Minggu, 19 Februari 2017

Sebab-sebab Putusnya Perkawinan ( Menurut KHI)



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
           
      Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (misaqan galiza) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah SWT. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus diperlihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.

Tujuan perkawinan adalah untuk dapat melanjutkan keturunan dan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal serta berguna bagi kehidupan kekerabatan yang rukun dan damai. Oleh karenanya maka perkawinan itu bukan semata-mata urusan dan kepentingan suami isteri bersangkutan, melainkan juga termasuk urusan dan kepentingan orang tua dan kekerabatan.

Namun demikian walaupun sejak sebelum menikah, orangtua atau keluarga sudah memberikan petunjuk dalam menilai bibit, bobot, dan bebet bakal calon suami dan calon isteri, sejarah rumah tangga seseorang adakalanya mengalami nasib buruk, bahkan dapat berakibat pada terjadinya putus perkawinan. Sebaiknya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekuensinya ia dapat lepas yang kemudian dapat disebut dengan talak itu adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian.

2.      Rumusan Masalah

a.       Apa saja sebab-sebab putusnya perkawinan?
b.      Bagaimana tata cara perceraian dalam Islam?
c.       Bagaimana aturan masa iddah (waktu tunggu) untuk seorang isteri?

3.      Tujuan Penulisan

            Adapun tujuan penulisan makalah ini yang pertama adalah untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Hukum Perdata Islam. Selanjutnya adalah untuk mengetahui dan memahami tentang sebab-sebab putusnya perkawinan, tata cara  perceraian, dan masa iddah (waktu tunggu) seorang isteri.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    PUTUS PERKAWINAN (KARENA KEMATIAN, PERCERAIAN, DAN PUTUSAN PENGADILAN) SERTA SEBAB AKIBATNYA
1.      Putus Perkawinan

            Putus perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan bisa berarti salah seorang di antara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu, dapat berarti perkawinan suami isteri sudah putus dan atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat oleh tali perkawinan.

            Perceraian dalam hukum Islam adalah suatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip yang dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:

Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian. (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim)
           
Berdasarkan hadits tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami isteri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahanakan keutuhan dan kelanjutannya.[1] Sifat alternatif dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian diantara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits.[2]

Kalau keputusan putusnya perkawinan atau perceraian serta akibat-akibatnya, diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-undang perkawinan. Namun, tata cara perceraian diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36.[3]

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975.

v  Pasal 38 UU Perkawinan
Perkawinan dapat putus karena:
a.       Kematian,
b.      Perceraian, dan
c.       Atas keputusan pengadilan.
v  Pasal 39 UU Perkawinan
(1)   Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2)   Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.[4]
(3)   Tata cara perceraian di depan siding pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

v  Pasal 40 UU Perkawinan
(1)   Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
(2)   Cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan sendiri.[5]

Selain rumusan hukum dalam Undang-undang Perkawinan tersebut, Pasal 113 sampai dengan Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara, dan akibat hukumnya. Sebagai contoh Pasal 113 KHI sama dengan Pasal 38 Undang-undang Perkawinan. Pasal 114 mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian maka dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 KHI mempertegas bunyi Pasal 39 Undang-undang Perkawinan yang sesuai dengan konsern KHI yaitu untuk orang Islam: Perceraian hanya dapat dilakukan didepan siding Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Lain halnya dengan alasan-alasan terjadinya perceraian yang penjelasannya dimuat dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975. Pasal 116 KHI:
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e.       Salah satu pihak mendapat ccat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f.       Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[6]

Dalam KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya perceraian yang berlaku khusu kepada suami isteri (pasangan perkawinan) yang memeluk agama Islam, yaitu:
g.      Suami melanggar taklik talak
h.      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Selain itu, KHI juga menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan perceraian dan akibat hukumnya, termasuk yang berkaitan dengan teknis pelaksanaannya agar tindakan perceraian itu dilakukan sesuai dengan hukum Islam.

v  Pasal 117 KHI
            Talak adalah ikrar suami di hadapan siding Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131 KHI.

v  Pasal 118 KHI
Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.
v  Pasal 119 KHI
(1)    Talak ba’in sugra’ adalah talak yang tidak boleh rujuk tapi boleh akada nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
(2)    Talak ba’in sugra’ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.       Talak yang terjadi qabla al-dukhul
b.      Talak dengan tebusan atau khulu’
c.       Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama[7]

v  Pasal 120 KHI

Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa iddahnya.

v  Pasal 121 KHI
Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu tersebut.[8]

v  Pasal 122 KHI
Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tapi dicampuri pada waktu suci tersebut.
v  Pasal 123 KHI
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan siding pengadilan.

v  Pasal 124 KHI
Khulu’ harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.

v  Pasal 125 KHI
Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya.

v  Pasal 126 KHI
Li’an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

   Masalah tata cara li’an diatur dalam paragraf 4 Pasal 87 dan 88 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut undang-undang Peradilan Agama).[9]

v  Pasal 87
(1)   Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan permohonan atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka hakim  karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk persumpah.
(2)   Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.[10]

Ketentuan li’an tersebut, juga diatur secara rinci dalam Pasal 127 KHI yang bersumber dari Surah An-Nur (24) ayat 6-9 seperti yang telah diuraikan ketika membahas mengenai asal-usul anak.

v  Pasal 88 Undang-undang Peradilan Agama
(1)   Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara li’an.
(2)   Apabila sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh isteri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku.[11]

2.      Akibat Putusnya Perkawinan

            Akibat hukum yang muncul ketika putus perkawinan antara seorang seorang suami dengan seorang isteri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam Undang-undang Perkawinan dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) karakteristik, yaitu sebagai berikut.

a.      Akibat Talak

      Menurut istilah, seperti yang dituliskan al-Jaziri, talak adalah melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau juga bisa disebut mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan. Sayyid sabiq menjelaskan talak sebagai sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.

      KHI mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak harus disampaikan dihadapan sidang Pengadilan Agama. Tampaknya UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada Pasal 66 ayat 1 yang berbunyi,
Seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar Talak. [12]

      Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak isterinya mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut.

v  Pasal 149 KHI
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a.       Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla al-dukhul;
b.      Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c.       Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul;
d.      Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.[13]
      Ketentuan pasal 149 KHI tersebut bersumber dari surah Al-Baqarah (2) ayat 235 dan 236.[14]

b.      Akibat Perceraian (Cerai Gugat)

      Cerai gugat, yaitu seorang isteri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (isteri) dengan tergugat (suami) perkawinan. Cerai gugat didasarkan hadits Nabi Muhammad saw:
Seorang perempuan berkata kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah saw. Saya yang mengandung anak ini, air susuku yang diminumnya, dan dibalikku tempat kumpulnya (bersamaku), ayahnya telah menceraikanku dan dan ia memisahkannya dariku”, maka Rasulullah saw bersabda: “Kamu lebih berhak (memliharanya), selama kamu tidak menikah”. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim mensahihkannya).[15]
     
      Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai gugat). Hal itu diungkapkan sebagai berikut.
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh:
a.   Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu;
b.   Ayah;
c.   Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah;
d.   Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
e.   Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
f.    Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya.
3.   Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula.
4.   Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri (21 tahun).
5.   Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikah putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
6.   Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemmapuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

c.       Akibat Khulu’

      Perceraian yang terjadi akibat khulu’, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak isteri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan Pasal 161 KHI yang berbunyi: “Perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk.”[16]

d.      Akibat Li’an

      Perceraian yang terjadi akibat li’an, yaitu ikatan perkawinan yang putus selama-lamanya. Dengan putusnya perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh isteri dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat li’an. Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum sebagai berikut.

Bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebasdari kewajiban member nafkah.

      Hal itu, berdasarkan Hadits Nabi Muhammad sebagai berikut:
Sesungguhnya Nabi saw, menyaksikan antara seorang laki-laki dan isterinya, maka laki-laki itu tidak mengakui anak yang lahir dari isterinya itu, maka beliau memisahkan di antara keduanya dan menghubungkan nasab anak kepada ibunya. (Riwayat Bukhari)

e.       Akibat Ditinggal Mati Suami

      Kalau ikatan perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka isteri menjalani masa iddah dan tanggungjawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat bagian harta warisan dari suaminya. Karena itu, Pasal 157 KHI: harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 96 dan 97.[17]

v  Pasal 96 KHI
(1)   Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2)   Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinyayang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

      Pasal 96 KHI tersebut, menjelaskan ikatan yang putus karena salah seorang pasangan suami isteri meninggal sehingga pembagian harta bersama dilakukan oleh ahli waris berdasarkan proporsi, termasuk bagian yang masih hidup. Pemabagian harta bersama dimaksud, dilakukan oleh ahli waris bila harta itu ada. Namun, bila harta bersama itu belum ada karena kelangsungan ikatan perkawinan sangat singkat, maka pihak yang masih hidup tidak mendapat bagian. Sebaliknya, bila perkawinan itu putus sebagai akibat cerai hidup, maka Pasal 97 KHI menjelaskan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

      Selain itu, perlu juga dijelaskan bahwa, untuk menentukan hilangnya salah seorang pasangan suami isteri, baik isteri atau suami yang hilang adalah pembuktian autentik yang dapat diterima oleh berbagai pihak secara hukum.[18]

B.     TATA CARA PERCERAIAN

            Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA) dan Pasal 115 KHI.

            Tata cara perceraian bila dilihat dari aspek subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut.

1.      Cerai Talak (Suami yang Bermohon untuk Bercerai)
Apabila suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menceraikan isterinya, kemudian sang isteri menyutujuinya disebut cerai talak. Hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA.
v  Pasal 66 UUPA
(1)   Seorang suami beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengajukan siding guna menyajikan ikrar talak.
(2)   Permohonan  sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohonkecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3)   Dalam hal termohon bertempat kediaman diluar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
(4)   Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.[19]
(5)   Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohona cerai talak ataupun sesudah ikrar talak dilangsungkan.

            Sesudah permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, Pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 86 UUPA dan Pasal 131 KHI.[20]

v  Pasal 68  UUPA
(1)   Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
(2)   Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.

v  Pasal 131 KHI
(1)   Pengadilan Agama yang bersangkutan memepelajari permohonan dimaksud Pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tetntang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.[21]
(2)   Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk mnejatuhkan alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bai suami untuk mengikrarkan talak.
(3)   Setelah keputusan memiliki hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
(4)   Bila suami tidak mengucapkan ikrar dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
(5)   Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri.

Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.[22]

2.      Cerai Gugat (Isteri yang Bermohon untuk Bercerai)

      Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh isteri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohona dimaksud. Oleh karena itu, khulu’ seperti yang telah diuraikan pada sebab-sebab putusnya ikatan perkawinan termasuk cerai gugat. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Cerai gugat diatur dalam Pasal 73 UUPA sebagai berikut.

v  Pasal 73 UUPA
(1)   Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin terguigat.
(2)   Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3)   Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau ke pengadilan Agama Jakarta pusat.
Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan diatur dalam pasal 74, 75 dan 76 UUPA dan pasal 133, 134, dan 135 KHI.

v  Pasal 74 UUPA
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan bisnis tetap.[23]

v  Pasal 75 UUPA
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan diri kepada dokter.

v  Pasal 76 (2) UUPA
Pengadilan setelah mendengar kerterangan  saksin tentang sifat persengketaan anatara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluargamasing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim.
Pasal 76 ayat (2) UUPA din atas, merupakan penjabaran garis hukum dari Firman Allah dalam surat An-Nisaa’(4) ayat 35, yang kemudian mengambil bentuk lembaga yang disebut PB4, Selanjutnya, fungsi lembaga tersebut diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, yaitu bahwa pengadilan Agama dalam setiap kesempatan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat minta bantuan kepada Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat. Adapun tindakan hukum selama proses perkara di pengadilan berlangsung, menghindari berbagai kemungkinan hal-hal yang bersifat negatif di antara suami istri. Hal ini diatur dalam Pasal 77 UUPA.

v  Pasal 77 UUPA
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.[24]
v  Pasal 78 UUPA
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat:
a.   Menerima nafkah yang ditanggung suami;
b.   Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c.   Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

            Gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai guagatan perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alsan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamain tercapai. Upaya perdamaian dimaksud memungkinkan terjadi, mengingat ia tidak di batasi pada sebelum pemerikasaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang. Lain halnya bila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

            Mengenai pelaksanaan sidang pemeriksaan gugatan penggugat dimulai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepanitraan. Hal ini diatur dalam pasal 80 ayat (1) UUPA:[25]
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga pluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan.
            Akan tetapi, Pasal 80 ayat (2) dan (3) hanya menjelaskan teknis untuk menghindarkan ketidakhadiran pihak-pihak yang beperkara baik penggugat maupun tergugat. Hal ini menunjukkan hanya merupakan penegasan pasal 29 ayat (2) dan (3) PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut.
(1)    Dalam penetapan waktu sidang gugatan perceraian, baru diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterima panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. 
(2)    Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti dalam pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian diterapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan Pengadilan Agama.

            Kalau sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan secara tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Perceraian dianggap terjadi, beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kehadiran pihak-pihak yang berperkara atau wakil/kuasanya menjadi factor penting demi kelancaran pemeriksaan perkara di persidangan. Hal ini diuraikan dalam pasal 142 KHI.[26]

v  Pasal 142 KHI
(1)   Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
(2)   Dalam hal suami istri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.

            Sesudah perkara perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, maka salinan putusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait. Oleh karena itu, Pasal 147 Ayat 1 KHI menjelaskan:
Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitia pengadilan agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya dengan menarik kutipan akta nikah dari masing-masing yang bersangkutan.

            Selain salinan putusan dikirim kepada suami istri tersebut, dijelaskan dalam Pasal 84 UUPA.
v  Pasal 84 UUPA
(1)   Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk kewajiban selambat-lembatnya 30 hari mengirimkan suatu helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggungat dan tergugat, untuk mendaftarkan keputusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.[27]
(2)   Apabila perecraian dilakukan diwilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagai mana yang dimaksud dalam Ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
(3)   Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negeri, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (1) disampaikan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
(4)   Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.

      Apabila terjadi kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 84 menjadi tanggung jawab panitera yang bersangkutan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya. Oleh karena itu, amat penting pengiriman salinan putusan dimaksud. Sebab, akan mendatangkan kerugian dari berbagai pihak yang membutuhkan.[28]

      Kompilasi Hukum Islam membedakan cerai gugat dengan khulu’. Namun demikian, ia mempunyai kesamaan dan perbedaan diantara keduanya. Persamaan  ya adalah keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak istri. Adapun perbedaannya, yaitu cerai  gugat tidak selamanya membayar uang iwad (uang tebusan), sedangkan Khulu’ uang iwad menjadi dasar akan terjadinya Khulu’ atau perceraian. Khulu’ dimaksud, diatur dalam Pasal 148 KHI.

v  Pasal 148 KHI
(1)   Seorang istri mengajukan gugatan perceraian dengan jalan Khulu’, menyampaikan permohonannya kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan-alasannya.
(2)   Pengadilan agama selambat-lambatnya 1 bulan memanggil istri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.
(3)   Dalam persidangan tersebut, pengadilan agama meberi penjelasan tentang akibat Khulu’ dan member nasihat-nasihatnya.
(4)   Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwad atau tebusan, maka pengadilan agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya didepan siding pengadilan agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
(5)   Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam Pasal 131 Ayat 5.
(6)   Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besanya tebusan iwad, pengadilan agama memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa.[29]

            Uraian cerai gugat dan khulu’ diatas, Nampak ada perbedaannya. Namun, undang-undang No 7 Tahun 1989 UUPA dan peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975 tidak membedakan diantara keduanya sehingga tidak membiacarakannya. Pada pasal 87 UUPA menjelaskan perceraian yang berdasarkan alasan zina yang diuraikan sebagai berikut.
v  Pasal 87 UUPA
(1)   Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan permohonan atau penggugat tidak dapat melengkap bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada bukti sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2)   Pihak termohona atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.

            Perceraian berdasarkan zina tersebut, merupakan penjelasan yang didasarkan peraturan .perundang-undangan. Apabila diperhatikan Al-qur’an, dijelaskan bahwa seseorang yang menuduh perempuan lain yang baik-baik berbuat zina kemudian dia tidak mendatangkan emoat orang saksi, maka ia diancam hukuman Had sebanyak 80 kali cambuk. Hal ini berdasarkan surah An-Nur Ayat 4 yang artinya:[30]
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka dera lah mereka( yang menuduh itu) 80 kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.”[31]

            Apabila ayat tersebut dianalisis, dapat diketahui bahwa sangsi hukum bagi orang yang menuduh zina tanpa disertai saksi, sangat tipis perbedaannya dengan pelaku zina itu bila terbukti berbuat zina yang disaksikan oleh 4 orang saksi. Namun, bila tuduhan itu dilakukan terhadap istri sendiri, walaupun istri juga tergolong dalam pengertian al-muhsanat pada ayat tersebut, dan tidak menghadirkan 4 orang saksi, maka ancaman hukumannya tidak berupa hukuman dera, melainkan talak ba’in kubra yang antara keduanya tidak boleh menikah lagi untuk selama-lamanya. Pembuktiannya adalah mengucapkan sumpah 4 kali, dan kelimanya ikrar yang menyatakan kesediaannya untuk menerima laknat Allah apabila tuduhan itu bohong.[32] Demikian juga pihak istri, diberikan kesempatan untuk menyanggah tuduhan suaminya itu dengan mengucapkan 4kali sumpah dan kelimanya, ikrar kesediaannya menerima laknat Allah apabila tuduhan suaminya benar. Cara inilah yang disebut dengan li’an (mula’anah).  Sangsi hukumannya yang lain adalah hukuman moral kepribadiannya, yaitu persaksiaannya tidak diterima untuk selama-lamanya. Sebab, ia termasuk orang yang fasik, bila ia tidak mampu membuktikan tuduhannya.[33]

C.    MASA IDDAH (WAKTU TUNGGU)

            Masa iddah (waktu tunggu ) adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah tersebut hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila istri beluum melakuakan hubungan suami istri (qabla dukhul) tidak mempunyai masa iddah, hal ini didasarkan firman Allah Surah Al-Ahzab (33) ayat 49 yang berbunyi:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”.[34]

            Ayat dia atas menjadi dasar pasal 11 UU No.1 Tahun 1974 dan Pasal 153 KHI yakni sebagai berikut:
v  Pasal 11 UUP
(1)   Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2)   Tenggang waktu/ jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintahan lebih lanjut.

            Masa iddah dalam pasal 153 KHI mempunyai beberapa macam yang dapat diklasifikasi sebagai berikut:
v  Pasal 153 KHI
(1)   Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
(2)   Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a.       Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al-dukhul waktu tunggu ditetapkan 130 ( seratus tiga puluh hari)
b.      Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari
c.       Apabila perkawinan putus karena perceraian sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d.      Apabila perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.[35]
(3)   Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al-dukhul.
(4)   Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu dihitung sejak kematian suami.
(5)   Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani oddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.
(6)   Dalam hal keadaan pada ayat 5 bukan karena menyusui, maka iddahnya selama stu tahun, akan tetapi bila dalam satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.[36]

Pengklasifikasi masa iddah dimaksud akan diuraikan sebagai berikut:
1.      Putus Perkawinan karena Ditinggal Mati Suami
      Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari (pasal 39 ayat 1 huruf a PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 KHI). Ketetapan ini, berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya bila istri dalam keadaan hamil, waktu tunggu hingga ia melahirkan.

2.      Putus Perkawinan karena Perceraian
      Seorang istri yang diceraikan suaminya maka memungkinkan mempunyai beberapa waktu tunggu, yaitu sebagai berikut:

a.       Dalam keadaan hamil
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil maka iddah-nya sampai ia melahirkan kandungannya.
b.      Dalam keadaan tidak hamil
1.      Apabila seorang isteri diceraikan suaminya sebelum terjadi hubungan kelamin maka tidak berlaku baginya masa iddah.
2.      Apabila seorang isteri diceraikan suaminya setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul):
a)      Bagi seorang istri yang masih datang bulan (haid), waktu tunggunya berlaku ketentuan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari.
b)      Bagi seorang istri yang tidak datang bulan (tidak haid)  masa iddah nya tiga bulan atau 90 hari.
c)      Bagi seorang istri yang pernah haid. Namun ketika menjalani mmasa iddah ia tidak haid karena menyusui maka idahnya tiga kali waktu suci.
d)     Dalam keadaan yang disebut pada ayat (5) KHI bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam jangka waktu satu tahun dimaksud ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.[37]

3.      Putus Perkawinan karena Khulu’, Fasakh, dan Li’an
      Kalau masa iddah bagi janda yang putus ikatan perkawinannya karena khulu’ (cerai gugat atas dasar  tebusan atau iwad dari istri), fasakh (putus ikatan perkawinan karena salah satu diantara suami atau istri murtat atau sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan kawin) atau li’an, maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak.
4.      Istri Ditalak Raj’i kemudian Ditinggal Mati Suami dalam Masa Iddah
      Apabila seorang istri tertalak raj’i kemudian didalam menjalani masa iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b dan ayar (6) pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mulai perhitungannya pada saat mati bekas suaminya. Adapun masa iddah yang telah dilalui pada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung dari saat kematian. Sebab, keberadaan istri yang dicerai selama menjalani masa iddah, dianggap masih terikat dalam perkawinan karena sang suami masih menanggung berhak merujuknya selama masih dalam masa iddah( Al- Baqarah ayat 228).

      Karakteristik masa iddah tersebut, merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa iddah dalam hukum perkawinan islam. Diantara hikmah yang penting dalam masalah iddah, selain untuk mengetahui keadaan rahim juga menentukan hubungan nisab anak , memberi alokasi waktuyang cukup untuk merenungkan tindakan perceraian, bagi istri yang ditinggal mati suaminya adalah untuk turut berduka cita atau berkabung sekaligus menjaga timbulnya fitnah. Hal itu diatur dalam pasal 170 KHI.
(1)    Istri yang di tinggalkanmati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.[38]
(2)    Suami yang ditinggal mati oleh istrinya melakukan masa berkabung menurut peraturan.
      Ketentuan KHI tersebut, bukan hanya mengattur masa iddah dalam hal berkabung, melainkan juga mengatur masalah masa berkabung bagi suami yang ditinggal mati oleh istrinya. Berarti pengatur hukum perkawinan islam dalam masa iddah bukan hanya semata-mata mementingkan aspek yuridis normatif , tetapi juga mementingkan aspek yuridis empiris yang memuat aspek rasa, toleransi, dan kepatutan.[39]













BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Putus perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan bisa berarti salah seorang di antara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
2.      Akibat hukum yang muncul ketika putus perkawinan antara seorang seorang suami dengan seorang isteri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam Undang-undang Perkawinan ataupun dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) karakteristik: Akibat Talak, Akibat Cerai Gugat, Akibat Khulu’, Akibat Li’an, Akibat ditinggal Mati Suami.
3.      Tata cara perceraian bila dilihat dari aspek subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu: pertama, cerai talak yang berarti suami yang bermohon untuk bercerai. Kedua, cerai gugat yang berarti isteri yang bermohon untuk bercerai.
4.      Masa iddah (waktu tunggu ) adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan.


[1] Zainuddin Ali. 2012. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 73
[2] Ibid. Hal. 73
[3] Hilman Hadikusuma. 1995.  Hukum Perkawinan Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hal. 171
[4] Zainuddin Ali. 2012. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 74
[5] Ibid. Hal. 74
[6] Ibid. Hal. 75
[7] Ibid. Hal. 75
[8] Ibid. Hal. 76
[9] Ibid. Hal. 76
[10] Ibid. Hal. 76
[11] Ibid. Hal 77
[12] Amiur Nuruddin, 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI). Jakarta: Kencana. Hal. 207
[13] Zainuddin Ali. 2012. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 77
[14] Ibid. 77
[15] Ibid. Hal 78
[16] Ibid. Hal. 79
[17] Ibid. Hal. 79
[18] Ibid. Hal. 80
[19] Ibid. Hal 80
[20] Ibid. Hal 80
[21] Ibid. Hal. 81
[22] Ibid. Hal 81
[23] Ibid. Hal. 82
[24] Ibid. Hal 83
[25] Ibid. Hal 83
[26] Ibid. Hal 84
[27] Ibid. Hal 84
[28] Ibid. Hal 85
[29] Ibid. Hal 85
[30] Ibid. Hal 86
[31] Al-Qur’an Surah An-Nur:4
[32] Zainuddin Ali. 2012. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 87
[33] Ibid Hal 87
[34] Al-Qur’an Surah Al-Ahzab:49
[35] Zainuddin Ali. 2012. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 88
[36] Ibid Hal 88
[37] Ibid Hal. 89
[38] Ibid Hal. 90
[39] Ibid Hal. 90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar