An-Nur (24) ayat 6-9 seperti yang telah diuraikan
ketika membahas mengenai asal-usul anak.
v Pasal 88 Undang-undang
Peradilan Agama
(1)
Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilakukan
dengan cara li’an.
(2)
Apabila sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
87 ayat (1) dilakukan oleh isteri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan
hukum acara yang berlaku.[11]
2.
Akibat
Putusnya Perkawinan
Akibat hukum yang
muncul ketika putus perkawinan antara seorang seorang suami dengan seorang
isteri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam
Undang-undang Perkawinan dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat
dikelompokkan menjadi 5 (lima) karakteristik, yaitu sebagai berikut.
a.
Akibat Talak
Menurut
istilah, seperti yang dituliskan al-Jaziri, talak adalah melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau juga bisa disebut
mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.
Sayyid sabiq menjelaskan talak sebagai sebuah upaya untuk melepaskan ikatan
perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.
KHI
mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak harus disampaikan
dihadapan sidang Pengadilan Agama. Tampaknya UU No. 7/1989 tentang Peradilan
Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada Pasal 66 ayat 1
yang berbunyi,
Seseorang suami yang
beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada
pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar Talak. [12]
Ikatan
perkawinan yang putus karena suami mentalak isterinya mempunyai beberapa akibat
hukum berdasarkan pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut.
v Pasal 149 KHI
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka
bekas suami wajib:
a.
Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak kepada
bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut
qabla al-dukhul;
b.
Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal
dan pakaian) kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah
dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c.
Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan
separuh apabila qabla al-dukhul;
d.
Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak)
untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.[13]
Ketentuan
pasal 149 KHI tersebut bersumber dari surah Al-Baqarah (2) ayat 235 dan 236.[14]
b.
Akibat Perceraian (Cerai Gugat)
Cerai gugat, yaitu seorang isteri menggugat suaminya untuk bercerai
melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud
sehingga putus hubungan penggugat (isteri) dengan tergugat (suami) perkawinan.
Cerai gugat didasarkan hadits Nabi Muhammad saw:
Seorang perempuan
berkata kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah saw. Saya yang mengandung anak
ini, air susuku yang diminumnya, dan dibalikku tempat kumpulnya (bersamaku),
ayahnya telah menceraikanku dan dan ia memisahkannya dariku”, maka Rasulullah
saw bersabda: “Kamu lebih berhak (memliharanya), selama kamu tidak menikah”.
(Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim mensahihkannya).[15]
Pasal 156
KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai
gugat). Hal itu diungkapkan sebagai berikut.
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan
hadanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
diganti oleh:
a. Wanita-wanita
dalam garis lurus keatas dari ibu;
b. Ayah;
c. Wanita-wanita
dalam garis lurus keatas dari ayah;
d. Saudara
perempuan dari anak yang bersangkutan;
e. Wanita-wanita
dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
f. Wanita-wanita
dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk
mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya.
3. Apabila
pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani
anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan
kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada
kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula.
4. Semua
biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya,
sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri (21
tahun).
5. Bilamana
terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, pengadilan agama
memberikah putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
6. Pengadilan
dapat pula dengan mengingat kemmapuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
c.
Akibat Khulu’
Perceraian
yang terjadi akibat khulu’, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena
pihak isteri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan
perkawinan. Selain itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan
isteri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan
suaminya. Oleh karena itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk
mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan Pasal 161
KHI yang berbunyi: “Perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan
tidak dapat dirujuk.”[16]
d.
Akibat Li’an
Perceraian
yang terjadi akibat li’an, yaitu
ikatan perkawinan yang putus selama-lamanya. Dengan putusnya perkawinan
dimaksud, anak yang dikandung oleh isteri dinasabkan kepadanya (ibu anak)
sebagai akibat li’an. Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum sebagai berikut.
Bilamana li’an
terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung
dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebasdari kewajiban member nafkah.
Hal
itu, berdasarkan Hadits Nabi Muhammad sebagai berikut:
Sesungguhnya Nabi saw, menyaksikan antara seorang
laki-laki dan isterinya, maka laki-laki itu tidak mengakui anak yang lahir dari
isterinya itu, maka beliau memisahkan di antara keduanya dan menghubungkan
nasab anak kepada ibunya. (Riwayat Bukhari)
e.
Akibat Ditinggal Mati
Suami
Kalau
ikatan perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka isteri
menjalani masa iddah dan tanggungjawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta
mendapat bagian harta warisan dari suaminya. Karena itu, Pasal 157 KHI: harta
bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 96 dan 97.[17]
v Pasal 96 KHI
(1)
Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2)
Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau
isteri yang isteri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinyayang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
Pengadilan Agama.
Pasal
96 KHI tersebut, menjelaskan ikatan yang putus karena salah seorang pasangan
suami isteri meninggal sehingga pembagian harta bersama dilakukan oleh ahli
waris berdasarkan proporsi, termasuk bagian yang masih hidup. Pemabagian harta
bersama dimaksud, dilakukan oleh ahli waris bila harta itu ada. Namun, bila
harta bersama itu belum ada karena kelangsungan ikatan perkawinan sangat
singkat, maka pihak yang masih hidup tidak mendapat bagian. Sebaliknya, bila
perkawinan itu putus sebagai akibat cerai hidup, maka Pasal 97 KHI menjelaskan
bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Selain
itu, perlu juga dijelaskan bahwa, untuk menentukan hilangnya salah seorang
pasangan suami isteri, baik isteri atau suami yang hilang adalah pembuktian
autentik yang dapat diterima oleh berbagai pihak secara hukum.[18]
B.
TATA
CARA PERCERAIAN
Perceraian dalam ikatan
perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Islam. Apabila sudah
ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan kebahagiaan,
namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai
sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA) dan Pasal 115 KHI.
Tata cara perceraian
bila dilihat dari aspek subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya
perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut.
1.
Cerai
Talak (Suami yang Bermohon untuk Bercerai)
Apabila suami yang mengajukan permohonan ke
pengadilan untuk menceraikan isterinya, kemudian sang isteri menyutujuinya
disebut cerai talak. Hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA.
v Pasal 66 UUPA
(1)
Seorang suami beragama Islam yang akan
menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengajukan
siding guna menyajikan ikrar talak.
(2)
Permohonan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohonkecuali apabila termohon
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin
pemohon.
(3)
Dalam hal termohon bertempat kediaman diluar
negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman pemohon.
(4)
Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman
diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.[19]
(5)
Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak,
nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama
dengan permohona cerai talak ataupun sesudah ikrar talak dilangsungkan.
Sesudah permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan
Agama, Pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang
menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 86
UUPA dan Pasal 131 KHI.[20]
v Pasal 68 UUPA
(1)
Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh
Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
(2)
Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan
dalam sidang tertutup.
v Pasal 131 KHI
(1)
Pengadilan Agama yang bersangkutan memepelajari
permohonan dimaksud Pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tetntang
segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.[21]
(2)
Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil
menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk mnejatuhkan alasan
untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun
dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bai
suami untuk mengikrarkan talak.
(3)
Setelah keputusan memiliki hukum tetap, suami
mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri
atau kuasanya.
(4)
Bila suami tidak mengucapkan ikrar dalam tempo 6
(enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak
baginya mempunyai hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak
gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
(5)
Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan
Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan
bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri.
Helai pertama
beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.[22]
2.
Cerai
Gugat (Isteri yang Bermohon untuk Bercerai)
Cerai
gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang
diajukan oleh isteri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami)
menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohona dimaksud. Oleh
karena itu, khulu’ seperti yang telah
diuraikan pada sebab-sebab putusnya ikatan perkawinan termasuk cerai gugat. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi
atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas
persetujuan suaminya. Cerai gugat diatur dalam Pasal 73 UUPA sebagai berikut.
v Pasal 73
UUPA
(1)
Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat,
kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin terguigat.
(2)
Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar
negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugat.
(3)
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman
di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau ke pengadilan Agama Jakarta
pusat.
Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk
mengajukan gugatan diatur dalam pasal 74, 75 dan 76 UUPA dan pasal 133, 134,
dan 135 KHI.
v Pasal 74 UUPA
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan
salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan
perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan
pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan bisnis tetap.[23]
v Pasal 75 UUPA
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan
bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan diri kepada
dokter.
v Pasal 76 (2) UUPA
Pengadilan setelah mendengar kerterangan saksin tentang sifat persengketaan anatara
suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluargamasing-masing
pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim.
Pasal 76 ayat (2) UUPA din atas, merupakan
penjabaran garis hukum dari Firman Allah dalam surat An-Nisaa’(4) ayat 35, yang
kemudian mengambil bentuk lembaga yang disebut PB4, Selanjutnya, fungsi lembaga
tersebut diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun
1975, yaitu bahwa pengadilan Agama dalam setiap kesempatan berusaha mendamaikan
kedua belah pihak dan dapat minta bantuan kepada Badan Penasihat Perkawinan dan
Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat. Adapun tindakan hukum selama proses
perkara di pengadilan berlangsung, menghindari berbagai kemungkinan hal-hal
yang bersifat negatif di antara suami istri. Hal ini diatur dalam Pasal 77
UUPA.
v Pasal 77 UUPA
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang
mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah.[24]
v Pasal 78 UUPA
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat, pengadilan dapat:
a. Menerima
nafkah yang ditanggung suami;
b. Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c. Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Gugatan
tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan
pengadilan mengenai guagatan perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian,
tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alsan yang ada dan
telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamain tercapai. Upaya perdamaian
dimaksud memungkinkan terjadi, mengingat ia tidak di batasi pada sebelum
pemerikasaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang. Lain halnya
bila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam
sidang tertutup.
Mengenai
pelaksanaan sidang pemeriksaan gugatan penggugat dimulai selambat-lambatnya 30
(tiga puluh hari) setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di
kepanitraan. Hal ini diatur dalam pasal 80 ayat (1) UUPA:[25]
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh
Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga pluh) hari setelah berkas atau surat
gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan.
Akan
tetapi, Pasal 80 ayat (2) dan (3) hanya menjelaskan teknis untuk menghindarkan
ketidakhadiran pihak-pihak yang beperkara baik penggugat maupun tergugat. Hal
ini menunjukkan hanya merupakan penegasan pasal 29 ayat (2) dan (3) PP Nomor 9
Tahun 1975 sebagai berikut.
(1)
Dalam penetapan waktu sidang gugatan perceraian,
baru diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterima panggilan tersebut
oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
(2)
Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti
dalam pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian diterapkan
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan
perceraian pada kepaniteraan Pengadilan Agama.
Kalau
sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan secara tertutup, putusan
pengadilan mengenai gugatan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Perceraian dianggap terjadi, beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kehadiran
pihak-pihak yang berperkara atau wakil/kuasanya menjadi factor penting demi
kelancaran pemeriksaan perkara di persidangan. Hal ini diuraikan dalam pasal
142 KHI.[26]
v Pasal 142 KHI
(1)
Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami
istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
(2)
Dalam hal suami istri mewakilkan, untuk
kepentingan pemeriksaan hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir
sendiri.
Sesudah
perkara perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, maka salinan
putusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait. Oleh karena itu, Pasal 147
Ayat 1 KHI menjelaskan:
Setelah perkara
perceraian itu diputuskan, maka panitia pengadilan agama menyampaikan salinan
surat putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya dengan menarik kutipan
akta nikah dari masing-masing yang bersangkutan.
Selain
salinan putusan dikirim kepada suami istri tersebut, dijelaskan dalam Pasal 84
UUPA.
v Pasal 84 UUPA
(1)
Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang
ditunjuk kewajiban selambat-lembatnya 30 hari mengirimkan suatu helai salinan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, tanpa bermeterai
kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman
penggungat dan tergugat, untuk mendaftarkan keputusan perceraian dalam sebuah
daftar yang disediakan untuk itu.[27]
(2)
Apabila perecraian dilakukan diwilayah yang
berbeda dengan wilayah Pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan,
maka satu helai salinan putusan sebagai mana yang dimaksud dalam Ayat (1) yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada
pegawai pencatat nikah ditempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai
pencatat nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
(3) Apabila
perkawinan dilangsungkan diluar negeri, maka satu helai salinan putusan
sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (1) disampaikan pula kepada pegawai
pencatat nikah ditempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
(4) Panitera
berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak
selambat-lambatnya 7 hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.
Apabila
terjadi kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 84 menjadi tanggung jawab panitera yang bersangkutan atau pejabat
pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi
bekas suami atau istri atau keduanya. Oleh karena itu, amat penting pengiriman
salinan putusan dimaksud. Sebab, akan mendatangkan kerugian dari berbagai pihak
yang membutuhkan.[28]
Kompilasi
Hukum Islam membedakan cerai gugat dengan khulu’.
Namun demikian, ia mempunyai kesamaan dan perbedaan diantara keduanya.
Persamaan ya adalah keinginan untuk
bercerai datangnya dari pihak istri. Adapun perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwad (uang tebusan), sedangkan Khulu’ uang iwad menjadi dasar akan
terjadinya Khulu’ atau perceraian. Khulu’ dimaksud, diatur dalam Pasal 148
KHI.
v Pasal 148 KHI
(1)
Seorang istri mengajukan gugatan perceraian
dengan jalan Khulu’, menyampaikan permohonannya kepada pengadilan agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan-alasannya.
(2)
Pengadilan agama selambat-lambatnya 1 bulan
memanggil istri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.
(3)
Dalam persidangan tersebut, pengadilan agama
meberi penjelasan tentang akibat Khulu’ dan member nasihat-nasihatnya.
(4)
Setelah kedua belah pihak sepakat tentang
besarnya iwad atau tebusan, maka pengadilan agama memberikan penetapan tentang
izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya didepan siding pengadilan agama.
Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
(5)
Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 131 Ayat 5.
(6) Dalam
hal tidak tercapai kesepakatan tentang besanya tebusan iwad, pengadilan agama
memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa.[29]
Uraian
cerai gugat dan khulu’ diatas, Nampak
ada perbedaannya. Namun, undang-undang No 7 Tahun 1989 UUPA dan peraturan
pemerintah No 9 Tahun 1975 tidak membedakan diantara keduanya sehingga tidak
membiacarakannya. Pada pasal 87 UUPA menjelaskan perceraian yang berdasarkan
alasan zina yang diuraikan sebagai berikut.
v Pasal 87 UUPA
(1)
Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan
atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan permohonan atau
penggugat tidak dapat melengkap bukti-bukti dan termohon atau tergugat
menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan
itu bukan tiada bukti sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak
mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun termohon atau
tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat
untuk bersumpah.
(2)
Pihak termohona atau tergugat diberi kesempatan
pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.
Perceraian
berdasarkan zina tersebut, merupakan penjelasan yang didasarkan peraturan
.perundang-undangan. Apabila diperhatikan Al-qur’an, dijelaskan bahwa seseorang
yang menuduh perempuan lain yang baik-baik berbuat zina kemudian dia tidak
mendatangkan emoat orang saksi, maka ia diancam hukuman Had sebanyak 80 kali
cambuk. Hal ini berdasarkan surah An-Nur Ayat 4 yang artinya:[30]

Artinya: “Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik(berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka dera lah mereka( yang menuduh itu) 80
kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.”[31]
Apabila
ayat tersebut dianalisis, dapat diketahui bahwa sangsi hukum bagi orang yang
menuduh zina tanpa disertai saksi, sangat tipis perbedaannya dengan pelaku zina
itu bila terbukti berbuat zina yang disaksikan oleh 4 orang saksi. Namun, bila
tuduhan itu dilakukan terhadap istri sendiri, walaupun istri juga tergolong
dalam pengertian al-muhsanat pada ayat tersebut, dan tidak menghadirkan 4 orang
saksi, maka ancaman hukumannya tidak berupa hukuman dera, melainkan talak ba’in
kubra yang antara keduanya tidak boleh menikah lagi untuk selama-lamanya.
Pembuktiannya adalah mengucapkan sumpah 4 kali, dan kelimanya ikrar yang
menyatakan kesediaannya untuk menerima laknat Allah apabila tuduhan itu bohong.[32]
Demikian juga pihak istri, diberikan kesempatan untuk menyanggah tuduhan
suaminya itu dengan mengucapkan 4kali sumpah dan kelimanya, ikrar kesediaannya
menerima laknat Allah apabila tuduhan suaminya benar. Cara inilah yang disebut
dengan li’an (mula’anah). Sangsi
hukumannya yang lain adalah hukuman moral kepribadiannya, yaitu persaksiaannya
tidak diterima untuk selama-lamanya. Sebab, ia termasuk orang yang fasik, bila
ia tidak mampu membuktikan tuduhannya.[33]
C.
MASA IDDAH (WAKTU TUNGGU)
Masa iddah
(waktu tunggu ) adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya,
baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah tersebut hanya berlaku bagi istri
yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila istri beluum
melakuakan hubungan suami istri (qabla dukhul) tidak mempunyai masa iddah, hal ini didasarkan firman Allah
Surah Al-Ahzab (33) ayat 49 yang berbunyi:

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”.[34]
Ayat dia atas menjadi dasar pasal 11 UU No.1 Tahun 1974
dan Pasal 153 KHI yakni sebagai berikut:
v Pasal 11 UUP
(1)
Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya
berlaku jangka waktu tunggu.
(2)
Tenggang waktu/ jangka waktu tunggu tersebut ayat
(1) akan diatur dalam peraturan pemerintahan lebih lanjut.
Masa iddah dalam pasal 153 KHI mempunyai beberapa macam
yang dapat diklasifikasi sebagai berikut:
v Pasal 153 KHI
(1)
Bagi seorang istri yang putus perkawinannya
berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya
putus bukan karena kematian suami.
(2)
Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan
sebagai berikut:
a.
Apabila perkawinan putus karena kematian,
walaupun qabla al-dukhul waktu tunggu ditetapkan 130 ( seratus tiga puluh hari)
b.
Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu
tunggu bagi yang masih haid ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya
90 hari dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari
c.
Apabila perkawinan putus karena perceraian
sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
d.
Apabila perkawinan putus karena kematian sedang
janda tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.[35]
(3)
Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan
karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla
al-dukhul.
(4)
Bagi perkawinan yang putus karena perceraian,
tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang
mempunyai kekuatan hukum tetap sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian tenggang waktu dihitung sejak kematian suami.
(5)
Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang
pada waktu menjalani oddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali
waktu suci.
(6)
Dalam hal keadaan pada ayat 5 bukan karena
menyusui, maka iddahnya selama stu tahun, akan tetapi bila dalam satu tahun
tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.[36]
Pengklasifikasi masa
iddah dimaksud akan diuraikan sebagai berikut:
1.
Putus Perkawinan
karena Ditinggal Mati Suami
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
hari (pasal 39 ayat 1 huruf a PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 KHI).
Ketetapan ini, berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan
tidak hamil. Lain halnya bila istri dalam keadaan hamil, waktu tunggu hingga ia
melahirkan.
2.
Putus
Perkawinan karena Perceraian
Seorang istri yang diceraikan suaminya maka memungkinkan mempunyai
beberapa waktu tunggu, yaitu sebagai berikut:
a.
Dalam keadaan hamil
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya
dalam keadaan hamil maka iddah-nya sampai ia melahirkan kandungannya.
b.
Dalam keadaan tidak hamil
1.
Apabila seorang isteri diceraikan suaminya
sebelum terjadi hubungan kelamin maka tidak berlaku baginya masa iddah.
2.
Apabila seorang isteri diceraikan suaminya
setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul):
a)
Bagi seorang istri yang masih datang bulan
(haid), waktu tunggunya berlaku ketentuan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari.
b)
Bagi seorang istri yang tidak datang bulan (tidak
haid) masa iddah nya tiga bulan atau 90
hari.
c)
Bagi seorang istri yang pernah haid. Namun ketika
menjalani mmasa iddah ia tidak haid karena menyusui maka idahnya tiga kali
waktu suci.
d)
Dalam keadaan yang disebut pada ayat (5) KHI
bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam
jangka waktu satu tahun dimaksud ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga
kali suci.[37]
3.
Putus
Perkawinan karena Khulu’, Fasakh, dan Li’an
Kalau
masa iddah bagi janda yang putus
ikatan perkawinannya karena khulu’
(cerai gugat atas dasar tebusan atau
iwad dari istri), fasakh (putus ikatan perkawinan karena salah satu diantara
suami atau istri murtat atau sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan
kawin) atau li’an, maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak.
4.
Istri Ditalak Raj’i kemudian Ditinggal Mati Suami
dalam Masa Iddah
Apabila
seorang istri tertalak raj’i kemudian didalam menjalani masa iddah sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b dan ayar (6) pasal 153 KHI ditinggal mati
oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130
hari yang mulai perhitungannya pada saat mati bekas suaminya. Adapun masa iddah
yang telah dilalui pada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai
dihitung dari saat kematian. Sebab, keberadaan istri yang dicerai selama
menjalani masa iddah, dianggap masih terikat dalam perkawinan karena sang suami
masih menanggung berhak merujuknya selama masih dalam masa iddah( Al- Baqarah
ayat 228).
Karakteristik
masa iddah tersebut, merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan
masa iddah dalam hukum perkawinan islam. Diantara hikmah yang penting dalam
masalah iddah, selain untuk mengetahui keadaan rahim juga menentukan hubungan
nisab anak , memberi alokasi waktuyang cukup untuk merenungkan tindakan
perceraian, bagi istri yang ditinggal mati suaminya adalah untuk turut berduka
cita atau berkabung sekaligus menjaga timbulnya fitnah. Hal itu diatur dalam
pasal 170 KHI.
(1)
Istri yang di tinggalkanmati oleh suami, wajib
melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita
dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.[38]
(2)
Suami yang ditinggal mati oleh istrinya melakukan
masa berkabung menurut peraturan.
Ketentuan
KHI tersebut, bukan hanya mengattur masa iddah dalam hal berkabung, melainkan
juga mengatur masalah masa berkabung bagi suami yang ditinggal mati oleh istrinya.
Berarti pengatur hukum perkawinan islam dalam masa iddah bukan hanya
semata-mata mementingkan aspek yuridis normatif , tetapi juga mementingkan
aspek yuridis empiris yang memuat aspek rasa, toleransi, dan kepatutan.[39]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Putus perkawinan adalah ikatan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan bisa berarti salah
seorang di antara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah
bercerai, dan salah seorang diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian
tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan
sudah meninggal.
2.
Akibat hukum yang muncul ketika putus perkawinan
antara seorang seorang suami dengan seorang isteri dapat dilihat beberapa garis
hukum, baik yang tercantum dalam Undang-undang Perkawinan ataupun dalam KHI.
Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima)
karakteristik: Akibat Talak, Akibat Cerai
Gugat, Akibat Khulu’, Akibat Li’an, Akibat ditinggal Mati Suami.
3.
Tata cara perceraian bila dilihat dari aspek
subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi
dalam dua aspek, yaitu: pertama,
cerai talak yang berarti suami yang bermohon untuk bercerai. Kedua, cerai gugat yang berarti isteri
yang bermohon untuk bercerai.
4.
Masa iddah
(waktu tunggu ) adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya,
baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan.
[1]
Zainuddin Ali. 2012. Hukum Perdata Islam
di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 73
[2]
Ibid. Hal. 73
[3]
Hilman Hadikusuma. 1995. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti. Hal. 171
[4]
Zainuddin Ali. 2012. Hukum Perdata Islam
di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 74
[5]
Ibid. Hal. 74
[6]
Ibid. Hal. 75
[7]
Ibid. Hal. 75
[8]
Ibid. Hal. 76
[9]
Ibid. Hal. 76
[10]
Ibid. Hal. 76
[11]
Ibid. Hal 77
[12]
Amiur Nuruddin, 2004. Hukum Perdata Islam
di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974
sampai KHI). Jakarta: Kencana. Hal. 207
[13]
Zainuddin Ali. 2012. Hukum Perdata Islam
di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 77
[14]
Ibid. 77
[15]
Ibid. Hal 78
[16]
Ibid. Hal. 79
[17]
Ibid. Hal. 79
[18]
Ibid. Hal. 80
[19]
Ibid. Hal 80
[20]
Ibid. Hal 80
[21]
Ibid. Hal. 81
[22]
Ibid. Hal 81
[23]
Ibid. Hal. 82
[24]
Ibid. Hal 83
[25]
Ibid. Hal 83
[26]
Ibid. Hal 84
[27]
Ibid. Hal 84
[28]
Ibid. Hal 85
[29]
Ibid. Hal 85
[30]
Ibid. Hal 86
[31]
Al-Qur’an Surah An-Nur:4
[32]
Zainuddin Ali. 2012. Hukum Perdata Islam
di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 87
[33]
Ibid Hal 87
[34]
Al-Qur’an Surah Al-Ahzab:49
[35]
Zainuddin Ali. 2012. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Hal. 88
[36]
Ibid Hal 88
[37]
Ibid Hal. 89
[38]
Ibid Hal. 90
[39]
Ibid Hal. 90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar